مقدمة

إنّ الحمد لله تعالى نحمده، ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلّ له، ومن يضللْ فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

وبعد :

Alhamdulillah, berkat Taufiq serta Hidayah-Nya, akhirnya blog sederhana ini dapat terselesaikan juga sesuai dengan rencana. Sholawat salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Bermodal dengan keinginan niat baik untuk ikut serta mendokumentasikan karya ilmiah perjuangan Syaikhina Muhammad Najih Maemoen, maka sengaja saya suguhkan sebuah blog yang sangatlah sederhana dan amburadul ini, tapi Insya Allah semua ini tidak mengurangi isi, makna dan tujuhan saya.

Blog yang sekarang ini berada di depan anda, sengaja saya tampilkan sekilas khusus tentang beliau Syaikhina Muhammad Najih Maemoen, mengingat dari Ponpes Al Anwar Karangmangu Sarang sudah memiliki website tersendiri yang mengupas secara umum keberadaan keluarga besar pondok. Tiada lain tiada bukan semua ini sebagai rasa mahabbah kepada Sang Guru Syaikhina Muhammad Najih Maemoen.

Tidak lupa saya haturkan beribu terima kasih kepada guru saya Syaikhina Maemoen Zubair beserta keluarga, terkhusus kepada beliau Syaikhina Muhammad Najih Maemoen yang selama ini telah membimbing dan mengasuh saya. Dan juga kepada Mas Fiqri Brebes, Pak Tarwan, Kak Nu'man, Kang Sholehan serta segenap rekan yang tidak bisa saya sebut namanya bersedia ikut memotifasi awal hingga akhir terselesainya blog ini.

Akhirnya harapan saya, semoga blog sederhana ini dapat bermanfa’at dan menjadi Amal yang di terima. Amin.

Minggu, 16 Mei 2010

Khumeini dan Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah.

الحمد لله رب العالمين الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له شهادة أبدية باقية إلى يوم يبعث الخلق أجمعون ، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صاحب الرسالة العالمية إلى جميع الأجناس البشريـّة وصلى الله عليه وعلى آله وصحبه الذين خدموا الإسام ونصروه أعظم خدمة عرفها تاريخ الإنسانية. أما بعد:
Kitab yang kami alih bahasakan ini adalah kitab berbahasa Arab dengan nama asli mauqifu al-Ulama al-muslimin min al-khumaini wa as-syi’ah al-itsna ‘Asyariah (Pandangan Ulama Kaum Muslimin Tentang Khumaini dan Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah) buah karya Al-‘Allamah Syaikh Muhammad mandhur An-Nu’mani, seorang ulama besar Lacknow, India.Kitab tersebut disalin dengan dengan tulisan tangan oleh rekan-rekan kami yang sedang belajar ilmu agama dalam ayoman dan bimbingan guru kami as-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, salah satu ulama besar Sunni yang bermukim di Makkah al-Mukarromah, Saudi Arabia.
Kami terpanggil untuk mengalih-bahasakannya karena kami melihat bahaya Syi’ah berada di pelupuk mata, sementara ulama kita tidak memberikan reaksi yang memadai. Dalam hal ini kami tidak bermaksud menyalahkan kelompok tertentu. Hanya kami ingin agar kita semua terutama kalangan ualama lebih menyadari adanya ancaman ini, yang akhirnya ditindaklanjuti dengan membuat langkah-langkah yang egektif dalam membendung bahaya laten faham Syi’ah. Bahaya yang jika tidak kita waspadai sedari dini bisa menimbulkan “bencana iman” yang mengerikan. Dan bencana yang lebih mengerikan akan terjadi bila mereka sampai berani menggerakkan revolusi yang mengancam stabilitas keamanan negeri ini. Bencana yang sama sekali tidak kita inginkan terjadi terhadap generasi kita sekarang dan generasi anak cucu kita nanti.
Kami merasa iri dengan ulama India yang lebih peduli terhadap nasib umat Islam dan ketinggian ghiroh diniyyah (‘kecemburuan keagamaan’) mereka dalam mempertahankan ajaran Islam yang murni (Sunni).
Itulah tujuan asasi dari pengambilalihan kitab ini, disamping sebagai wujud dari khidmah kami terhadap ilmu, agama dan guru kami. Semoga Allah senantiasa meridloi dan membimbing langkah-langkah kita semua, amin.
والله ولي التوفيق وحسبنا الله ونعم الوكيل والحمد لله رب العالمين.
Sarang, 17 Rajab 1417 H.
H. MOH. NAJIH MAIMOEN ZUBAIR
Pengajara PP. al-Anwar
ABDUL SALAM AMMAR
Pelajar PP. al-Anwar

Pandangan ulama Muslimin terhadap Khumeini dan Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Kepada yang terhormat para ulama’, pelindung agama yang haq.
Amma ba’du; semenjak lima tahun yang lalu, sampai di tangan kami beberapa informasi dan buletin dari berbagai negara yang memberikan indikasi bahwa Syi’ah telah menjadi gerakan dan propagandis aktif setelah revolusi Iran.Kedutaanbesar Iran di berbagai belahan dunia telah berfungsi sebagai pusat pengendali kegiatan propaganda Syi’ah.
Kelilhatannya pemerintah Iran telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk kegiatan ini, sepertinya seperti besarnya dana yang dikeluarkan untuk pertahanan negara dan peperangan yang sedang berjalan.Pemerintah Iran juga menyebarkan brosur-brosur mengenai syi’ahdalam jumlah yang sangat besarke berbagai negara dengan menggunakan bahasa negara-negara tersebut.Di samping itu Iran juga mengirimkan dai-dai profesional ke negara-negara tadi.
Dalam merealisasikan progam tersebut, mereka menggunakan kaidah madzhab mereka dengan sangat piawai.Kaidah yersebut adalah taqiyyah. Buah keseriusan pemerintah Iran dalam menyebarkan faham Syi’ah adalah mulainya sebagian kaum muslimin, terutama kaum muda yang tidak memiliki informasi perihal Syi’ah, mengikuti madzhab dan pemikiran-pemikiran Syi’ah.
Setelah mengetahui kondisi yang sangat memprihatinkan ini, kami memandang bahwa merupakan kewajiban bagi kami untuk mengerahkan seluruh potensi yang kami miliki dalam rangka menyelamatkan ummat muhammadiyyah dan melindungi agama serta iman mereka dari kelaliman dan kesesatan ini. Dengan mengharap rahmat dan qudrat Allah semoga kami diberi bantuan dan kemenangan sebagaimana sunnah-sunnah-Nya yang azali.
ولينصرن الله من ينصره إن الله لقوي عزيز (الحج: 40)
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Langkah awal untuk mencapai tujuan ini adalah menjelaskan subtansi(hakikat) madzhab Syi’ah dan menguak identitas pemimpin revolusi Iran(Khumeini), aqidah dan progamnya kepada umat Islam.Agar mampu melaksanakan tugas ini, maka saya mulai dengan mempelajari kitab-kitab pokok dan muktabar di kalangan madzahab Syi’ah, karangan-karangan tokoh-tokoh besar mujtahid Syi’ah yang merreka anggap sebagai hujjah (sanad) dan karangan-karangan Khumeini sendiri.
Selama satu tahun saya habiskan waktu untuk mempelajari kitab-kitab tersebut.Ringkasan dari keterangan yang termuat didalam kitab-kitab tadisaya rangkum dalam sebuah kitab yang bernama “Ats-tsaurah al-Iraniah wa al Khumeini wa as-syi’iyyah”yang memuat 300 halaman dan telah diterbitkan satu setengah tahun yang lalu.
Bangkitnya para dermawan yang tidak saya kenal dengan menyebarkan dan menyampaikan kitab inikepadakaum muslimin di negara-negara yang jauh merupakan pertolongan gaib Allah ta’ala.Usahamereka adalah murni karena Allah semata. Demikianlah dari India dan Pakistan telah di bagi-bagikan dua setengah juta naskah dari kitab ini dan telah sampai di tangan orang-orang Islam yang mengerti bahasa Urdu, di negara-negara Arab, Eropa, Amerika, Afrika.
Matai rantai ini, tidak diragukan lagi terus berjalan berkat karunia dan takdir Allah.Kesempurnaan pengarang dan kualitas kitab tidak memilikiandil dalam hal ini, karena pengarang adalah laki-laki papa yang tidak berharga. Dan merupakan karunia Allah ta’ala juga, bahwa kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan disebarkan dalam jumlah yang besar di India’ Pakistan, dan Afrika Selatan. Salah seorang ulama di RI Yunain, sebuah pulau yang terletak di bagian timur Afrika yang berada di bawah kekuasaan Prancis telah menterjemahkan kitab ini kedalam bahasa Persia. Dan insya Allah akan terbit juga edisi prancis dan persia, sebagaimana edisi Arabnya telah diterbitkan dengan sempurna di Mesir. Semua ini berkat karunia dan kebaikan Allah. Kalau bukan karena-Nya, orang-orang yang lemah ini tidak mengharapkan tersebarnya kitab ini kedalam bahasa Urdu melebihi beberapa ribu naskah. Bagi Allah segala puji dan syukur.
Tujuan mengarang dan menyebarkan kitab ini adalah mengungkap hakikat madzhab Syi’ah. Aqidah-aqidah Khumeini dan program-programnya yang berbahaya, serta mengungkapkan hakikat revolusi Iran kepada orang-orang Islam yang terpengaruh oleh propaganda pemerintah Iran atau telah terjerumus ke dalam jerat-jerat agen pemerintah Iran yang menyesatkan sehingga menjadi waspada. Alhamdulillah kitab ini telah sukses mencapai tujuan tersebut.
Setelah kitab ini beredar, mayoritas pembacanya menuntut dan bertanya kepada saya seraya berkata, “Apabila aqidah-aqidah Anda kutip dalam kitab ini dari kitab-kitab Syi’ah yang mu’tabar dan populer ini adalah aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, mengapa para ulama tidak mengeluarkan fatwa mengenai Syi’ah sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya terhadap golongan al-Qodiyaniyyah?.”
Pertanyaan mereka telah saya sebutkan dalam majalah al-Furqon. Kemudian saya sebutkan pula fatwa tokoh-tokoh besar ulama yang hidup dalam zaman yang berdekatan dan pertanyaan ulama mutaqoddimin wal mutaakhkhirin yang memberikan fatwa tentang keluarnya Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah dari lingkaran Islam berdasarkan aqidah mereka yang bertentangan dengan dasar-dasar iman.
Kami melihat adalah sesuatu keharusan bagi kami untuk menyusun dan mempersembahkan fatwa-fatwa ini kepada Ulama’ Syari’ah dan pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa di zaman ini sebagai upaya agar memperoleh dukungan mereka. Kemudian akan kami sebarkan kumpulan fatwa ini dalam bentuk buku.
Kitab ini saya persembahkan dalam rangka “Khidmatul Ulama’” terhadap tujuan suci tersebut. Kami akan mencoba memaparkan aqidah-aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah yang menyebabkan mereka divonis keluar dari lingkaran Islam, dan menyebutkan kitab-kitab yang pokok dan mu’tabar dikalangan mereka, sehingga tidak seorangpun memiliki alasan untuk ragu atau memberi ta’wil. Karena tujuan tersebut, bertambahlah halaman kitab ini. Tujuan di atas mesti dilaksanakan agar para ulama menjadi waspada dan mereka bisa mengeluarkan pendapat dengan tulus tanpa rasa khawatir.
Aqidah-aqidah Khusus Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah yang dijadikan dasar oleh ulama dan fuqoha Mutaqoddimin dan Mutaakhkhirin untuk mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.
Setelah mempelajari kitab-kitab Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyah yang pokok dan mu’tabar di kalangan mereka, tampak jelas bak terang benderangnya waktu siang hari, tiga aqidah mereka yang tidak mengandung keragu-raguan dan pen-ta’wil-an;
1. Mereka meyakini bahwa Syaikhan (Abu Bakar & Umar ra.) adalah orang kafir dan munafik –ma’adallah-, bahkan dianggap orang kafir yang paling busuk dari umat ini dan umat yang telah lewat. Lebih busuk dari Fir’aun, Hamann, Namrudz, Abi Lahab dan Abi Jahal bahkan lebih kufur dari setan. Mereka juga menganggap bahwa Syaikhan adalah orang yang paling berat menerima siksa di neraka jahannam.
2. Mushaf al-Quran al-Kariim telah mengalami perubahan. Di dalamnya telah terjadi berbagai macam bentuk perubahan. Mushaf al-Quran al-Kariim bukanlah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
3. Prinsip aqidah Syi’ah tentang imamah menafikan aqidah kenabian terakhir (Khatamu an-Nubuwwah). Oleh karena itu, mereka mengingkari aqidah khatmu an-nubuwwah karena aqidah imamah tersebut. Walaupun mereka mengakui dengan lisan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para nabi –sebagaimana pengakuan lisan golongan al-Qadiyaniyyah bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para nabi, namun keyakinan mereka berlawanan dengan pengakuan tersebut.
Dan sekarang perhatikanlah petunjuk-petunjuk para Imam al-Itsna ‘Asyariyah yang dianggap ma’shum dan penjelasan ulama dan mujtahid-mujtahid mereka seputar tiga aqidah tadi. Petunjuk dan penjelasan tersebut dianggap sebagai hujjah (argumentasi) madzhab Syi’ah.
Pernyataan Para Imam, Ulama dan Mujtahid Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyah Mengenai Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar Rasliallahu ‘Anhuma.
Kitab hadits paling shahih versi Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah adalah al-Jami’ al-Kafi karya Abu Ja’far bin Ya’qub al-Kulaini ar-Razi (wafat; 328 H). Keberadaan kitab ini dikalangan mereka seperti halnya al-Jami’ as-Shahih karya Imam Bukhori dikalangan Ahlussunnah, bahkan lebih tinggi. Dalam al-jami’ al-kafi bagian akhir (Kitab ar-Raudlah:62) terdapat tulisan panjang dengan sanad sempurna dari imam ketujuh, al-Ma’shum Abi al-Hasan Musa; “Demi hidupku, sungguh Abu Bakar dan Umartelah munafik sebelumnya, menolak firman Allah dan mengejek Rasulullah beserta keluarganya. Keduanya telah kafir. Semoga laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia menimpa mereka berdua.” Dalam kitab ar-Raudloh halaman 115 sendiri terdapat petikan perkataan Imam Syi’ah kelima, al-Imam al-Baqir perihal syaikhan; “sesungguhnya syaikhan (Abu Bakar dan Umar) meninggalkan dunia tanpa sempat bertaubat. Mereka tidak saling mengingatkan atas tindakan mereka terhadap Amirul Mukminin, Ali RA. semoga laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia menimpa mereka.
Salah satu tokoh besar mujtahid dan muhaddits Syi’ah abad XI Hijriyyah adalah Mulla Baqir al-Majlisi yang memiliki banyak karangan dan ulama’ Syiah menyebutnya sebagai penutup para muhaddits (ahli hadis) serta memberi predikat sebagai juru bahasa agung Syi’ah (Khumeini menganjurkan kepada para pengikutnya agar mempelajari kitab-kitab al-Majlisi, seperti tertera dalam kitabnya, Kasyful Asrorhalaman 12). Al-Majlisi dalam kitab Jilaul ‘-Uyun-nya, mengutip riwayat panjang (dfalm bahasa persia) yang ia nisbatkan kepada Ali RA. Dalam riwayat tersebut Nabi Muhammad SAW bersabda,”Di neraka jahannam terdapat sebuah peti yang memenjarakan 12 orang laki-laki. Enam orang dari umat terdahulu, dan enam orang lagi dari umat sekarang. Peti itu itu terdapat di dalam sumur neraka yang telah ditutup dengan batu. Ketika Allah hendak menyalakan neraka jahannam, dia memerintahkan agar batu yang menutup sumur tersebut diangkat. Akibat dari api yang keluar dari batu menyalalah neraka jahannam.”(Ar-razi berkata).”Saya bertanya kepada Imam,”Siapakah keduabelas orang yang dipenjara didalam sumur itu?” “Enam orang dari umat terdahulu, yaitu Qobil, Namrud, Fir’aun, pembunuh unta Nabi Sholeh Asdan dua orang Bani Israol yang telah mengganti agama Nabi Musa dan Nabi Isa dan menyesatkan umat mereka sepeninggal mereka berdua. Adapun enam orang dari umat sekarang adalah Dajjal, Abu Bakar, Umar, Aby ‘ubaidah bin al-Jarroh, Salim maula Hudzaifah dan Sa’id bin al-Ash,”jawabnya.
Sesungguhnya Al-Majlisi menuturkan riwayat “peti neraka”yang memenjarakan12 orang laki-laki, diantaranya- ma’adzallah, as-syaikhani.Ia juga menyebutkan riwayat tersebut dalam kitab keduanya, haqul yaqin halaman 502. sedangkan dalam jila’ul ‘Uyun, al-Majalisi meyebut riwayat lain mengenai syaikhani yang ia nisbatkan pada Sayyidah Fatimah RA, bahwasanya Fatimah berkata, “Dua orang laki-laki Badui yang tidak pernah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah Abu bakar dan Umar”. Al-Majalisi juga menyebutkan riwayat ini (perkataan Fatimah) dalam kitab Haqqul yaqin seperti halnya ia menulis dalam jilaul ‘uyun halaman 45 mengenai Umar RA sebagai berikut,”Tidak ada alasan bagi orang yang memiliki pemahaman untuk ragu terhadap kekufuran Umar.Semoga Allah melaknat Umar dan orang-orang yang menganggap dia muslim serta orang-orang yang bimbang dalam mengkufurkannya.”kitab-kitab Al-majalisi’ seperti Jila’ul ‘uyun, Haqqul yaqin, zadul ma’ad, Hayatul qulub dan yang lainnya sarat dengan ratusan ungkapan-ungkapan beracun dan menyengat mengenai Abu Bakar dan Umar RA. Mengutip seluruh ungkapan tersebut dalam kitab ini akan menyebabkan fokus pembahasan menjadi panjang. Oleh karena itu, kami cukupkan dengan mengutip riwayat dari Haqqul yaqin yang di kutip al-majlisi dari kitab al-Ikhtishash karya Syaikh Mufid, dari Imam Ja’far as-Sadiq, dari Ali RA.
Harap dimengerti, sesungguhnya kedudukan Syaikh Mufid dikalangan Syi’ah berada dalam keyakinan mereka; bahwa Imam keduabelas yang gaib (al-mahdi) mengadakan hubungan surat menyurat dengannya setelah menghilang di goa dan setelah berakhirnya masa vakum”al-ghaibah as-sughra”(“menghilang sebentar”). Surat-surat tersebut sampai kepada Syaikh Mufid melalui jalan gaib. Surat-surat dapat di temukan dalam kitab Ihtijaju at-thabrasi yang dijadikan acuan olah Syi’ah. Surat-surat tersebut menunjukan bahwa Syi’ah Mufid adalah salah satu mujtahid eksklusip di mata al-Imam.
Karena posisi Syaikh Mufid yang demikian, maka riwayat tersebut dikategorikan sebagai salah satu riwayat-riwayat yang paling terpercaya versi Syi’ah. Oleh karena itu kami kutipkan riwayat tersebut disini untuk memenuhi kebutuhan yang melegakan hati, meskipun panjang, dan isinya sungguh teramat kotor serta melukai perasaan. Tetapi mengutip suatu kekufuran tidak mengakibatkan kekufuran.
Mulla Baqir al-Majlisi (dalam Hayatul Qulub) berkata,”Syaikh Mufid meriwayatkan dari Ja’far as-Saddiq, dari amirul mu’minin Ali AS; Ali berkata,”Pada suatu hari aku pergi keluar kota Kufah dan Qanbar (pelayan) berjalan di depanku. Lalu mendadak Iblis tampak di depanku, akupun berkata, “Duh, betapa sesat dan celakanya engkau!”jawab Iblis,”Wahai Amirul mu’minin, mengapa engkau berkata seperti itu? Demi Allah akan aku ceritakan kepadamu pembicaraan yang berlangsung antara aku san Allah tanpa ada orang ketiga diantara kami berdua ketika Allah menurunkanku dari langit menuju bumi akibat kesalahan yang aku perbuat. Ketika sampai di langit yang keempat, aku berkata,”Wahai tuhanku, rajaku dan junjunganku, aku tidak menyakini bahwa engkau telah menciptakan makhluk yang lebih celaka dan lebih sial daripada aku. Lalu Allah memberi wahyu kepadaku, Sesugguhnya Aku telah menciptakan makhluk yang lebih celaka dan lebih sial dari padan kamu. Pergilah engkau kepada Malaikat penjaga Nerka Jahanam agar ia memperlihatkan kepadamu rupa dan tempat makhluk tersebut!” Aku lalu pergi menemui Malaikat penjaga neraka jahannam.”Sesungguhnya Allah menyampaikan salam untukmu dan menyuruhmu untuk memperlihatkan kepadaku manusia yang lebih celaka dan lebih sial itu,”kataku
Malaikat lalu memegangku menuju kedekat jahannam yang di atasnya terdapat tutup. Tutup itu kemudian di angkatnya sehingga keluarlah api hitam yang membuatku takut akan menelan kami berdua. Penjaga jahannam berkata kepada api tersebut,”Diamlah kau!” Api pun lalu menjadi dlam. Lalu malaikat memegangku kembali utuk menuju jahannam lapis kedua. Dari lapis kedua tersebut keluarlah api yang lebih panas dan lebih hitam dari lapisan pertama.” Diamlah kau !”suruh malaikat, lalu api pun menjadi diam.
Begitulah, setiap malaikat memegangku menuju satu lapisan jahannam, keluarlah api yang lebih panas san lebih hitam dari lapisan sebelumnya. Sampai akhirnya aku di bawa menuju lapisan ketujuh dari jahannam. Dari lapisan tersebut keluarlah api yang kusangka akan membakarku dan malaikat penjaga serta membakar dan mematikan seluruh ciptaan Allah.Akupuin lalu meletakantanganku menutupi kedua mataku karena merasa takut. Dengan memejamkan mata aku berkata kepada penjaga jahanam,”Suruhlah api itu untak mendingin dan diam, bila tidak niscaya aku akan mati.”Sesungguhnya engkau tidak akan mati hingga datang ajal yang telah dijadikan Allah untukmu”,jawab malaikat.(Ajal iblis beradadalam pengetahuan Allah).
Kemudian iblis itu berkata,”Aku melihat di neraka jahanam lapis ketujuh dua orang laki-laki yang leher mereka dikalungi rantai api dan di gantung dalam posisi di balik. Sedangkan di atas kepala mereka berdiri dua kelompok yang tangan merka memegang gada api. Aku bertanya ,”Hai penjaga jahanam, siapakah dua orang laki-laki ini?”Malaikat balik bertanya,” apakah engkau tidak membaca tulisan yang tertera diatas ‘arsy?”Iblis menjawab,” Ya, saya melihat tulisan itu. Sesungguhnya, ddua rlbu tahun sebelum menciptakan dunia atau sebelum menciptakan Nabi Adam, Allah telah menulis:
لا إله إلا أنت محمد رسول الله أيدته ونصرته بعليّ
Artinya: “Tiada tuhan selain Allah, Muhamad utusan Allah. Aku beri kekuatandan pertolongan kepada Muhamad lewat Ali “.Dua orang ini(yang di kalungi dengan api dan di pukuli dengan gada api)musuh dan orang yang berbuat dhalim kepada Ali.
Penulis mohon maaf kepada ulama’ Syari’ah dan para mufti agung atas penyajian ungkapan-ungkapan kotor seperti di atas dan riwayat-riwayat yang menyakitkan dan melukai perasaan perihal syaikhani. Ungkapan-ungkapan yang bisa membuat mereka sangat sakit dan galau jika membacanya. Penulis sendiri membaca ungkapan-ungkapan tersebut dari kitab-kitab mereka (Syi’ah) dengan menanggung rasa sakit yang tidak terperikan. Dan saya (penulis) menulis ungkapan-ungkapan tersebut dengan pena saya kendatipun sangat benci dengan ungkapan-ungkapan tersebut. Ungkapan-ungkapan tersebut sengaja disajikan agar tampak gamblang di mata ulama substansi madzhab, aqidah dan jalan yang di tempuh Syi’ah al-Istna ‘Asyariyah.
Sebenarnya apa yang saya sajikan di sini hanyakah contoh sederhana. Barang siapaingin memperoleh tambahan dari ungkapan-ungkapan yang kotor dan menyakikan semacam ini, hendaklah membaca kitab saya, ats-Tsauroh Al-Iraniyah wa al-Khumaini wa as-Syi’ah halaman 195-219. Isinya saya kutip dari karangan-karangan al-Majlisi , orang yang di anggap sebagai juru bahasa agung Syi’ah, orang yang membuat Khumaini menganjurkan kepada para pengikutnya untuk membaca tulisan-tulisanny. Khumaini sendiri menampakan kepercayaan kepadanya. Cobalah lihat kitab Khumaini Kasyful asror halaman 121. Dan nanti saya akan menyebutkan salah seorang tokoh besar mujtahid Syiah di Pakistan.
Keerangan-keterangan Khumaini mengenai Syaikhan (Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar)
Khumaini disamping statusnya sebagai mujtahid, cendekiawan Syi’ah, dan pengganti imam gaib (sesuai klaimnya) dan berdasarkan teori wilayatul faqih-nya dipandang sebagai aktor yang memiliki peranan bagi Syi’ah. Dia telah menjelaskan aqidahnya mengenai syaikhani dan sahabat-sahabat mereka berdua secara jelas sebagaimana aqidah tersebut terlihat jelas dari ungkapan-ungkapan al-Kulaini dan al-Majlisi yang dinisbatkan kepada para imam ma’shum (versi Syi’ah) tanpa menggunakan taqiyyah dalam masalah ini.
Khumaini berbicara panjang lebar dalam kitabnya yang populer, Kasyful Asror, yang berbahasa Persia seputar masalah ini pada hal. 52-69. Saya telah menjelaskan dan menyebutkan ringkasan aqidah tersebut (dalam Kasyful Asror) dengan menggunakan angka-angka. Dan disini saya anggap cukup dengan mengutip ringkasan-ringkasan aqidah tersebut, karena takut akan membuat tulisan ini menjadi panjang.
Ringkasan pernyataan Khumaini mengenai Abu Bakar, Umar, Utsman (pemilik dua cahaya) dan mayoritas sahabat ra.
1. Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar serta teman-teman mereka tidak pernah beriman dengan hati mereka. Mereka hanya secara lahiriyah demi ambisi meraih jabatan politis dan hanya ingin memanfaatkan hubungan dekat dengan Rasulullah SAW.
(Kalimat “alshoqu” – mereka menggabungkan diri dengan Rasulullah demi ambisi politik adalah ta’bir, ungkapan Khumaini sendiri).1)
2. Sesungguhnya rencana menduduki kekuasaan sepeninggal Rasulullah SAW telah membuat mereka semenjak awal mengatur persekongkolan demi tujuan tersebut dan membentuk partai yang kuat untuk menampung orang-orang yang bersimpati kepada mereka. Tujuan tunggal mereka adalah menguasai pemerintahan sepeninggal Rasulullah. Di luar tujuan tersebut mereka tidak mempunyai kepentingan terhadap Islam.
3. Bila kami andaikan, seandainya dalam al-Quran terdapat keterangan konkrit mengenai imamah dan khilafah Ali (jabatan imam dan pengganti) sepeninggal Rasulullah, hal itu tidak akan membuat mereka surut dari tujuan dan rencana semula. Rencana yang membuat mereka memanfaatkan hubungan dekat dengan Rasulullah dan Islam. dan niscaya mereka akan menggunakan segala taktik dan tipu muslihat untuk merealisasikan ambisi tersebut tanpa menghiraukan hukum-hukum Tuhan. 2)
4. Menentang hukum-hukum al-Quran dan perintah Rasulullah bagi mereka adalah hal yang sepele. Mereka banyak melanggar ayat-ayat al-Quran dan perintah Rasul. Khumaini lalu memberikan contoh-contoh pelanggaran mereka terhadap al-Quran al-Karim dengan menggunakan huruf-huruf besar. Seperti kalimat “pelanggaran Abu Bakar terhadap nash al-Quran” dan “pelanggaran Umar terhadap al-Quran”.
5. Seandainya keadaan menuntut untuk membuang ayat-ayat yang turun mengenai khilafah Ali karena mereka adalah pemegang kekuasaan, niscaya mereka akan kelakukan hal itu dan niscaya ayat tersebut akan sirna dari al-Quran selamanya, sehingga al-Quran mengalami perubahan sebagaimana Taurat dan Injil.
6. Bila mereka tidak mengeluarkan ayat tersebut dari al-Qu’an, niscaya mereka akan membuat hadits sendiri yang di nisbatkan kepada Rasullulah lalu di sebarkan kepada manusia seraya mengatakan bahwa Rasullulah menyatakan hal tersebut menjelang hari wafatnya, dan mengatakan bahwa khilafah di tetapkan berdasarkan musyawarah, dan Ali telah di copotsari jabatan imamah yang tercantum dalam al-Quran.
7. Tidak menutup kemungkinanpula jika Umar mengatakan dalam konteks ayat tersebut,”Sungguh Allah merasa bimbang dalam menurunkan ayat tersebutatau telah nyata terdapat keragu-raguan pada jibril atau Rasulullah dalam memahami ayat tersebut. Tegasnya mereka telah melakukan kekeliruan.
8. Khumaini mengutip cerita qirtnas lalu membuat tulisan tentang Umar dengan sangat pedih. Iamenyatakan bahwa Umar telah berbuat jahat kepada Rasulullah dalam masa akhir hidup beliau. Perlakuan jahat Umar menyebabkan nyawa Rasulullah menderita. Rasulullah pergi meninggalkan dunia dengan menanggung bekas kesusahan tersebut dihati beliau. Khumaini menyatakan dalam konteks ini bahwa kata “al-isa-ah” (perlakuan jahat) telah mengungkap kekufuran dan kezindikan yang tersembunyi dalam hati Umar.
9. Seandainya Abu Bakar dan Umar serta kelompok mereka mengetahui bahwa mereka akan gagal meraih jabatan pemerintahan apabila tetap menganut agama Islam serta selama ada ayat tersebut yang jika ada niscaya turun menyangkut khilafah Ali, dan mereka melihat tidak ada jalan lain untuk meraih jabatan tersebut kecuali dari Islam, niscaya mereka akan menempuh jalan tersebut dan berdiri bersama kelompok mereka dalam melawan Islam, seperti Abu jahal dan Abu lahab
10. Kondisi mayoritas sahabat terbelah menjadi dua. Yaitu kelompok 1 yang bergabung bersama mereka dengan memberikan bantuan dan dukungan dalam meraih kekuasaan dan kelompok yang merasa takut kepada mereka serta tidak memiliki keberanian untuk mengucapkan satu kata patah kata pun dalam melawan mereka.
Setelah membaca tulisan-tulisan Khumaini dalam Kasyfu al-Asrar, tidak tersisa sedikitpun keraguanbahwa sesungguhnya aqidah Khumaini menyangkut Syaikhan dan rekan-rekan mereka yang di beri predikat “as-Sabiqun al-Awwalun” sama persis dengan apa yang saya kutip dari riwayat-riwayat al-Kulani dan al-Majlisi yang menyatakan bahwa mereka (sahabat) seluruhnya ma’dzallah, telah menjadi kafir, munafiq, dan terhalang dari iman. Riwyat trsebut juga menyatakan bahwa mereka adalah penyembah-penyembah dunia yang menerima islamdengan lisan mereka demi ambisi meraih jabatan pemerintahan. Sedangkan dalam batin, mereka adalah musuh-musuh rasulullah.Astghfirullah al-adziim (dari menulis ungkapan-ungkapan seperti ini ).
Unsur-unsur yang menetapkan kekufuran Khumaini.
1. Anggapan Khumaini bahwa para imam Syi’ah lebih utama dari seluruh rasul dan malaikat. Aggapan semacam ini bisa menyebabkankekufurn karena bertentangan dengan al-Quran dan al-Haditsyang menerangkan bahwa para rasul dan nabi adalah manusia pilihan atas seluruh manusia.
2. Anggapan dan klaimnya bahwa kesempurnaan doktrin para imam, menyamai para imamnya terbebas (ma’sum) dari lupa dan lalai. Kekufuran anggapan dan klaim ini karena menyamakan kalam manusia yang tidak bebas dari kekuranga dan kesalahan dengan kalam Allah yang maha sempurna, dan menyalahi ijma’(konsensus) ulama yang menyatakan bahwa status ishmah (kema’suman) adalah monopoli para rasul dan nabi.
3. Ttuduhannya bahwa rosululloh gagal dalam menanamkan dasar-dasar keadilan dan memperbaiki nilai-nilai kemanusiaan dialam semesta.1) Tuduhan sesaat ini merupakan penghinaan terhadap para rasul dan nabi yang sebagai pemuka mereka adalah Rasulullah SAW, pendustssn terhadap Allah dan kenyataan yang terjadi.2)
4. Dakwaannya bahwa wahyu tidak terputus dengan wafatnya Rasulullah SAW dan anggapannya bahwa Jibril turun membawa al-Quran kepada Fatimah.3) Pernyataan ini mengandung tida unsur kekufuran. Pertama, penentangnya terhadap aqidah yang tecantum dalam al-Quran surat al Ahzab; 40, al-Hadits dan kesepakatan para ulama’ yang menetapkan keteputusan wahyu sepeninggal Rasulullah. Kedua, anggapannya bahwa wanita bisa menjadi rasul, padahal al-Quran dalam surat Yusuf; 109 dan ijma’ ulama’ menegaskan tidak ada seseorang rasul dan nabipun yang wanita. Ketiga, pengutamaannya terhadap Fathimah atas Rasulullah yang bertentangan dengan keterangan dalam surat al-Hajj; 75.
5. kecamannya terhadap para sahabat Rasulullah dan pengkafirannya terhadap Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar.4) Allah dan Nabi-Nya telah bersaksi atas keutamaan sahabat terutama Abu Bakar dan Umar seperti tercantum dalam surat al-Fath; 29. tindakan mengecam terhadap mereka berarti membantah kesaksian Allah dan rasul-Nya.
Berdasarkan lima poin sikap Khumaini ini bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Khumaini dan pengikutnya; Rasulullah adalah pengkhianat, dungu, penakut, munafik (hipokrit), mengalami kegagalan dalam mengemban misi risalah, hidayah dan pendidikan, serta tidak layak menjadi manusia pilihan. Tuduhan kotor ini sangat tidak layak dialamatkan kepada Rasulullah dan sangat tidak layak keluar dari mulut orang yang mengaku muslim karena sangat bertolak belakang dengan ayat-ayat al-Quran yang memberikan pujian terhadap Rasulullah seperti surat al-Jumu’ah; 2 dan al-Hadits.
6. Khumaini mengangkat dirinya sebagai hakim absolut yang memiliki wewenang penuh dalam menentukan seluruh hukum syara’. Dalam hal ini Khumaini menciptakan bid’ahnya; wilayatul Faqih (kekuasaan pakar ilmu fiqh) yang berfungsi sebagai lembaga pengganti “Imam ghaib” dalam menetapkan hukum. Konsep ini lahir karena dalam madzhab Syi’ah diperlukan imam ma’shum untuk penyelenggaraan beberapa syari’at Islam, seperti Sholat Jum’at dan jama’ah serta jihad. Berhubung Imam Mahdi yang dinanti berada dalam kegaiban, sementara syari’ah-syari’ah tersebut mesti diselenggarakan agar komunitas Syi’ah memperoleh simpati dunia Islam, maka sebagai solusinya Khumaini menciptakan konsep wilayatul al-faqih yang memberikan wewenang penuh kepada seorang faqih yang dianggap adil dan bertaqwa untuk memimpin dan menguasai urusan-urusan umat. Kekufuran yang dikandung oleh konsep tersebut adalah karena menetapkan seorang faqih yang menguasai seluruh urusan umat sebagai tempat kembali/memutuskan segala perselisihan dan penentu keputusan akhir dalam persoalan agama. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menetapkan; segala perselisihan dan keputusan akhir setiap persoalan agama berada di tangan Allah melalui al-Quran dan al-Hadits seperti tercermin dalam surat an-Nisa’; 59.

Aqidah Tahrif (Revisi) al-Quran al-Karim.
Setelah mempelajari kitab-kitab Syi’ah al-Itsna ‘Asyariah yang pokok dan mu’tamad versi mereka, tampak jelas subtansi ini (tahrif al-Quran) sebagaimana terang benderangnya waktu tengah hari. Mereka meyakini tahrif al-Quran dan meyakini telah terjadi didalamnya perubahan sebagaimamna perubahan yang menimpa kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Mereka juga meyakini bahwa mushaf al-Quran bukanlah kitab Allah yang telah diturunkan kepada Rasulullah.
Tokoh ahli hadis dan mujtahid terbesar ahli Syi’ah menyatakan bahwa lebih dari dua ribu riwayat yang bersumber dari imam-imam ma’shum (versi mereka) yang tercantum dalam kitab-kitab hadist mu’tamad mereka menetapkan terjadinya tahrif al-Quran. Ulama dan mujtahid Syi’ah yang mereka anggap mu’tamad mengakui bahwa riwayat-riwayat tersebut mutawatir dan menunjukkan secara nyata dan jelas akan terjadinya tahrif al-Quran tanpa keraguan dan kekaburan sedikitpun. Mereka juga mengakui bahwa tahrif al-Quran adalah aqidah mereka.
Seperi halnya riwayat, ini menunjukkan bahwa tahrif al-Quran adalah aqidah seluruh dunia Syi’ah sampai akhir abad III, bahkan sampai pertengahan abad IV. Kemudian datang cendikiawan mereka, Shaduq bin Babawaih al-Qummi (wafat: 381 H). Sesudahnya, pada abad V datang Syarif Murtadlo (wafat: 436 H) dan Syaikh Abu Ja’ far at-Thusi (wafat: 460 H). Pada abad VI datang Abu Ja’far at-Thabrasi, pengarang tafsir Majma’u al-Bayan (wafat: 548 H). Keempat orang ini memproklamirkan bahwa aqidah mereka sama seperti aqidah orang islam umumnya dan bahwa al-Quran tetap terpelihara tanpa mengalami perubahan. Kalangan Syi’ah membantah pendapat tersebut dengan berlandaskan argumen bahwa pendapat tersebut berlawanan dengan riwayat-riwayat para imam Ma’sum yang mutawatir.
Tokoh-tokoh besar ulama dan Mujtahid Syi’ah dalam masa yang berlainan menulis beberapa kitab khusus mengenai persoalan tahrif al-Quran. Sumber terpenting yang saya baca dari kitab-kitab tersebut adalah karya mujtahid besar dan penutup ahli hadist kalangan mereka, al-Allamah Husain Muhammad Taqi an-Nuri at-Thabrasi. Kitab tersebut adalah faslu al Khithab fi itsbati kitabi Rabbi al-Arbab yang ditulis dengan bahasa Arab dengan huruf-huruf yang sangat kecil dan memuat lebih kurang 400 halaman. Dalam kitab tersebut pengarang membeberkan dalil-dalil yang menunjukkan terjadinya tahrif dalam al-Quran. Kemudian ia menyebutkan daftar kitab-kitab karya tokoh-tokoh besar ulama dan mujtahid Syi’ah dalam masa yang berlainan yang membuktikan terjadinya tahrif dalam Mushaf al-Quran yang ada sekarang ini.
Setelah mempelajari kitab Fashlu al-Khithab, tidak ter sisa sedikitpun keraguan bahwa sesungguhnya aqidah Syi’ah al-itsna ‘Asyariyyah meyakini terjadinya perubahan. Adapun ada sebagian ulama mereka mengingkari terjadinya tahrif al-Quran, sikap tersebut hanyalah demi pertimbangan–pertimbangan tertentu yang menuntut mereka bersikap demikian, yaitu taqiyyah. Pengakuan ini di tulis oleh tokoh-tokoh besar ulama mereka(Syi’ah) seperti akan di jelaskan lemudian.
Al-Allamah An-Nuri at-Thabrasi menulis kitab fashlu al-Khithab pada akhir abad XIII, ketika mayoritas ulama Syi’ah memilih mengingkari aqidah tahrif demi pertimbangan-pertimbangan khusus (taqiyyah). At-thabrasi menganggap sikap mayoritas ulama Syi’ah tersebut sebagai penyimpangan dari madzhab para imam ma’sum danal-Itsna ‘Asyariyyah. Ia memandang sebagai hal yang urgen (mendesak) untuk menolak sikap mereka. Lalu ia menulis Fashlu al-Khithab dan mencetaknya semasa ia hidup di Iran. Sekarang kitab tersebut telah dicetak di Pakistan dengan menggunakan mesin foto copi. Sebenarnya kitab karya at-Thabrasi (Fashlu al-khithab)tidak memberi kesempatan pada Syi’ah untuk mengingkari aqidah tahrif al-Quran. Nanti kami akan menuturkan contoh-contoh yang tercantum dalam fashlu al-kitab. Namun sebelumnya kami akan memaparkan ungkapan-ungkapan para imam Syi’ah yang ma’sum dari kitab-kitab mu’tabar mereka yang terang-terangan menjelaskan terjadinya tahrif, perubahan dan pergantian dalam al-Quran al-karim
Pernyataan-pernyataan para imam mengenai perubahan (tahrif) yang terjadi dalam al-Quran al-karim
1. Dalam menafsiri firman Allah SWT;
وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله  البقرة :23
”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran”. (QS. Al-Baqarah: 23).
Terdapat kutipan pernyataan imam Syi’ah kelima al-Ma’sum al-Imam al-Baqir dalam kitab Ushul al-Kafi, kitap paling shahih dikalangan Syi’ah, sebagai berikut: “Jibril turun dengan membawa ayat tersebut kepada nabi Muhammad dengan teks sebagai berikut:
وإن كنتم في ريب ممّا نزّلناعلىعبدنا"في عليّ"فأتوابسورة من مثله 
’’Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (muhammad)mengenai Ali……..
Maksud riwayat ini dengan mengutarakan keterangan di atas adalah bahwa sahabat-sahabat yang menghimpun al-Quran sepeninggal Nabi Muhammad, yaitu tiga khalifah ar-rasyidin telah menghilangkan kalimat “fii Aliyyin” dari ayat di atas.
2. Dalam menafsiri firman Allah swt;
 ولقد عهدنا إلى آدم من قبلُ فنسي  طه: 115.
“sesungguhnya telah kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu)” (QS. Thaha; 115), terdapat kutipan dari imam Syi’ah keenam al-Imam Ja’far as-Shadiq dalam kitab Ushul al-Kafi, bahwa dia bersumpah demi Allah sesungguhnya ayat di atas turun dengan teks seperti di bawah ini;
 ولقد عهدنا إلى آدم من قبل في محمد وعليّ وفاطمة والحسن والحسين والائمة من ذريتهم فنسي 
“Dan sesungguhnya telah kami perintahkan kepada Adam dahulu perihal Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, Husain dan para imam dari anak keturunan mereka……….”
Tujuan menyebutkan riwayat ini adalah bahwa kalimat yang diberi garis bawah telah dihilangkan dari ayat di atas.
3. Dalam firman Allah SWT;
 يا أيها الناس قد جاءكم الرسول بالحق من ربكم فآمنوا خيرا لكم وإن تكفروا فإن لله ما في السموات وما في الأرض  النساء: 170.
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekufuran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesunggunya apa yang dilangit dan di bumi adalah kepunyaan Allah” (QS. An Nisa’: 170) terdapat pernyataan Imam al-Baqir dalam Ushul al-Kafi hlm. 267, sebagai berikut: “Jibril turun dengan membawa ayat diatas dengan teks seperti dibawah ini:

 يأيها الناس قدجاءكم الرسول بالحق من ربكم فآمنوا خيرا لكم و إن تكفروا فإنّ لله ما في السّموات وما في الأرض 

Yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah” (QS. An-Nisa’: 170) terdapat kutipan pernyataan Al-Imam Al-Baqir dalam Ushul al-Kafi hlm.267, sebagai berikut: “Jibril turun dengan membawa ayat diatas dengan teks seperti dibawah ini:
 يأيها الناس قدجاءكم الرسول بالحق من ربكم " في ولاية علي" فآمنوا خيرا لكم و إن تكفروا " بولاية عليّ " فإنّ لله ما في السّموات وما في الأرض 
Yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu “ perihal wilayah Ali”, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir “terhadap wilayah Ali”, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah”
Maksud riwayat ini adalah bahwa kalimat “fii wilayati Aliyyin” dan “bi wilayati Aliyyin” telah dihilangkan dari ayat diatas, karena didalamnya terdapat perintah untuk mengimani wilayah (kekuasaan, ed.) dan imanah (kepemimpinan, ed.) Ali, dan pengingkaran terhadap perintah tersebut bisa mengakibatkan kekufuran.
Measih bisa diketengahkan sejumlah besar riwayat-riwayat kitab Ushul Al-Kafi (hal. 271) kitab tershahih versi Syi’ah, yang memuat sumpah para imam atas terjadinya tahrif dalam ayat-ayat Al-Qur a n. Cobalah perhatikan satu riwayat tentang tahrif Al-Qur a n: Dari Hisyam bin Salim, dari Abi Abdillah AS, dia berkata: “Sesungguhnya Al-Qur a n yang turun dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad berjumlah 17.000 ayat”.
Jumlah ayat Al-Qur a n yang sekarang berada ditangan kaum muslimin sedikit diatas 6.000 ayat. Menurut catatan pengarang-pengarang Syi’ah, tidak sampai mencapai 6.500 ayat. Namun menurut pernyataan Al-Imam Ja’far, jumlah ayat Al-Qur a n mencapai 17.000 ayat. Maksud riwayat ini adalah bahwa para sahabat yang menghimpun Al-Qur a n telah mencapakkan dua pertiga Al-Qu’an.
Riwayat ini telah dikomentari oleh pen-syarah. Ushul al-Kafi, al-Allamah al-Qazwini sebagai berikut: “maksud Al-Imam Ja’far melontarkan pernyataan tersebut adalah bahwa dari al-Quran yang asli telah dibuang banyak sekali ayat yang tidak terdapat dalam naskah-naskah al-Quran yang populer”.
Kami sajikan lima riwayat diatas dengan meniru beberapa contoh dari Ushul al-Kafi. Bila bukan karena hal ini. bukanlah hal yang mustahil untuk memaparkan sejumlah besar riwayat-riwayat tahrif. Kini kami akan mengetengahkan beberapa riwayat lain yang bersumber dari sebagian kitab-kitab mu’tamad versi Syi’ah yang lain, yang menyatakan dengan gamblang atas terjadinya tahrif dalam al-Quran.
Dikutip dari Tafsir as-Shofi juz I hlm. 11 dari Tafsir al-‘Ayyasyi, kitab tafsir klasik dan mu’tamsd versi syi’ah, kutipan pernyataan al-Imam al-Baqir. “Seandainya tidak ada penambahan dan pengurangan dalam al-Qura’an, niscaya tidak akan kabur hak kita hak kita dimata orang yang berakal”. Masih dalam halaman yang sama Tafsir al-ayyasyi terdapat terdapat petikan imam ja’far: “Seandainya al-Quran di bacasesuai dengan kondisi ketika diturunkan,niscaya engkau akan menjumpai nam-nama kami(para imam)di dalamnya.”
Ahmad bin Ali bin Abi Thalib at-Tabrasi, muhaddis dan syi’ah abad V. menyebutkan sebuah riwayat dalam kitab al-Ittihad-nya, kitab mu’tamad versi syi’ah sebagai berikut: ”Tersebutlah seorang zindiq yang menyeang Sayyidina Ali dengan beberapa gugatan yang seluruhnya dapat dijawab beliau. Salah satu gugatan yang diajukan adalah ayat nomor tiga dari surat an-Nisa’:
 وإن خفتم ألا تقسطوا فىالييتامىفانكحوا ما طاب لكم من النساء... النساء:3
Yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya)maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi…”adalah jumlah syarthiyyah sesuai dengan tata bahasa arab,tetapi mengapa tidak ditemukan pertautan antara syarat dengan jaza’daalam ayat ini?
“jawabannya telah saya kemukakan sebelumnya,yaitu pembuangan yang dilakukan orang-orang munafik dari al-Quran dan pembuangan yang terdapat antara kalimat ”fil yatama”dan kalimat “fankihumaa thoba lakum minan nisa’ “ yang terdiri dari perintah-perintah dan kisah-kisah yang jumlahnya melebihi dua pertiga al-Quran”, jawab sayyidina Ali.1)
dalam riwayat yang tercantum dalam kitab al-Ihtijaj tersebut, juga disebutkan bahwa Amirul Mu’minin Ali AS. menjawab sebagian serangan zindiq tapi dengan jawaban yang telah disebutkan di atas (tahrif) yang tidak perlu disebutkan di sini.
Sampai di sini saya akhiri mata rantai riwayat-riwayat para imam ma’shum (versi Syi’ah) dalam persoalan tahrif. Sebelumnya saya telah menyebutkan bahwa tokoh-tokoh besar muhaddits dan mujtahid mereka (Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah) mengklaim bahwa terdapat lebih dari 2000 riwayat dari para imam ma’shum yang menunjukkan terjadinya tahrif dalam al-Quran dengan berbagai macam bentuk tahrif.
Dan kini kami akan menyebutkan beberapa pernyataan sebagian tokoh-tokoh besar ulama Syi’ah yang dianggap sebagai hujjah (sanad) bagi madzhab mereka (Syi’ah). Salah satunya adalah muhaddits dan faqih besar mereka; as-Syaikh Ni’matullah al-Musawy al-Jaza’iri yang berbicara dengan rinci dalam kitab al-Anwar-nya mengenai persoalan tahrif serta menjelaskan di dalamnya dengan teramat terang dan gamblang mengenai aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah tentang al-Quran al-Kariim yang sekarang berada di tangan kaum muslimin.
Sesungguhnya Qiraat al-Quran as-Sab’ah (tujuh macam bacaan al-Quran) merupakan qiroah yang mutawatir menurut seluruh kaum muslimin (di luar Syi’ah). Ke-mutawatir-an tersebut merupakan prinsip aqidah kaum muslimin; bahwasanya al-Quran ini (yang ada sekarang) adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah dan ditransfer dari beliau oleh umatnya. Namun, al-Jazairi, muhaddits Syi’ah, mengingkari status mutawatir qiraah sab’ah seraya berkata, “Mengenai status mutawatir qiroah sab’ah berdasarkan wahyu Ilahi dan mengakui bahwa seluruhnya benar-benar turun dibawa oleh Ruh al-Amin (Jibril) dapat mengakibatkan tersingkirnya hadits-hadits (riwayat para imam) yang mustafidloh (populer) bahkan mutawatir yang menunjukkan secara gamblang atas terjadinya tahrif dalam al-Quran dalam segi pembicaraan, materi dan struktur kalimat. Toh, sahabat-sahabat kita telah sepakat atas kesahihan dan kebenaran hadits-hadits tersebut. Memang benar dalam persoalan ini (tahrif), al-Murtadlo, as-Shaduq dan at-Thobary berbeda pendapat dan menetapkan bahwa apa yang tercatat diantara dua sampul mushaf tidak lain adalah al-Quran yang telah diturunkan (kepada Rasulullah) dan di dalamnya tidak terdapat perubahan dan pergantian.
Kemudian as-Syaikh Ni’amtullah al-Jazairi menulis dengan sangat gamblang seraya men-ta’wil-kan pernyataan tiga tokoh besar Syi’ah di atas; “Kelihatannya pendapat mereka muncul karena pertimbangan-pertimbangan yang banyak (taqiyyah)….bagaimanapun juga mereka tertiga telah meriwayatkan banyak hadits-hadits (riwayat para imam) dalam kitab mereka yang memuat terjadinya masalah-masalah yang telah lewat (seputar tahrif), dan ayat turun dengan teks ‘begitu’, kemudian dirubah menjadai ‘begini’.
Al-Jazairi lalu memberikan dalil atas tuduhannya bahwa telah terjadi tahrif dalam al-Quran, dan al-Quran yang ada sekarang bukanlah kitab yang telah diturunkan kepada Rasulullah lewat pernyataannya: “Dari hadits-hadits (riwayat para imam) dapat disimpulkan bahwa al-Quran yang sesuai dengan kondisi ketika turun tidak disusun kecuali oleh Amirul Mu’minin Ali AS bedasarkan wasiat Nabi Muhammad SAW. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, selama enam bulan Ali menghabiskan waktu untuk menghimpunnya. Ketika beliau selesai menghimpunnya sesuai dengan kondisi ketika diturunkan, pergilah beliau dengan membawa al-Quran menghadap orang-orang yang mengaku khalifah sepeninggal Rasulullah. Beliau berkata, “Inilah kitab Allah yang ssuai dengan kondisi ketika diturunkan”. Umar lalu berkata kepadanya, “Kami tidak membutuh-kan kamu dan al-Quran kamu”. Ali lalu berkata kepada mereka, “Kalian tidak akan pernah melihatnya (al-Quran yang dihimpun Ali) setelah hari ini dan tidak seorangpun yang akan melihatnya hingga muncul anakku, al-Mahdi. Dalam al-Quran itu (yang dihimpun Abu Bakar cs) terdapat banyak tambahan, sedang al-Quran ini (al-Quran Ali)terjaga dari perubahan.”
Kemudian al-Jazairi mengutip dari Ushul al-Kafi, sebuah riwayat yang bersumber dari al-Imam Ja’far as-Shadiq. Dalam akhir riwayat tersebut terdapat keterangan; “Apabila telah muncul Imam Mahdi, maka dia akan membaca kitab Allah sesuai dengan naskah otentiknya dan ia akan mengeluarkan mushaf yang ditulis Ali AS”. Setelah mengutip riwayat ini dengan sempurna, al-Jazairi menutup pembicaraannya dengan berkata, “Hadits-hadits (riwayat para imam) yang datang memuat persoalan ini banyak sekali.”
Adapun dalam persoalan mushaf Ali RA, al-Jazairi menuturkan dalam sorotan riwayat-riwayat para imam ma’shum, bahwa ketika muncul ‘pemilik zaman’ (al-Mahdi), terangkatlah al-Quran dari tangan-tangan manusia menuju ke langit, lalu keluarlah al-Quran yang disusun oleh Amirul Mu’minin.1)
As-Syaikh Ni’matullah al-Jazairi 2) mengakui dalam keterangannya yang telah lewat dengan sangat jelas terhadap masalah-masalah sebagai berikut;
1. Sesungguhnya Qiraah as-Sab’ah (yang berdasarkan status mutawatir-nya, kaum muslimin dengan tegas meyakini bahwa al-Quran juga mutawatir dan merupakan kitab Allah) tidak mutawatir. Oleh karena itu, al-Quran yang ada sekarang juga tidak mutawatir dan tidak terbukti ke-mutawatir-annya berdasarkan wahyu (al-Quran) atau keterangan Rasulullah.
2. Sesungguhnya riwayat-riwayat para imam ma’shum (versi Syi’ah) yang menyatakan terjadinya segala macam bentuk tahrif dalam al-Quran yang ada sekarang adalah mutawatir dan sangat jelas sasarannya tanpa keraguan dan kesamaran sedikitpun.
3. Sesungguhnya sahabat-sahabat kami (Ulama Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyah) telah sepakat atas kesahihan dan kebenaran riwayat-riwayat tahrif. Tegasnya, aqidah mereka sesuai dengan riwayat-riwayat tersebut.
4. As-Syarif al-Murtadlo, as-Shaduq dan as-Syaikh Thabrasi, dari kalangan ulama mutaqoddimin Syi’ah, menolak terhadap aqidah tahrif. Mereka berkata bahwa al-Quran yang ada sekarang adalah al-Quran asli. Mereka juga menolak terjadinya perubahan dan pergantian di dalamnya. Tetapi nyata sekali mereka menampakkan aqidah yang berlawanan ini demi beberapa pertimbangan (taqiyyah).
Penulis berkata, “Seluruh ulama mujtahid Syi’ah pada periode kita sekarang memilih menolak terhadap aqidah tahrif. Tetapi realitas konkretnya adalah seperti yang diungkapkan oleh tokoh besar muhaddits dan mujtahid mereka (al-Jazairi) bahwa penolakan mereka terhadap aqidah tahrif adalah taqiyyah.”
5. Sesungguhnya al-Quran yang otentik adalah al-Quran yang dihimpun dan disusun oleh Amirul Mu’minin Ali AS sepeninggal Rasulullah SAW. Tetapi ketika para perampas khilafah sepeninggal Rasulullah mencampakkannya, Ali bertekad untuk tidak memperlihatkannya kepada siapapun (al-Quran tersebut beralih secara rahasia dari satu imam ke imam yang lain. Sekarang ia berada di tangan imam keduabelas yang gaib, al-Mahdi, dan bersembunyi di dalam goa). Dalam al-Quran Ali terdapat beberapa penambahan dibanding al-Quran yang ada sekarang (kandungan-kandungan yang tidak terdapat dalam al-Quran sekarang). Ketika imam Mahdi muncul, dia kan mempersembahkan kepada dunia al-Quran yang otentik dan utuh. Sedangkan seluruh naskah-naskah al-Quran yang ada sekarang diangkat ke langit sehingga tidak tersisa satu naskah al-Quran pun di tangan manusia.
Apa yang disebut diatas adalah aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah yang otentik mengenai al-Qur a n al-Karim yang kini berada du tangan umat islam. aqidah tersebut telah dijelaskan oleh tokoh-tokoh besar muhaddits dan mujtahid mereka dengan sangat jelas dan di dukung dengan argumentasi-argumentasi versi mereka.
Kini kami akan menyajikan kepada anda sekalian,wahai ulama kaum muslimin,keterangan-keterangan dari kitab Faslu al-Khitabfi itsbati Tahriifi Kitabi Rabbial-Arbab karya tokoh besar muhaddits dan mujtahid Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, al Allamah Husain Muhammad Taqi an-Nuriat-Thabrasi. Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa topik pembahasan kitab tersebut adalah tahrif dalam al-Qur a n yang sekarang ada di tangan kaum muslimin (seperti tercermin dalam judul kitab). Kitab tersebut memuat 400 halaman dan dilamnya pengarang menghimpun sejumlah besar dalil menurut pola fikir Syi’ah untuk membuktikan kebenaran tuduhannya. Seandainya kami kutib dari dalil-dalil tersebut keterangan yang layak untuk dikutib, niscaya hal itu akan memakan 50 halaman. Namun kami cukupkan dengan mengutib sebagian kerangan saja.

Tahrif Trdapat Dalam al-Qur a n Seperti Halnya Terdapat Dalam Taurat Dan Injil

Sang pengarang, at-Thabrasi menyodorkan dalil-dalil secara runtut yang membuktikan terjadinya tahrif dalam al-Qur a n menurut Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, kemudian ia memulai pembicaran dengan berkata, “Butir keempat; menyebutkan hadita-hadits khusus yang menunjukan atau mengisyaratkan bahwa al-Qur a n sama dengan Taurat dan Injil dalam terjadi tahrif dan perubahan di dalamnya. Ia juga menyebutkan orang-orang munafik sebagai penguasa umat, dalam merubah al-Qur a n menggunakan strategi Bani Israil dalam kitab samawi. Hadits-hadits tersebut merupakan hujjah yang kokoh untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tahrif al-Qur a n.1)
Kemudian at-Thabrasi mengutip riwayat-riwayat dari kitab-kitab tokoh-tokoh besar Syi’ah dalam banyak halaman, yang menetapkan bahwa tahrif telah terjadi dalam al-Qur a n sepeninggal Rasulullah seperti tahrif juga terjadi dalam Taurat dan Injil sepeninggal Nabi Musa dan Nabi Isa AS.

Pernyataan Ulama Mutaqaddimin Syi’ah tentang Tahrif
At-Thabrasi menulis pendapat diatas dalam Fashlu aaal-Khithab dibawah judul “ al-Muqaddimah ats-Tsalitsah” sebagai berikut, “dalam persoalan ini (Tahrif, pen.), ulama kita memiliki dua pendapat populer”. Lalu ia merinci pernyataannya. Pertama, terjadi perubahan dan pengurangan didalamnya (al-Qur a n). Pendapat ini adalah madzhab as-Syaikh al-Jalil Ali bin Ibrahim al-Qummi – guru al-Kulaini, yang dikemukakan dalam bagian awal tafsirnya. Ia juga memenuhi kitabnya dengan hadist-hadist seputar tahrif tanpa melupakan komitmennya di awal kitab untuk tidak memuat didalamnya kecuali hadist-hadist yang bersumber dari guru-guru dan orang-orang yang dapat dipercaya. Pendapat ini juga merupakan madzhab yang dianut oleh muridnya-al-Kulaini, figur terpercaya Islam Syi,ah, menurut kelompok yang menisbatkan pendapat tersebut kepadanya karena ia telah mengutip banyak hadist yang dengan jelas membicarakan soal ini (tahrif)dalam kitabnya, al-Hujjah, khususnya dalam bab “an-Nukat wa an-Nutaf min at-Tanzil” (Bab Hadist-hadist yang terpencar mengenai tafsir terhadap ayat-ayat mengenai wilayah Ali ) yang menyatu dalam satu judul, tanpa menyinggung penolakan atau pen-ta’wil-an terhadap hadist-hadist tesebut.1)
At-Thabrasi menyebut dua orang ulama yang mengatakan tahrif yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini dan gurunya, Ali bin Ibrahim. Syi’ah meyakini bahwa keduanya sudah ada dalam masa al-Ghaibah as-Shughra (kegaiban kecil, menghilang sebentar) imam, 2) bahkan juga telah ada dalam sebagian periode imam kesebelas, al-Hasan al-‘Askari, menurut pendapat yang dikemukakan oleh sejarawan-sejarawan mereka.3)
Kemudian at-Thabrasi dalam lima halaman menyebutkan tokoh-tokoh besar Ulama Syi’ah mutaqaddimin yang mengklaim terjadinya tahrif dan pergantian dalam kitab mereka. Jumlah mereka tidak kurang dari 30 atau 40 orang. At –Thabrasi lalu berkata, Berangkat dari seluruh masalah yang kami sebut dan kami nukil berdasarkan penelitian terbatas, bisa kita klaim dari kepopuleran aqidah tahrif dalam kalangan Syi’ah mutaqaddimin.” Terbatasnya para penentang dikalangan mereka dengan sosok –sosok tertentu, akan saya sebut kemudian.
As-Sayyid al-Muhaddits al-Jazairi dalam al-Anwar mengemukakan pendapat yang intinya adalah ulama-ulama Syi’ah sepakat atas kesahihan hadits-hadits (riwayat para imam) yang populer (mustafidloh) bahkan mutawatir yang menunjukkan dengan jelas terjadinya tahrif dalam al-Qur a n dalam segi pembicaraan, materi dan struktur kalimat. Merekapun sepakat atas kebenaran hadits-hadits tersebut, meskipun dalam menanggapi hadits-hadits tersebut al-Murtadlo, as-Shaduq dan as-Syaikh at-Thabrasi memiliki pendapat yang berbeda.4)
Kemudian setelah menyebut tiga tokoh penenteng aqidah tahrif al-Qur a n, pengarang menyebut tokoh penentang keempat, Abu Ja’far at-Thusi. Lalu ia menyebut dan menjawab seluruh pertanyaan yang mereka kemukakan.
Tidak samar bagi pembaca bahwa keempat tokoh penentang diatas datang belakangan sekali setelah Abu Ja’far Muhammad bin Ya’kub al-Kulaini dan gurunya, Ali bin Ibrahim al-Qummi. Tokoh yang paling akhir disebut adalah Abu Ali at-Thabrasi (wafat: 548 H) dan al-Allamah an-Nuri at-Thabrasi. Muallif lalu memberi jawaban atas pengingkaran mereka terhadap aqidah tahrif seraya berkata,” Sampai pada periode Ab Ja’far at-Thusi tidak diketahi pengingkaran yang nyata terhadap aqidah tahrif kecuali dari mereka berempat.”5)

Jumlah Riwayat Tahrif
An-Nuri at-Thabrasi berkata,”Dalil kedua belas: hadits-hadits (riwayat para imam) yang datang dalam masalah-masalah tertentu dari al-Qur a n yang menunjukkan perubahan sebagian kalimat, ayat dan surat dengan salah satu bentuk perubahan yang telah lewat. Jumlah hadits tersebut sangat banyak sehingga as-Syaikh Ni’matullah al-Jazairi memberikan komentar dalam sebagian karangannya,seperti dikisahkan darinya sebagai berikut: “Hadits-hadits yang menunjukkan perubahan al-Qur a n berjumlah lebih dari 2000 hadits.Hadits tersebut diklaim oleh sekelompok ulama’ Syi’ah,seperti al-Mufid,al-Muhaqqiq ad-Damad,al-Allamah al-Majlisi dan lainnya sebagai hadits yang mustafidloh, bahkan as-S yaikh dalam kitab at-Thibyan menyatakan banyaknya hadits-hadits tersebut dan sampai sekelompok ulama Syi’ah- yang nanti akan disebutkan, mengklaim bahwa status hadits-hadits tersebut adalah mutawatir.6)


Pembesar-pembesar Syi’ah Mengklaim Ke-mutawatiran Riwayat-riwayat Tahrif
Sang pengarang (at-Tabrasi)dalam ahir kitabnya menyebut tokoh-tokoh besar ulama Syi’ah yang mengklaim bahwa riwayat-riwayat tahrif dan tabdil (revisi dan pergantian) adalah mutawatir.
Klaim tersebut memang benar menurut kitab-kitab hadist. At-Tharbasi menyatakan, “Segolongan ulama mengklaim ke-mutawatir- an terjadinya tahrif. Diantara mereka adalah al-Maula Muhammad as-Sholih dalam Syarh al-Kaafi ketika berbicara dalam mengomentari riwayat al-Qur a n yang datang di bawa Jibril kepada Nabi Muhammad berjumlah 17000 ayat- dalam riwayat sulaim; 18000 ayat, sebagai berikut: “Menghilangkan sebagaian al-Qur a n men-tahrif-nya telah terbukti berdasarkan jalur-jalur (sanad) riwayat mutawatir secara ma’na , seperti akan terlihat jelas bagi orang yang mengkji kitab-kitab haidts Syi’[ah dari awal hingga ahir. Diantara mereka lagi adalah al-Fadlil Qodli al-Qudlot Ali bin Abdil Ali menurut cerita as-Syaih Ni’matullah, dari dia dalam Syarh al-Wafiyyah, as-Syaih al-Muhaddits al-Jalil Abu al-Hasan as-Syarif dalam muqoddimah-muqoddimah tafsirnya, dan al-Allamah al-majlisi dalam mir’atu al-‘uqul ketika mengomentari bab “Sesungguhnya al-Qur a n Tidak Di Himpun Kecuali Oleh Para Imam ‘Alaihim as Salam (Bab Annahu Lam Yajma’u al-Qurana Kullahu illa al-Aimatu ‘Alaihim as-Salam) setelah mengutip pernyataan Syaikh Mufid ; “Hadits-hadits (riwayat para Imam) yang bersumber dari jalur-jalur khusus dan umum mengenai pengurangan dan perubahan al-Qur a n adalah Mutawatir”. Dan lewat tulisan tangannya Yang dituangkan diatas naskah yang otentik al-Kafii yang ia bacakan kepada orang tuanya. Diatas naskah tersebut terdapat tulisan tangan (catatan pinggir) mereka berdua (al-Majlisi dan orang tuanya) di bagian akhir kitab Fadllu al-Qur a n dalam mengomentari pernyataan as-Shaduq, 17.000 ayat.” Catatan pinggir tersebut adalah: “Tidaklah samar bahwa hadits ini dan banyak hadits-hadits sahih jelas sekali menunjukkan kekurangan dan perubahan al-Qur a n. Menurut saya, hadits-hadits (riwayat para imam) dalam bab ini adalah mutawatir secara makna. Mencampakkan seluruh hadits tersebut bisa menghilangkan kepercayaan atas hadits-hadits para imam secara keseluruhan. Bahkan dugaan saya, hadits-hadits dalam bab ini tidak lebih rendah keualitasnya dari hadits-hadits para imam, maka bagaimana bisa tokoh-tokoh Syi’ah menetapkan imamah hanya berdasarkan hadits tersebut?.
Keterangan-keterangan yang kami kutip di sini dari Fashlul al-Khithab karya an-Nuri at-Thabrasi menunjukkan dengan jelas dan terang, tanpa ragu dan samar hal-hal sebagai berikut;
1. Dalam al-Qur a n terdapat perubahan dan pergantian sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani merubah kitab mereka.
2. Riwayat-riwayat tahrif dalam kitab-kitab Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyah mencapai lebih dari 2000 riwayat.
3. Seluruh ulama’ Mutaqaddimin Syi’ah mengatakan adanya tahrif dalam al-Qur a n kecuali empat. Orang yang mengingkarinya (Ni’matullah mengatakan bahwa mereka mengingkari aqidah tahrif demi kepentingan-kepentingan yang banyak (taqiyyah). Pengingkaran tersebut sama sekali bukan aqidah mereka dan mustahil menjadi aqidah mereka.
4. Pengarang kitab paling sahih versi Syi’ah al-Jami’ al-Kafi, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini dan gurunya, Ali Ibrahim al-Qummi serta ulama-ulama Syi’ah Mutaqaddimin mengatakan terjadinya tahrif dalam al-Qur a n.
5. Tokoh-tokoh besar ulama mujtahid Syi’ah yang merupakan hujjah mereka mengklaim bahwa hadits-hadits tahrif (riwayat para imam) adalah mutawatir. Jamlah hadits-hadits tersebut tidak lebih sedikit dari hadits-hadits tentang imamah yang merupakan prinsip madzhab Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyah sebagaimana keterangan juru bahasa besar mereka, al-Baqir al-Majlisi. Ketidakpercayaan dan keterpalingan dari hadits-hadits tersebut bisa meniadakan kepercayaan terhadap seluruh kitab-kitab hadits dan bisa mengakibatkan hilangnya pondasi bagi masalah imamah dan setelah itu tidak mungkin menetapkannya kembali.
Sebenarnya bagi orang yang telah membaca kitab Fashlu al-Khithab karya an-Nuri at-Thabrasi akan mengetahui dengan yakin bahwa sesungguhnya tidak ada alasan bagi Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah (selama konsisten terhadap aqidah Syi’ah al-Itsna as-‘Asyariyyah) untuk mengingkari aqidah tahrif. Keingkaran mereka tanpa alasan kecuali hanya berdasarkan alasan taqiyyah.1) Menurut Syi’ah al-Itsna Asyariyyah, status taqiyyah bukan hanya mubah tetapi bahkan wajib dan fardlu ‘ain. Seakan-akan taqiyyah adalah bagian dari keimanan. Keingkaran mereka mungkin juga terjadi akibat ketidaktahuan mereka akan kitab-kitab pokok mereka sendiri.
Layak disebut disini bahwa pengarang kitab Fashlu al-Khitab, at-Thabrasi, adalah cendikiawan, muhaddits dan mujtahid besar Syi’ah al-Itsna Asyariyyah adalah ketika dia meninggal dunia pada tahun 1320 H. Ia dikuburkan di Najf al-Asyraf dalam bangunan pemakaman “al-Murthadloun”(orang-orang yang mendapat keridloan). Makam dianggap kaum Syi’ah tempat paling suci dan tidak bisa dikuburkan di tempat tersebut kecuali orang-orang yang telah mendapat kedudukan dan keagungan yang sangat tinggi dikalangan Syi’ah dan juga dianggap pengganti imam-imam yang ma’shum.

Mustahil bagi Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah untuk mengingkari Aqidah Tahrif dan mengimani al-Qur a n seperti Imannya Ahlussunnah.
Seluruh masalah yang telah kami sebutkan seputar aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah mengenai tahrif al-Qur a n dalam sorotan riwayat-riwayat para imam ma’shum yang mutawatir lagi jelas dan dari keterangan yang ditulis oleh tokoh-tokoh besar ulama Syi’ah, baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin. Kini kami ingin mengutarakan bahwa tidak mungkin bagi mereka selagi konsisten menganut aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah untuk mengingkari aqidah tahrif mengenai al-Qur a n seperti imannya Ahlussunnah. Kenyataan ini tidak membutuhkan penalaran yang mendalam dan pemikiran yang rumit, bahkan akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki pemahaman yang terbatas.
Renungkanlah apa yang telah lewat tentang pernyataan tokoh-tokoh besar Syi’ah dan para imam ma’shum mengenai syaikhan (Abu Bakar dan Umar) dan “pemilik dua cahaya”.’Utsman RA. Seluruh pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka (tokoh besar mujtahid dan para imam) meyakini bahwa para sahabat tersebut telah menjadi – kami memohon perlindungan terhadap Allah- orang-orang kafir dan munafik, lebih busuk (rendah, pen.) derajatnya daripada orang-orang kafir umat ini dan umat sebelumnya, dan mereka paling banyak menerima siksa di neraka.
Kalian telah mengetahui dari halaman-halaman yang telah lewat bahwa Khumaini (imam terbesar Syi’ah masa kini) menyataan dalam kitab Kasyfu al- Asror-nya yang berbahasa Persia dengan teramat jelas mengenai tiga khulafa ar-Rasyidin dan sahabat-sahabat besar yang lain bahwa mereka belum pernah beriman dengan hati mereka satu haripun. Bahkan mereka beriman secara lahiriyah karena kemunafikan. Mereka memanfaatkan kedekatan hubungan dengan Rasulullah untuk meraih ambisi mereka menguasai pemerintahan dan terus menerus berkomplot di masa hidup Rasulullah demi ambisi tersebut. Keburukan-keburukan perbuatan mereka bahkan sampai membuat mereka men-tahrif al-Qur a n demi ambisi meraih kekuasaan tersebut, serta mencampakkan banyak ayat al-Qur a n dan memalsukan hadits-hadits yang disebarluaskan kepada masyarakat. Hingga seandainya mereka mengetahui akan mengalami kegagalan dalam mewujudkan ambisi mereka jika masih mempertahankan iman, bahkan harus memutuskan hubungan dengan islam dan memilih sikap permusuhan sebagaimana Abu Jahal dan Abu Lahab, dan berperang melawan Islam untuk mewujudkan ambisi tersebut niscaya mereka akan merealisasikan seluruh rencana tersebut dan tampil terbuka sebagai musuh untuk memerangi Islam.2)
Dengan bersandar kepada aqidah mengenai tiga Khulafa ar-Rosyidin serta teman-teman mereka,Syi’ah al’Asyariyyah memandang bahwa sahabat-sahabat yang munafik fersi Syi’ah tersebut (orang-orang yang menjadi musuh Rasulullah, keluarga dan agamanya) mampu memegang kekuasaan sepeninggal Rasulullah dengan pengalaman politik mereka dengan cara ilegal. Mereka menjadi Khalifah, berbuat dhalim kepada Sayyidah Fatimah- buah hati Rasulullah, dan melanggar hukum-hukum al-Qur a n (menurut asumsi Khumaini) selama menjabat Khalifah dengan terang-terangan mengikuti hawa nafsu mereka. (lihat Kasyful al-Ashror: 118-119).
Disamping itu, Syi’ah juga mengakui bahwa pemerintah sahabat berlangsung sepeninggal Rasulullahselama 24 tahun (sampai mati syahidnya Ustman RA) dan mengakui bahwa tindakan mereka dalam menangani segala problem sama persis dengan tindakan yang diambil khalifah-khalifah rasul dan para pemimpin kaum muslimin. Syi’ah juga mengakui kesungguhan mereka menghimpun al-Qur a n dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang.
Renungkanlah jika ada seorang atau sekelompok orang menganut aqidah ini (aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah yang telah kami jelsakan) mengenai Syaihan. Logiskah orang tersebut percaya bahwa al-Qur a n yang mereka (sahabat) himpun adalah kitab Allah yang telah diturunkan kepada Rasulullah? Dan mereka, para penghimpun al-Qur a n (orang-orang munafik versi Syi’ah) tidak melakukan tahrif dan penggentian didalamnya sesuai hasrat manusiawi mereka?
Merupakan hal yang jelas bahwa setiap orang yang berakal akan menjawab pertanyaan diatas. Itu semua (iamn bahwa al-Qur a n bersih dari tahrif dan sebagainya) mustahil terjadi karenaia mengetahui bahwa iman adalah keyakinan dan pembenaran hati yang menolak keraguan terhadap sesuatu setelah melihatnya dengan mata.
Sebenarnya, iman menempati posisi yang sangat tinggi dan luhur. Adapun orang yang memiliki keyakinan terhadap tiga Khulafa’ ar-Rasyidin seperti keyakinan Syi’ah al-Itsna ‘Asy’ariyyah, ia tidak mungkin memiliki keyakinan terhadap al-Qur a n dengan keyakinan tingkat apapun dari tingkat-tingkat keyakinan yang diakui. Seandainya kami sodorkan pertanyaan diatas kepada siapa saja yang mengerti bahasa hukum, bahkan yang memiliki perasaan, niscaya jawabannya adalah sebagaimana jawaban yang tadi disebutkan.
Ringkasan Pembicaraan
Ringkasan masalah aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asy’ariyyah yang telah kami sebutkan mengenai tahrif al-Qur a n al-Karim yang merupakan pernyataan para imam ma’shum, tokoh-tokoh besar ulama’ dan mujtahid mereka yang tercantum dalam kitab-kitab mu’tabar versi mereka. Menunjukkan dengan jelas bahwa aqidah mereka adalah bahwa al-Qur a n telah mengalami perubahan dan didalamnya telah terjadi seluruh bentuk tahrif dan pengurangan. Berdasarkan kenyataan ini, mustahil Syi’ah al-Itsna ‘Asy’ariyyah meyakini bahwa al-Qur a n (yang ada sekarang) terjaga dari seluruh bentuk tahrif dan al-Qur a n adalah kitab Allah yang diturunkan dari sisi-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW.Pandangan mereka mengenai Khulafa’ ar-Rasyidin dan para sahabat Rasulullah yang lain menjadiakn keimanan mereka terhadap al-Qur a n merupakan sesuatu hal yang mustahil.
Oleh karena itu setiap (dari ulama Syi’ah) yang telah atau akan mengingkari aqidah tahrif dalam al-Qur a n dan menampakkan keimanan terhadap al-Qur a n sebagaimana keimanan Ahlussunnah, maka sikap tersebut tidak memiliki alasan yang rasional atau bisa diterima kecuali berdasarkan alasan taqiyyah yang merupakan kewajiban atau fardlu ‘ain sampai kemunculan imam gha’ib menurut mereka. Seakan-akan taqiyyah adalah pilar keimanan (versi Syi’ah).
Bukti yang jeas menunjukkan hal tersebut (aqidah tahrif al-Qur a n) adalah bahwasanya Syi’ah menganggap orang-orang yang telah di sebutkan, tokoh-tokoh ulama dan mujtahid mereka yang menyatakan terjadinya tahrif al-Qur a n bahkan membawa panji aqidah tahrif sebagai imam-imam besar mereka. Mereka- seperti al-Kulaini pengarang al-Jami’ al-Kafi, guru al-Qummi at-Thabrasi dan lain-lain (orang-orang yang disebut at-Thabrasi dalam Fashlu al-Khitab, seperti penyeru aqidah tahrif dari kalangan ulama mutaqaddimin, al-Mulla Baqir al-Majlisi, Ni’matullah al-Jazairi, al-Qazwini, an-Nuri, dan at-Tharbasi dari kalangan ulama mutaakhirin telah menulis kitab-kitab khusus mengenai tahrif. Jelas bahwa orang yang meyaqini terjadinya tahrif dalam al-Qur a n adalah adalah orang yang terhalang dari imam terhadap al-Qur a n. Maka dari itu ia tidak layak dianggap atau di kategorikan sebagai bagian orang-orang mukmin.
Aqidah Imamiyyah Versi Syi’ah Menafikan Khatmu an-Nubuwwah Dan Mereka (Syi’ah) Menolak Aqidah khatmu an-Nubuwwah (Penutup Kenabian).
Barang siapa membaca kitab-kitab Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah yang dianggap mu’tamad versi mereka dalam bidang madzhab, ia akan melihat dengan terang subtansi ini; bahwa aqidah imamiah – prinsip msdzhab Syi’ah- menafikan dengan tegas aqidah Khatmu an-Nubuwwah dan aqidah tersebut berlawanan dengan aqidah mayoritas umat Islam.
Mereka Syi’ah mengatakan dengan mulut mereka tentang penutup kenabian dan penutup para Nabi – seperti pernyataan golongan al-Qodiyaniyyah – tetapi mereka menolak subtansinya. Subtansi Khatmu an-Nubuwwah atas Rasulullah menurut seluruh golongan umat islam – diluar Syi’ah dan al-Qodiyaniyyah-adalah bahwa kenabian dan risalah yang merupakan simbol posisi dan subtansi telah ditutup mata-rantainya oleh Allah dan Rasulullah SAW. Seluruh nabi adalah utusan dari sisi-Nya dan hujjah-Nya atas seluruh hamba-Nya. Iman kepada nabi merupakan syarat mutlak untuk keselamatan. Kepadanya datang hukum-hukum melalui perantara wahyu. Ia adalah manusia yang terjaga dari dosa(ma’shum). Ketaatan kepadanya adalah fardlu ‘ain atas seluruh manusia. Nabi adalah menjadi tempat kembali bagi umatnya. Ajaran-ajarannya merupakan sumber petunjuk. Apabila ia memiliki kitab, maka kitab tersebut turun dari Allah kepadanya. Inilah eksistansi (keberadaan) hakikat nubuwwah (kenabian) dan posisi serta kedudukan nabi. Hal-hal tersebut diatas adalah pengertian dari Khatmu an-Nabiyyin menurut mayoritas Ummat Muhammdiyyah dan status kenabian tidak diberikan kepada siapapun sepeninggal Rasulullah SAW.
Namun Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah meyakini status kenabian dan karekteristik-karekteristik diatas, bahkan karakteristik yang lebih tinggi telah dimiliki oleh para imam yang berjumlah duabelas. Para imam juga diyakini sebagai hujjah Allah atas seluruh hamba sebagaimana para nabi dan hujjah Allah tidak bisa tegak kecuali dengan mereka. Terpilihnya mereka adalah dari Allah. Mereka adalah orang-orang ma’shum.. Kepatuhan mereka adalah fardlu ‘ain.Iman kepada mereka menjadi syarat mutlak untuk keselamatan ukhrawi sebagaimana iman kepada para nabi. Malaikat turun kepada mereka dengan membawa wahyu. Kepada mereka diturunkan hukum-hukum Allah. Mereka juga telah melakukan mi’raj Kepada mereka diturunkan kitab.
Hal-hal tersebut diatas adalah sifat-sifat dan anugerah-anugerah yang didalamnya terjadi persekutuan dan persamaan para nabi dan para imam. Tetapi menurut Syi’ah, para imam memiliki kesempurnaan dan kedudukan tinggi yang tidak bisa diraih oleh para nabi, seperti ter;ihat dari ucapan mereka bahwa dunia bisa langgeng akibat keberadaan mereka (para imam). Seandainya dunia yang kita hidup didalamnya tidak terdapat imam, niscaya dunia akan sirna. Para imam tidak lahir kedunia melalui proses kelahiran yang biasa dialami oleh seluruh manusia, tetapi mereka lahir ke dunia dari paha ibu-ibu mereka. Mereka memilih Hukumah takwiniyyah (otoritas penciptaan). Atas setiap benda yang ada di alam semesta. Untuk menciptakan sesuatu, mereka tinggal mengucapkan “kun fa yakun”. Mereka punya otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan barang dan perbuatan. Mereka juga mengetahui apa yang sudah ada dan akan terjadi. Allah memberi banyak ilmu kepada mereka yang tidak di berikan kepada slsh seorang nabi. Mereka adalah penyebab keberadaan dunia dan akhirat., dan orang-orang terpilih. Mereka bebas memberi kepada orang yang mereka kehandaki dan bebas memintanya kembali. Mereka mengetahui ajal mereka dan bebas memilih waktu kematian mereka.
Jelas bahwa apa yang telah disebutkan diatas merupakan kondisi yang tidak melekat kepada siapapun sampai kepada para nabi sekalipun. Bahkan sebagian sifat-sifat tersebut merupakan sifat khusus Allah. Tetapi menurut Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah hal-hal yang telah disebutkan diatas kondisi yang melekat pada para imam dan mereka menyandang sifat-sifat dan kedudukan-kedudukan tersebut. (Maha Suci dan Maha Luhur Allah dari apa yang mereka sekutukan) .
Seluruh masalah yang telah saya kemukakan mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik dan ketinggian derajat serta kedudukan para imam merupakan kutipan dari kitab paling shahih versi Syi’ah, Ushul al-Kafi Kitabu al-Hujjah dan ringkasan pernyataan para imam mereka. Keterangan-keterangan otentik (dari masalah-masalah diatas) bisa dilihat dalam Ushul al-Kafi dan kitab saya, atas-tsaurah al-Iraniyyah dari halaman 119/165 yang dikutib dari kitab asli.
Hal-hal yang telah disebut diatas adalah aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah mengenai para imam mereka dalam sorotan riwayat-riwayat tersebut. Meski begitu mereka mengatakan bahwa kata “an-Nabiy” tidak boleh diucapkan pada para imam karena Rasulullah menyandang predikat “penutup para nabi”.
Setelah masalah-masalah diatas terungkap secara menyeluruh, tidak tersisa bagi orang yang berakal kesangsian apapun; bahwa kenabian tidak ditutup oleh Rasulullah menurut Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah. Bahkan kenabian terus berlangsung dengan menggunakan simbol imamah. Hanya saja kata “an-Nabiy “ tidak diperkenankan disandang seseorang sepeninggal Rasulullah SAW. Hanya inilah (larangan pengguna kata “an-Nabiy” selain untuk Rasulullah) substansi khatmu an-Nubuwwah versi Syi’ah dan tuntutan kepada Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi.
Juru bicara teragung madzhab Syi’ah dan penutup muhaddits mereka, al-Baqir al-Majlisi menyatakan dalam sorotan riwayat-riwayat para imam ma’shum dengan teramat jelas bahwa imamah, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari nubuwwah. Ia pun membuktikan klaimnya dengan menggunakan dalil. Dalam kitab Hayatu al-Qulub-nya jilid ketiga yang khusus membahas persoalan imamah, ia juga menyatakan bahwa sebagian riwayat para imam – yang akan disebut kemudian – menunjukkan kedudukan imamah lebih tinggi dari kedudukan nubuwwah.1)
AL-Majlisi kemudian memberikan dalil atas klaimnya seraya mengatakan,”Sesunggguhnya Allah ta’ala berfiman kepada nabi Ibrahim AS setelah memberi ststus kenabian kepadanya :
إنّي جا علك للنّا س إماما
Yang artimya, ”Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”.2) Firman Allah tersebut menunnjukkan bahwa imamah adalah sesuatu yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Nubuwwah. Setelah lewat beberapa halaman al-Majlisi menulis: “Karena menghormati Rasulullah dan beliau adalah penutup para nabi, maka kami melarang mengucapkan kata-kata “an-Nabiy” dan sinonimnya kepada imam.” 3) Pernyataanini jelas menunjukkan bahwa aqidah Syi’ah al-Itsna “Asyariyyah dalam sorotan riwayat-riwayat para imam mereka menyatakan bahwa status imamah lebih tinggi dari status nubuwwah.
Salah seorang tokoh besar mujtahid Syi’ah di Pakistan’ al-Allamah Muhammad Husain mengarang kitab syarh besar yang mengomentari kitab kecil al-‘Aqoid karya syaikh as-Shaduq yang berbahasa Urdu. Di dalamnya ia menyatakan bahwa para imam yang suci lebih utama dari para nabi, baik yang menyandang predikat ulul ‘azmi, atau pun yang tidak, diluar junjungan alam semesta; Muhammad SAW. pernyataan ini sama seperti pernyataan al-Khumaini, imam Syi’ah masa kini, dalam al-Khukumah al-Islamiyyah-nya: “sesungguhnya sebagian prinsip madzhab kita (syi’ah al-Itsna ‘asyariyyah)adalah para imam mempunyai kedudukan yang tidak dapat dicapai malaikat muqarrab (terdekat dengan Allah) dan nabi yang di utus.
Setelah mengetahui pernyataan-pernyataan al-Mjlisi, Muhammad Husain al-Khumaini, hilanglah segala kesangsian dan keraguan bahwa menurut Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, status para imam lebih tinggi dari status para nabi. Para imam memiliki kedudukan dan tingkatan yang tidak bisa diraih oleh Malaikat Muqarrab dan nabi yang di utus, dan kata “an-Nabiy” tidak boleh diucapkan pada para imam, karena Nabi Muhammad telah menyandang predikat penutup para nabi. Merupakan hal yang saja bahwa aqidah ini (imamah) bisa meniadakan dengan tegas aqidah “penutup kenabian”.
Inilah pernyataan al-Imam Syah Waliyullah ad-Dahlawi dengan pemahaman yang brilian dan mata-hati imamnya setelah mempelajari kitab-kitab Syi’ah. Pernyataan tersebut beliau tulis dengan sangat jelas sebagai berikut: “imam dalam aqidah dan terminologi Syi’ah adalah orang yuang ma’shum dan mematuhinya merupakan fardlu ‘ain. Ia bisa memilih untuk memberi hidayah kepada makhluknya. Syi’ah mengatakan adanya wahyu al-bathini (tersembunyi) bagi para imam. Mereka mengingkari terhadap Khtmu an-Nubuwwah dalam realitas konkrit meskipun mereka mengatakan dengan lisan mereka bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi”.
Setiap orang yang membaca tulisan aya- dalam persoalan yang telah lewat- mengenai persoalan ini (Khatmu an-Nubuwah), ia tidak akan menyisakan sedikitpun keraguan terhadap kesimpulan yang diambil Imam Syah waliyullah rahimahullah (semoga Allah mengasihinya), bahwa Syi’ah dengan aqidah imamah-nya menolak Khtmu an-Nubuwwah. Nanti kami akan memaparkan pernyataan ad-Dahlawi dari karangan beliau, al-Musawwa, Syarh al-Muwattha’ karya Imam Malik. Dalam kitab tersebut beliau mengkategorikan Syi’ahsebagai orang-orang zindik danmurtad berdasarkan aqidah mereka yang kacau itu.
Ringkasan Pembicara
Seluruh persoalan yang telah saya persembahkan kepada yang terhormat para ulama Syi’ah dan pihak-pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa, lntinya adalah adalah bbahwa kitab-kitab Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah yang pokok dan dapat dipercaya menunjukkan dengan jelas tanpa kesangsian sedikitpun atas tiga aqidah, sebagai berikut:
1. keyakinan mereka bahwa syikhan (Abu Bakar dan Umar) - kami berlindung kepada Allah – bukan hanya telah kafir dan munafik, bahkan mereka berdua lebih busuk dari orang-orang kafir umat dahulu; Namrud, Fir’aun, dan Haman, serta orang-orang kafir umat ini; Abu Lahab Dan Abu Jahal, bahkan sampai lebih busuk dari setan. Mereka berdua juga dianggap sebagai orang yang paling berat menerima siksa neraka.
2. mushaf al-Qur a n yang berada ditangan umat islam telah mengalami perubahan. Di dalamnya mengalami terjadi segala macam bentuk perubhan. Mushaf tersebut bukanlah kitab Allah yang telah diturunkan-Nya kepada Rasuluulah.
3. aqidah imamah, sebagai hal yang prinsip versi mereka, sangat bertolak belakang dengan aqidah Khatmu an-Nubuwwah. Berdasarkan aqidah tersebut mereka mengingkari aqidah Khatmu an-Nubuwwah walaupun mereka mengucapkan dengan lisan mereka Rasulluah adalah penutup para nabi sebagaimana perkataan golongan al-Qadiyaniyyah.
Dan sekarang saya kira amatlah pantas untuk menghaturkan kepada yang terhormat para ulama beberapa fatwa ulama dan fuqaha tentang aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah serta tinjauan hukum syar’I atas aqidah tersebut.
Fatwa Tokoh-tokoh Besar Ulama Ummat Dan Fuqaha Mutaqaddimin Dan Mutaakhirin Tentang Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah
Al-imam Ibnu Hazm al-Andalusi (wafat: 467 h.)
Beliau menulis dalam kitab al-Fashlu Fii al-Milal Wa al-Ahwa’ Wa an-Nihal-nya mengenai golongan imamiyyah atau Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah sebagai berikut: “salah satu pendapat seluruh golongan imamiyyah dahulu dan sekarang adalah bahwa al-Qur a n mengalami pergantian, di dalamnya telah di tambahkan sesuatu yang berasal dari luar al-Qur a n dan juga terdapat kekurangan-kekurangan dan pergantian.”1)
Dalam bagian lain beliau mengutip persoalan yang digunakan oleh seorang Nasrani dalam menyerang Islam dan al-Qur a n. Salah satu serangan mereka adalah: “sesungguhnya golongan Rowafidl mengklaim bahwa sahabat nabi telah banyak mengganti al-Qur a n, menghilangkan sebagian ayat-ayatnya dan memasukkan kedalamnya. ”Beliau menangkis serangan tersebut seraya berkata, “adapun pernyatan Nasrani mengenai klaim golongan Rawafidl tentang pergantian al-Qur a n, maka golongan Rawafidl bukanlah kaum muslimin.” 2)
Al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki (wafat: 544 H.)
Beliau mengatakan ketika berbiocara tentang Syi’ah: “kami tegas mengkafirkan setiap orang yang melontarkan perkataan sampai memberikan penilaian bahwa umat berada dalam kesesatan dan para sahabat berada dalam kekafiran.” 1) Tidak lama kemudian mereka juga berkata, “Begitu juga orang yang mengingkari al-Qur a n atau satu huruf darinya, merubah sesuatu darinya ataub memasukkan tambahan kedalamnya.” 2) kemudian masih dalam rangkaian, pembicaraan diatas beliau mengatakan, “Dan begitu pula kami dengan tegas mengkafirkan kelompok ekstrim dari golongan ar-Rawafidl (Ghulatu ar-Rawafidl) atas pendapat mereka bahwa imam lebih utama dari para nabi”. 3)
As-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (wafat: 561 H.)
Beliau menempatkan dalam kitab beliau, Ghun-yatu at-Thalibin, pasal khusus dengan judul Faslun fii al-Firaqi adl-Dlallati’an Thariiqi al-Huda (pasal Golongan-golongan Yang Tersesat Dari Jalan Kebenaran). Dalam kitab tersebut beliau menyebut Khawarij, lalu Syi’ah dengan kelompoknya yang bermacam-macam. Beliau berkata, “masalah yang telah disepakati golongan Rafidlah beserta kelompoknya yang bermacam-macam adalah menetapkan imamah secara rasional. Imamah adalah Nash, dan para imam adalah orang-orang yang terjaga dari kebinasaan, kekeliruan,kelalain dan kesalahan. Antara lain mereka mengunggulkan aliatas seluruh sahabat, menentukan imamah atas beliau sepeninggal Nabi Muhammad SAW, berlepas diri (mengkafirkan,pen.) dari Abu Bakar, Umar dan Sahabat-Sahabat lain kecuali beberapa orang dari mereka.
Mereka menuduh seluruh sahabat telah murtad akibat menolak imamah Ali kecuali enam orang. Mereka adalah Ali, Ammar, Miqdad, bin Aswad, Salman al-Farisi dan dua prang laki-laki lain. Pernyataan mereka: ”Bagi imam diperkenankan berkata dalam situasi taqiyyah “Kami bukanlah seorang imam”. Orang-orang mati akan kembali ke dunia sebelum hari perhitungan (hisab)”.4) imam mengetahui segala sesuatu yang sudah atau akan terjadi dalam persoalan dunia dan agama, hingga bilangan kerikil, tetesan air hujan dan daun pepohonan. Para imam juga mampu menampakkan mu’jizat di tangan mereka sebagaimana para nabi.5)
Setelah beliau menyebut golongan Syi’ah yang bermacam-macam serta aqidah-aqidah mereka, beliau menyatakan, “Sesungguhnya disana ada kesamaan yang sempurna antara Syi’ah dan Yahudi dalam segi pemikiran.” Lalu beliau menjelaskan ungkapan tersebut dengan memberi contoh-contoh dan diakhiri dengn berkata, “Orang Yahudi telah melakukan tahrif terhadap Taurat dan begitu juga ar-Rafidlah lakukan tahrif terhadap al-Qur a n dikarenakan mereka mengatakan bahwa al-Qur a n telah dirubah, diganti, dikacaukan rangkaian dan susunannya, mengalami pergeseran dari masalah yang ia turun masalah tersebut, dibaca dengn cara-carayang tidak otentik dari Rasulullah dan terdapat pengurangan serta penambahan didalamnya.6)
Syaikhu al-Islam Ibnu Taimiyyah al-Hambali (wafat: 738)
Beliau berkata dalam kitabnya yang populer as-Shorim al-Maslul sebagai berikut: “Berkata al-Qodli Abu Ya’la: “Pendapat yang dipegang erat oleh fuqaha falam memaki sahabat adalah “orang yang memaki sahabat apabila menganggap bahwa perbuatan terseubut halal, maka ia telah kafir. Dalam hal ini sama saja baik ia mengkafirkan sahabat atau memaki agama serta keislaman mereka”. Setelah itu beliau berkata, “Sekelompok fuqoha’ dari Kufah dan lainnya secara tegas menyatakan bahwa orang yang memaki seluruh sahabat harus dibunuh, dan mereka menyatakan kekufuran Rawafidl”. Muhammad Yusuf al-Firyabi pernah ditanya mengenai orang yang memaki Abu Bakar. “ia telah kafir”, jawab beliau. “apakah jika mati ia disholati?” Beliau ditanya lagi. “Tidak”, jawab beliau.
Ibnu Taimiyyah lalu berkata, “Abu Bakar bin Hani’ berkata,”Tidak boleh dimakan hewan sembelihan golongan Rawafidl dan Qodariyah seperti halnya hewan sembelihan orang murtad, meskipun hewan sembelihan kafir kitabi boleh dimakan karena status mereka (Rawafidl dan qodariyyah)menempati status murtad”.7)
Al-Allamah Ali al-Qari (wafat; 1014 H)
Beliau berbicara dalam Syarh al-Akbar karya Abu Hanifah mengenai golongan-golongan dan aqidah-aqidah yang menurut konsensus para ulama dan para imam adalah kufur, sebagai berikut; “Yaitu orang-orang yang mengingkari keseluruhan, satu surat atau satu ayat dari al-Qur a n.”8)
Pengarang Madhohiru al-Haqq mengemukakan dalam bagian pelengkap kitab dengan mengutip sebuah pernyataan dari al-Mirqah Syarh al-Misykah karya al-Allamah al-Qari’ sebagai berikut; “Mereka (Syi’ah) meyakini kekufuran pembesar-pembesar sahabat apalagi kekufuran seluruh Ahlussunnah wal Jama’ah. Meka tidak dapat disangkal sesuai konsensus, mereka (Syi’ah) adalah orang-orang kafir.”1)
Al-Allamah Bahrul ‘Ulum al-Laxhnowwi
Beliau –rahimahullah- pada mulanya tidak mengerti tentang aqidah Syi’ah mengenai tahrif al-Qur a n, seperti tercermin dalam kitab beliau, Fawatihu ar-Rahamut Syarh Musallamu ats-Tsubut. Namun ketika beliau membaca tafsir Jami’il Bayan karya cendekiawan Syi’ah Abi Ali at-Thabrasi beliau baru mengerti bahwa Syi’ah meyakini al-Qur a n bukan kitab yang sempurna dan sebagian dari bagian-bagiannya ada yang hilang karena kecerobohan para penghimpunnya; sahabat (walaupun at-Thabrasi menolak aqidah tersebut karena taqiyyah). Ketika beliau mengetahui hal tersebut, beliau menulis; “Barang siapa mengatakan pendapat ini maka ia kafir, karena ia mengingkari hal yang prinsip. Camkanlah!.”2)
Al-Allamh Kamaluddin Ibnu al-Humam (wafat; 681 H)
Beliau dalam Fathu al-Qadir Syarh al-Hidayah dalam bab Imamah menulis sebagai berikut; “Mengenai Rawafidl, barang siapa mengunggulkan Ali atas ketiga sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman), maka ia telah membuat bid’ah. Dan barang siapa mengingkari Khilafah Abu Bakar atau Umar –radliallahu ‘anhuma- maka ia kafir.”3)
Fatwa-fatwa Alimkiriyyah
Fatwa-fatwa ini disusun oleh ulama dan pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa di India atas instruksi Raja Aurankzeb Alimkiriyyah rahimahullah. Fatwa tersebut adalah: “Ar-Rafidl (orang yang menganut faham golongan Rawafidl) bila memaki dan melaknat –kami berlindung kepada Allah- Abu Bakar dan Umar, maka ia telah kafir. Dan bila ia Cuma mengunggulkan Ali atas Abu Bakar, ia tidak kafir, hanya saja ia dianggap bid’ah.” Lalu beliau berkata, “Mereka (Rawafidl) telah keluar dari agama Islam, status mereka di mata hukum adalah status orang murtas.”4)
Al-Allamah Ibnu al-Abidin as-Syami al-Hanafi
Dalam Raddu al-Mukhtar pada bab al-Murta, beliau memilih sikap penuh hati-hati, seperti tercermin dari bab tersebut. Tetapi, meski begitu beliau mengatakan, “Memang benar, tidak ada keraguan sedikitpun dalam mengkafirkan orang yang mnuduh zina terhadap Sayyidina Aisyah RA atau mengingkari status sahabat bagi Abu Bakar.” 5)
Catatan Penting
Ketika fuqaha dan pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa berbicara dalam masalah pengkafiran Syi’ah dan mereka menyebutkan dalam keterangan-keterangan mereka tuduhan zina terhadap Ummul Mu’minin ‘Aisyah RA –seperti disebutkan dalam keterangan Raddu al-Mukhtar- maka yang dimaksud dari tuduhan zina tersebut adalah tuduhan zina yang dilontarkan munafiqin (orang-orang yang berjiwa kotor terhadap Ummul Mu’minin ‘Aisyah RA) dalam masa hidup Rasulullah SAW. Lalu Allah menurunkan “kebersihan” dan “kesucian’ beliau dalam surat an-Nur. Keterjagaan dan kesucian beliau tersimpan dalam dokumen Ilahiyyah sampai hari kiamat seperti halnya Sayyidah Maryam RA. Oleh karena itu para imam, fuqha’ dan ulama sepakat bahwa siapapun orang terkutuk yang menisbatkan kedustaan ini (zina) kepada ‘Aisyah as-Shiddiqah maka tidak ada keraguan lagi terhadap kekufuran dan kemurtadannya karena ia berani mendustakan al-Qur a n al-Karim.
Penulis tulisan ini (an-Nu’mani) menghaturkan kepada yang terhormat ulama Syari’ah bahwa tuduhan yang disebutkan fuqaha dengan kata al-Qadzf adalah tuduhan melakukan dosa. Tetapi ulama dan para pengarang Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah menuduh ‘Aisyah RA telah melakukan kesalahan yang lebih berat dan lebih kotor dari zina yang dituduhkan.
Juru bahasa dan penutup muhaddits madzhab Syi’ah, al-Baqir al-Majlisi dalam kitab-kitabnya berulang kali menyebut ‘Aisyah sebagai wanita munafiq dan kafir, bahkan ia sudah melampaui batas dengan menuduh ‘Aisyah dan Ummul Mu’minin Hafshah binti Umar telah berkomplot untuk membunuh Rasulullah dengan racun. Rincian masalah ini saya sebutkan dalam kitab saya, ats-Tsaurah al-Iraaniyyah, dari hal. 221-222. Di sini kami Cuma menuturkan riwayat singkat persoalan tersebut. Dalam Hayatu al-Qulub, al-Majlisi berkata, “Ayyasy meriwayat dengan sanad mu’tabar dari Ja’far as-Shadiq bahwa ‘Aisyah dan Hafshah ingin membunuh Rasulullah dalam racum.”1)
Jelas bahwa tuduhan membunuh ini lebih berat dan lebih kotor seribu kali dari tuduhan berzina. Apakah pantas perkataan itu keluar dari (pena) lelaki yang dalam hatinya terdapat iman seberat atom ? sampaikan fatwa kalian kepada kami wahai tuan-tuan ulama ! Sudah diketahui bahwa al-Majlisi adalah pengarang yang karya-karyanya banyak diterima oleh kalangan Syi’ah sehingga Khomeini berpesan kepada para pengikutnya untuk mempalajari kitab-kitab al-Majlisi untuk menambah pengetahuan agama seperti tercantumdalam kitab Kasyfu al-asror-nya halaman 121.
Muhammad Husain adalah seorang Mujtahid populer Syi’ah pada sekarang ini. Ia memiliki kedudukan tinggi di kalangan mereka, pengarang kitab-kitab yang mendukung Syi’ah dan menolak Ahlussunnah, dan pensyarah kitab as-Shaduq al-‘Aqaid yang berbahasa Urdu. Dalam kitab tersebut Muhammad Husain menyebut al-Majlisi sebagai berikut: “Orang yang telah menyelami samudra hadits (riwayat para imam) dan menyebarkan ilmu-ilmu para imam yang suci, yang terhormat al-Allamah al-Majlisi, semoga rahmat Allah turun kepada.”2)
Apa yang telah kami sajikan dari keterangan Khumaini, pemimpin dunia Syi’ah dan Mujtahid mereka yang berkebangsaan Pakistan, Muhammad Husain menunjkkan kedudkan al-Majlisi dalam dunia Syi’ah. Dan Syi’ah yang berada dalam masa kita sekarang juga memperlihatkan kepada kita aqidah mereka mengenai Ummul Mukminin ‘Aisyah as-Shadiqah bahwa beliau adalah seorang wanita munafik dan wanita mukmin.3)
Pembicaraan mengenai Ummul Mu’minin radliallahu ‘anha saya sebutkan seperti jumlah mu’taridloh (kalimat penengah), karena pembicara-an mengenai beliau sangat penting untuk dimunculkan. Dan kini saya akan meneruskan penyajian fatwa-fatwa ulama mengenai Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah. Dalam kesempatan ini saya akan menyebutkan pernyataan as-Syah Waliyullah ad-Dahlawi (wafat; 1176 H) dari karya beliau al-Musawa syarh al-Muwattho’ karya Imam Malik. Lalu saya lanjutkan dengan fatwa-fatwa sebagian tokoh-tokoh besar ulama semenanjung benua Asia (India) dan mata-rantai ini akan saya tutup dengan tinjauan hukum mengenai Syi’ah ‘Asyar’iyyah oleh Syah Waliyullah.
As-Syah Waliyullah mengklasifikan kafir menjadi tiga kategori. “Orang-orang menentang agama yang haq, bila ia mengakui dan tidak mau tunduk terhadap agama tersebut baik secara lahir maupun batin, maka ia adalah kafir. Dan bila ia mengakui agama tersebut secara lahir namun ia menafsirkan sebagian dari hal-hak yang merupakan prinsip dari ajaran agama tersebut berbeda dengan penafsiran sahabat dan tabi’in serta konsesus ulama, maka ia adalahseorang zindik”, kata beliau. Kemudian beliau menjelaskan beberapa contoh kezindikan. Berangkat dari maksud ini beliau menulis sebagai berikut: “Begitu pula orang yang mengatakan mengenai syaikhan (Abu bakar dan Umar) misalnya, “Mereka berdua bukanlah ahli surga.” Padahal terdapat hadits mutawatir mengenai kabar gembira mengenai kabar gembira jaminan masuk surga bagi mereka berdua, atau mengatakan bahwa nabi muhammad adalah penutup para nabi , namun maksud pernyataan ini adalah sepeninggal nabi muhammad tidak di perkenankan ada seseorang yang menyandang predikat nabi.
Adapun makna nuubuwah adalah keberadaan seorang manusia utusan allah atas makhluk, di-fardu ain-kan kepatuhan kepadanya, terhindar dari dosa dan dari kekekalan melakukan kesalahan dalam pandanganya sehingga makna nubuwah ini bisa melekat pada para imam sepeninggal Rasulullah SAW. Maka orang yang mengatakan perkataan tersebut adalah orang zindik. Dan mayoritas ulama mutaakhkhirin kalangan madzhab Hanafi dan Syafi’I sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang menempuh aliran tersebut (zindik).4)
Fatwa Ulama Semenanjung Benua Asia Pada Masa Yang Baru Berlalu
Al-Allamah as-Syaikh Muhammad Abdu as-Syakur al-Faruqi al-Lacknowi rahimahullah adalah salah seorang tokoh besar ulama Ahlussunnah abad XIV. Beliau mempunyai keistimewaan dalam spesialisasi dan pengetahuan tentang madzhab Syi’ah al-Itsna ‘Asy’ariyyah. Setelah mempelajari serta mendalami madzhab tersebut beliau mengetahui dengan pasti bahwa sebagian akida-aqidah mereka bertolak belakang dengan prinsip-prinsip islam.
Berlandaskan kenyataan tersebut, Syi’ah al-Itsna ‘Asy’ariyyah bukanlah termasuk golongan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hambaliyyah, dan Ahlu al-Hadits yang merupakan golongan islam. Bahkan Syi’ah al-Itsna ‘Asy’ariyyah adalah golongan kafir karena aqidah-aqidah kkufur mereka. Mereka telah keluar dari lingkaran islam sebagaimana golongan al-Qodiriyyah.
Syaikh yang agung ini memandang sebagai “tanggung jawab keagamaan” beliau untuk mempersembahkan kepada khalayak umum dan khalayak tertentu yang tidak sempat mempelajari madzhab Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah. Lalu Allah memberi taufiq kepada beliau untuk maksud itu sehingga beliau mampu membuat langkah-langkah besar dalam mencapai tujuan tersebut. Langkah-lankah yang menerangi umat Islam sepanjang masa. Sebelum mencapai usia 60 tahun, beliau menulis fatwa yang ditandatangani oleh tokoh-tokoh besar ulama pada masa itu. Fatwa tersebut beliau publikasikan dengan judul “Fatwa-fatwa Tokoh Besar Ulama Atas Kekufuran dan Kemurtadan Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah.”
Fatwa tersebut mendapat dukungan guru-guru besar Universitas Deoband India seperti Mufti Syaikh Riyadluddin –seorang dekan yang bergelar Syaikhu al-Hadits- Syaikh Husain Ahmad, Syaikh Sayyid Ashghor Husain, Syaikh ‘Izz Ali, Syaikh Muhammad Ibrahim, Syaikh al-Mufti Muhammad Syafi’, Syaikh Zubair Ahmad al-Utsmani, dan lain-lain. Fatwa tersebut juga mendapat dukungan dari ulama Sekolah Tinggi Islam di Amruhah yang dipimpin oleh Syaikh Maulana al-Hafidh Abdu ar-Rahman al-Amruhi. Semoga rahmat Allah turun kepada mereka semua.
Kepada Yang Terhormat Ulama Syari’at dan Ahli Fatwa Zaman Sekarang
Setelah Anda sekalian membaca riwayat-riwayat para imam Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah yang dianggap ma’shum dan keterangan ulama mutaqaddimin dan muta-akhkhirin mereka dari kitab-kitab pokok dan mu’tabar mereka, tidak bersisa sedikitpun keraguan dalam hal-hal sebagai berikut;
1. Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah meyakini bahwa syaikhani –ma’adzallah- adalah orang yang paling paling busuk dari orang-orang kafir umat terdahulu dan sekarang, bahkan lebih busuk dari setan.
2. Mushaf al-Qur a n yang ada sekarang telah mengalami perubahan dengan segala bentuknya, sehingga ia bukanlah kitab Allah yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
3. Status imamah lebih tinggi dari status nubuwwah. Para imam memiliki kedudukan yang tidak mungkin diraih oleh nabi dan rasul. Substansi nubuwwah tidak ‘ditutup’ oleh Rasulullah bahkan terus berlanjut dengan menggunakan simbol imamah. Makna penutup para nabi adalah tidak diperkenankannya kata ‘nabi’ disandang oleh selain Nabi Muhammad SAW sebagai penghargaan dan penghormatan kepada beliau semata.
Selanjutnya Anda sekalian juga telah membaca fatwa-fatwa ulama kaum muslimin mutaqaddimin dan mutaakhkhirin dengan berdasarkan aqidah-aqidah kufur tersebut (aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah). Harapan kami untuk Anda sekalian yang terhormat, setelah melihat persoalan-persoalan yang jelas ini agar mengeluarkan pendapat dari kacamata hukum syar’i mengenai Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah dalam rangka memberi petunjuk dan informasi kepada umat Islam. semoga Allah memberi pahala kepada Anda sekalian.
P e n u t u p
Tidak ragu lagi bahwa mengkafirkan orang atau kelompok yang mengaku Islam sekaligus menyatakan kalimat tauhid dan menghukumi mereka keluar dari lingkaran Islam adalah persoalan serius. Dalam hal ini ulama hendaklah semaksimal mungkin bersikap hati-hati. Namun, begitu juga bila tampak aqidah seseorang atau sekelompok orang menunjukkan dengan jelas tanda-tanda kekufuran dan kemurtadan, maka wajib bagi ulama untuk mengumumkan kekufuran kemurtadan mereka dalam rangka memlihara agama seluruh kaum muslimin.
Bagi kita sekalian, dalam diri khalifah Rasulullah, Abu Bakar, terdapat suri tauladan yang baik sampai hari kiamat yaitu sikap beliau menghadapi orang-orang yang menolak memberi zakat dan mengklaim sebagai nabi sepeninggal Rasulullah SAW, serta para pengikut mereka.
Al-Qadiyaniyyah adalah kelompok yang bukan hanya mengaku Islam sekaligus menyatakan kalimat tauhid, bahkan lebih dari satu abad mereka mengorganisasikan da’wah Islam di Eropa dan Afrika menggunakan metode khusus, bahkan jauh lagi mereka sempat berpolemik dengan orang-orang Kristen dan Hindu sampai 50 tahun untuk membuktikan bahwa mereka adalah golongan muslimin dan wakil kaum muslimin.
Kalimat syahadat, adzan, sholat dan hukum-hukum syara’ yang bermacam-macam yang dianut oleh golongan al-Qadiyaniyyah sama persis dengan yang diantu oleh seluruh kaum muslimin, namun ketika tampak nyata di hadapan kaum muslimin bahwa mereka menolak aqidah Khatmu an-Nubuwwah dan mereka mengimani ke-nabi-an Mirza Ghulam Ahmad, walaupun mereka berkata dengan mulut mereka bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi. Dan tampak aqidah-aqidah kufur mereka yang lain.
Para ulama memandang bahwa merupakan kewajiban mereka untuk menjatuhkan hukum kufur dan murtad kepada mereka, serta mengumumkannya dihadapan kaum muslimin. Bila mereka enggan menjatuhkan hukum tersebut maka mereka semua berdosa di sisi Allah SWT.
Tetapi kondisi Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah disamping mereka menganut aqidah-aqidah kufur yang telah lewat disebutkan, mereka juga membuat kalimat Syahadat, sholat dan wudlu yang tidak sama dengan yang digunakan oleh umumnya kaum muslimin. Masalah zakat, nikah, talaq hingga masalah kematian; mengkafani, menguburkan dan hukum waris mayit juga berbeda dengan yang berlaku dikalangan kaum muslimin umumnya. Merinci masalah-masalah tersebut tentu akan membutuhkan kitab yang besar.
Walhasil, kami memohon kepada yang terhormat para ulama zaman ini untuk mengeluarkan tinjauan hukum mereka dalam persoalan kufurnya Syi’ah al-Itsna as-‘Asyariyyah dan keislaman mereka. Hal ini merupakan tanggungjawab ilmiah dan agama yang dibebankan diatas pundak mereka dihadapan Allah. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Wallahu a’lam.
Tgl; 27 Juni 2006 M / 1 Jumadil Akhir 1427 H.

Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar