مقدمة

إنّ الحمد لله تعالى نحمده، ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلّ له، ومن يضللْ فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

وبعد :

Alhamdulillah, berkat Taufiq serta Hidayah-Nya, akhirnya blog sederhana ini dapat terselesaikan juga sesuai dengan rencana. Sholawat salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Bermodal dengan keinginan niat baik untuk ikut serta mendokumentasikan karya ilmiah perjuangan Syaikhina Muhammad Najih Maemoen, maka sengaja saya suguhkan sebuah blog yang sangatlah sederhana dan amburadul ini, tapi Insya Allah semua ini tidak mengurangi isi, makna dan tujuhan saya.

Blog yang sekarang ini berada di depan anda, sengaja saya tampilkan sekilas khusus tentang beliau Syaikhina Muhammad Najih Maemoen, mengingat dari Ponpes Al Anwar Karangmangu Sarang sudah memiliki website tersendiri yang mengupas secara umum keberadaan keluarga besar pondok. Tiada lain tiada bukan semua ini sebagai rasa mahabbah kepada Sang Guru Syaikhina Muhammad Najih Maemoen.

Tidak lupa saya haturkan beribu terima kasih kepada guru saya Syaikhina Maemoen Zubair beserta keluarga, terkhusus kepada beliau Syaikhina Muhammad Najih Maemoen yang selama ini telah membimbing dan mengasuh saya. Dan juga kepada Mas Fiqri Brebes, Pak Tarwan, Kak Nu'man, Kang Sholehan serta segenap rekan yang tidak bisa saya sebut namanya bersedia ikut memotifasi awal hingga akhir terselesainya blog ini.

Akhirnya harapan saya, semoga blog sederhana ini dapat bermanfa’at dan menjadi Amal yang di terima. Amin.

Jumat, 03 Juni 2011

Pesantren Masa Depan. Oleh: KH. M. Najih Maemoen

PESANTREN MASA DEPAN

“FORMAT DAN HARAPAN”

Oleh: KH. Muh. Najih Maimoen

Disampaikan Pada Acara Sarasehan Budaya Peringatan Satu Abad KH. A. Wahid Hasyim

Sabtu, 28 Mei 2011 M, di Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur

BIS-19


الحمْدُ لله ربِّ العَالَمِيْن والصَّلاةُ والسَّلامُ على رَسُولِه الكَرِيم ونَبِيّهِ مُحَمَّد اْلأَمِيْن وعلى آلِهِ الطَّاهِرِيْن وأَصْحابِهِ الْمَهْدِيِّيْن ، أما بعد:

MUQODDIMAH

Pendidikan pesantren selalu menjadi kajian menarik, bukan hanya karena memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan pendidikan lainnya, namun juga karena kaya akan konsep-konsep yang selalu relevan dibandingkan dengan pendidikan umum. Keberadaannya sebagai lembaga pendidikan Islam di tanah air mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bangsa Indonesia, pesantren memiliki potensi keberagaman dalam berbagai hal baik kultur maupun sosial yang menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pesantren juga merupakan sebuah lembaga pendidikan yang tidak hanya mendidik pada pencerahan akal (kecerdasan emosional) saja akan tetapi juga mendidik terhadap pencerahan jiwa (kecerdasan spritual). Pesantren tradisional (salaf) “merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang sangat diperhitungkan dalam mempersiapkan ulama masa depan, sekaligus sebagai garda terdepan dalam memfilter dampak negatif kehidupan modern”.

Ilmu yang didapat para alumni pesantren dari almamater pesantrennya masing-masing sangat cukup untuk bekal hidup bermasyarakat dan berjuang. Ini tentu ditunjang berkat semangat dan ketekunan santri tempo dulu dan berkah para gurunya yang keikhlasan dan kedalaman ilmunya sangat mumpuni. Suatu hal yang menakjubkan, bahwa umat Islam Nusantara yang terjajah selama 3,5 abad dan selalu kalah dalam pertikaian politik serta kekuasaan, tapi masih bisa mengembangkan dakwah Islamiyah-nya sehingga sensus penduduk menjadi mayoritas muslim. Ini tidak lepas dari perjuangan pesantren yang bertebaran di pelosok Tanah Air.

Globalisasi dan Modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uang, Ia juga menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi merupakan barokah kalau memang kita siap, dan mungkin juga membawa petaka kalau kita gagap. Globalisasi juga menawarkan berbagai macam pilihan bisa menguntungkan juga membahayakan. Sebab didalam globalisasi terjadi kompetisi, bukan hanya yang kuat dengan yang kuat saja, tetapi yang kuat dan yang lemah pun dituntut pula berkompetensi. Globalisasi pun menawarkan sejuta mimpi, harapan, serta kemudahan dalam mengakses informasi. Pesantren yang ghalibnya merupakan palang pintu pelestarian tradisi dan akan segera diuji kekokohannya oleh yang namanya globalisasi.

Dalam khazanah pendidikan islam, banyak kita temukan tokoh-tokoh pesantren yang mempunyai ide cerdas dan cemerlang yang menjadi inspirasi dan konstribusi besar bagi dinamika pendidikan islam dengan memasukkan sistem klasikal (madrasah) dalam dunia pendidikan pesantren yang dulunya sistem tersebut diharamkan oleh para kiai sepuh, namun setelah anak-anak mereka belajar di Makkah dan disana sudah ada Madrasah as-Shoulatiyyah, Madrasah al-Fakhriyyah, Madrasah al-Falah dan Madrasah Darul Ulum, maka setelah pulang mereka mendirikan madrasah-madrasah dalam pesantren.

SEKILAS KH. A. WAHID HASYIM

Keluarga dan Pendidikan

KH. Wahid Hasyim yang akrab disapa dengan Gus Wahid lahir pada hari Jumat Legi, tanggal 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 juni 1914 di Desa Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Oleh ayahnya Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, yang di ambil dari nama neneknya. Karena di anggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya di ganti Abdul Wahid.

Wahid Hasyim berasal dari keluarga yang taat beragama, keluarga pesantren yang berpegang erat pada tradisi. Ia lahir, tumbuh dan dewasa dalam lingkungan pesantren. Ibunya bernama Nafiqah putri K.H. Ilyas pemimpin pesantren Sewulan di Madiun. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada Lembu Peteng (Brawijaya VI), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir (Sultan Pajang 1569-1587) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I. Sejak usia 5 tahun ia belajar membaca al-Quran pada ayahnya setiap selesai sholat magrib dan dhuhur, sedang pada pagi hari ia belajar di Madrasah Salafiyah di dekat rumahnya. Dalam usia 7 tahun ia mulai mempelajari kitab Fath al-Qarib, al-Minhaj al-Qawim dan Mutammimah pada ayahnya.[1]

Ketika berusia 12 tahun Wahid Hasyim telah menamatkan studinya di Madrasah Salafiyah Tebuireng, lalu beliau belajar ke pondok Siwalan Panji, Sidoarjo, di pondok Kiai Hasyim bekas mertua ayahnya. Di sana ia belajar kitab-kitab Bidayah, Sulamut Taufiq, Taqrib dan Tafsir Jalalain. Gurunya adalah Kiai Hasyim sendiri dan Kiai Khozin Panji, namun ia hanya belajar dalam hitungan hari yaitu selama 25 hari tidak sebagaimana umumnya santri yang belajar di pesantren dalam waktu yang cukup lama. Pengembaraan intelektualnya dilanjutkan di Pesantren Lirboyo, Kediri, juga hanya dalam hitungan hari. Setelah itu ia tidak meneruskan pengembaraannya ke pesantren lain, tetapi lebih memilih tinggal di rumah dan belajar secara otodidak dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Kepribadian Wahid Hasyim

Wahid Hasyim hidup dalam lingkungan pesantren yang tentu sangat relegius yang membentuk kepribadiannya dalam cara bergaul, beorganisasi, mendidik menjadi seorang pemimpin dan bahkan menjadi seorang negarawan. Dialektikanya tidak hanya dengan komunitas pesantren dan NU saja, tapi dengan berbagai komunitas seperti dengan organisasi pergerakan Islam, partai politik dan juga birokrasi pemerintahan ketika beliau menjabat sebagai Menteri Agama.

Perlu diketahui bahwa KH. Wahid Hasyim adalah aktifis partai Masyumi, yang berarti beliau selalu istiqomah dalam partai Islam mengkuti jejak dan wasiat ayah beliau, hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH. A. WAHID HASYIM

Prinsip-Prinsip Pendidikan.

Pemikiran pendidikan Islam Wahid Hasyim dapat di cermati pada beberapa karyanya. Dalam bukunya, K.H.A. Wahid Hasyim membeberkan beberapa prinsip dalam pendidikan yaitu :

a. Percaya kepada diri sendiri atau prinsip kemandirian.

b. Kesabaran.

c. Pendidikan adalah proses bukan serta merta.

Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, beliau mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya

b. Menggambarkan cara mencapai tujuan itu

c. Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.

Menurut beliau, tujuan pendidikan adalah untuk menggiatkan santri yang berahlakul karimah, takwa kepada Allah dan memiliki ketrampilan untuk hidup. Artinya dengan ilmu yang dimiliki ia mampu hidup layak di tengah masyarakat, mandiri, tidak jadi beban bagi orang lain. Santri yang tidak mempunyai ilmu dan ketrampilan hidup ia akan menghadapi berbagai problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Wahid Hasyim bersifat Teosentris (Ketuhanan) sekaligus Antroposentris (kemanusiaan). Artinya bahwa pendidikan itu harus menjadi penyeimbang antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi, moralitas dan akhlak, dengan titik tekan pada kemampuan kognisi (iman), afeksi (ilmu) dan psikomotor (amal, akhlak yang mulia).[2]

Menurut pandangan kami, ide Wahid Hasyim sebenarnya sudah berpuluh-puluh tahun ada dan dipraktekkan oleh pesantren salaf. Belajar serta mendalami ilmu agama, sholat berjamaah, hidup gotong-royong, hidup sederhana, saling menghormati sesama santri merupakan perpaduan antara ilmu dan amal. Keberadaan pesantren salaf yang mayoritas keberadaannya di desa-desa, di kampung-kampung yang jauh dari keramaian kota, kafe-kafe, diskotik-diskotik, menolak penjajahan ekonomi kapitalis-sosialis barat lewat pabrik-pabrik yang limbahnya merusak lingkungan, keberadaan PLTU, Lapindo yang bisa menjadikan lahan disekitarnya tidak produktif, tanaman dan tumbuh-tumbuhan mati, belum lagi polusi udara yang disebabkan oleh teknologi-teknologi modern tersebut, juga sebagai bukti pesantren selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akibat berdirinya pabrik-pabrik dan penjajahan sistem tersebut, di sekitarnya kemaksiatan merajalela, prostitusi tumbuh berkembang, masyarakat dengan mudah meninggalkan kewajiban sholat, berpuasa, bersilaturrahmi dengan keluarga, masyarakat dan meninggalkan kewajiban-kewajiban kepada Allah lainnya. Bahkan gara-gara Blok Cepu di Blora, berdirilah gereja yang amat besar.

Materi Pendidikan Islam

Materi yang di rancang oleh Wahid Hasyim dalam pendidikan terbagi menjadi tiga: Pertama, ilmu-ilmu agama Islam seperti fiqih, tafsir, hadist dan ilmu agama lainnya. Kedua, ilmu non agama seperti ilmu jiwa, matematika, dan Ketiga, kemampuan bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Belanda.

Menurut pandangan kami, sejak dulu keberadaan pesantren salaf mampu mencetak ulama-ulama handal, seperti Syaikh Nawawi Banten pengarang kitab Tafsir Munir dan Nihayatuzzain, Syaikh Mahfudz Termas, pengarang kitab Manhaj Dzawi Annadhor dan Mauhibatu dzi al Fadli, Syaikh Hasyim Asy’ari pengarang kitab Risalah Ahlussunnah wal-Jama’ah, Irsyadul Mu’minin, Annurul Mubin, Audlohul Bayan, Dll. Syaikh Ihsan Jampes dengan karyanya Siroj at-Thalibin syarh Minhajul Abidin, karya Imam Ghozali, ad Durru al Farid, al Kawakib al Lama’ah karya syaikh Abu Fadlol Senori Tuban yang keberadaannya diakui dunia international.

Sebenarnya sebagian ilmu umum sudah diajarkan di pesantren, seperti ilmu Falak, ilmu Balaghoh, ilmu Nahwu, ilmu Shorof, ilmu Hisab (yang fital dalam ilmu Faro’id) yang kesemuanya itu dijadikan sebagai alat untuk memahami al-Qur’an, al-Hadits dan kitab-kitab salaf.

Jadi, keberadaan ilmu umum memang diperlukan, saling menghormati dan bisa melakukan kerjasama dalam segala bidang, baik pada waktu masih belajar atau bahkan nanti setelah terjun di masyarakat dengan tanpa melebur menjadi satu dalam sebuah kelembagaan. Tapi pesantren yang sudah mapan dengan sistem salafnya, biarlah tetap eksis dan wajib kita jaga dan dukung keberadaannya. Adapun pesantren yang sudah kadung ada umumnya atau pesantren-pesantren modern, universitas-universitas agar diupayakan untuk mengadopsi kitab-kitab salaf, syukur kalau bisa porsi kesalafan itu diperbanyak sehingga imbang atau melebihi ilmu-ilmu umumnya.

Metode Pendidikan

Adapun metode pendidikan yang dianut oleh K.H.A. Wahid Hasyim merupakan kelanjutan dari sistem dan teknik KH. Hasyim Asy’ari. Contohnya seperti:

Tanggung Jawab Murid

- Tidak menunda-nunda kesempatan dalam belajar atau tidak malas.

- Berhati-hati, menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat.

- Memuliakan dan memperhatikan hak guru , mengikuti jejak guru.

- Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru.

- Berbicara dengan sopan dan santun dengan guru.

- Bila terdapat sesuatu yang kurang bisa dipahami hendaknya bertanya.

- Pelajari pelajaran yang telah diberikan oleh guru secara istiqomah.

- Pancangkan cita-cita yang tinggi.

- Tanamkan rasa antusias dalam belajar.

Tanggung Jawab Guru

- Bersikap tenang dan selalu berhati-hati dalam bertindak.

- Mengamalkan sunnah Nabi.

- Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih gemerlap dunia.

- Berakhlakul karimah dan selalu menabur salam.

- Menghindarkan diri dari tempat-tempat yang kotor dan maksiat.

- Memberi nasehat dan menegur dengan baik jika ada anak yang bandel.

- Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesi yang dimiliki.[3]

Menurut pandangan kami, Sebenarnya sumbangsih kitab salaf terhadap teori pendidikan Islam sudah ada sejak abad pertengahan. Keberhasilan konsep belajar mengajar yang terangkum dalam kitab Ta’lim Muta’allim karya Syaikh az-Zarnuji telah menghantarkan kitab ini sebagai kitab standar dan berfungsi sebagai pedoman bagi para tholibul ilmi di seluruh dunia. Di Mesir diterbitkan tahun 1281, 1307, dan 1318, di Mursidabad tahun 1265, di Tunisia tahun 1286 dan 1874 di Turki 1902, di Kazan tahun 1898 dan 1901, di Jerman tahun 1709, dan di Labsak tahun 1838.

PARADIGMA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN PESANTREN DAN MADRASAH

Paradigma dari Teosentris ke Anthroposentris.

Pada awalnya tujuan pendidikan di pesantren berkonsentrasi pada urusan ukhrawi, dan nyaris terlepas dari urusan duniawi. Dengan tujuan yang demikian, maka system pendidikan di pesantren lebih banyak didominasi dengan warna-warna fiqh, tashawwuf, akhlak dan sejenisnya. Ini bisa dimaklumi karena para kiai pesantren takut riya’ dan takut punya niat dan tujuan untuk mencari kesenangan duniawi dengan ilmu agama (tholabud dunya biddin) sehingga sebagian besar pesantren menolak masuknya ide pembaharuan. Melihat kondisi yang demikian, Wahid Hasyim menawarkan ide pembaharuan dengan merekonstruksi tujuan pembelajaran di pesantren.

Maksud dari ide beliau, santri belajar di pesantren semata-mata mengharap ridho dari Allah, mampu beradaptasi, berdialog dengan masyarakat dengan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki. Mampu menggunakan akal pikirannya guna menyelesaikan berbagai problem di masyarakat. Inilah salah satu ide cemerlang Wahid Hasyim yang dalam dunia pendidikan kontemporer dikenal dengan istilah life skill education (pendidikan kecakapan hidup).[4]

Maka dari itu, Wahid Hasyim sangat menganjurkan kepada para santri untuk banyak menggunakan potensi akal pikirannya guna menyelesaikan berbagai problem kemasyarakatan, bukan hanya persoalan yang berhubungan dengan masalah agama, ritual dan ibadah (hubungan vertikal antara makhluk dengan sang kholiq) namun juga problem riil yang dihadapi masyarakat islam (bersifat horizontal), salah satunya adalah persoalan ekonomi yang sering menjadi problem serius ummat Islam. Maka, santri harus mamperkuat diri dengan berbagai macam keahlian.

Dengan fungsi tersebut, selain materi yang bersifat keagamaan, pesantren menyeimbangkan diri dengan membekali santrinya dengan ilmu non agama yang berguna untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dengan demikian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mampu memberi solusi alternatif bagi masyarakat karena mampu memproduksi alumni yang kompetitif, tangguh dan mampu “bertarung” dengan zaman.

Menurut pandangan kami, peningkatan taraf hidup manusia akan terlaksana dengan adanya kemauan yang kuat dan selalu berfikir maju. Ilmu non agama memang mempunyai peran, tapi jika kemauan manusia dalam manggali potensi diri itu lemah, akan sia-sia. Buktinya banyak sarjana-sarjana yang nganggur. Tanpa memasukan pelajaran non agama pun, santri bisa saja meningkatkan taraf hidupnya, walaupun tidak seperti santri-santri terdahulu, karena sekarang banyaknya persaingan-persaingan disegala bidang dan adanya penjajahan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Sehingga santri mampu memberi nafkah halal kepada keluarganya saja itu merupakan sesuatu kelangkaan yang harus disyukuri, asalkan mau menggali potensi dan berusaha keras. Karena kitab-kitab salaf di pesantren itu sudah mencakup seluruh aspek kehidupan.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ . [رواه الترمذي]

عن عبد الله أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: طَلَبُ الْحَلاَلِ فَرِيْضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ. [رواه الطبراني]

عن أبي سعيد الخدري قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ لاَ يَكونُ فِيْه شَيْءٌ أَعَزَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: دِرهَمٍ حَلاَلٍ أو أَخٍ يُسْتَأْنَسُ بِهِ أو سُنَّةٍ يُعْمَلُ بِهَا. [رواه الطبراني في الاوسط وابو نعيم في الحلية]

عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: إن أحَدَكم لن يمُوتَ حَتىَّ يَسْتَكْمِلَ رِزْقَه فلا تَسْتَبطِئُوا الرِّزْقَ و اتَّقُوا الله أيُّها النَّاس وَاجْمِلوا في الطّلَب خُذُوا ما حَلَّّ و دَعُوا ما حرُم. [رواه الحاكم في المستدرك]

عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لاَ يَدخُل الْجنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنَ السُّحْتِ وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ السُّحْتِ كاَنَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ. [رواه أحمد والدارمي والبيهقي]

Ilmu ketrampilan sebagai bekal santri dalam berinteraksi dengan masyarakat, sebenarnya sudah lama menjadi tradisi pesantren. Budaya ro’an (kerja bakti) baik di pondok ataupun di masyarakat sekitarnya, seperti yang sudah berlaku dan menjadi kegiatan wajib di pesantren kami, PP. al-Anwar, satu minggu sekali yang diberi label “Jum’at bersih” merupakan bukti kongkrit bahwasanya pesantren ikut andil dalam mempersiapkan generasi paripurna.

Jadi kita masih percaya dengan adanya barokah, selama pesantren masih konsis dengan kesalafannya didukung dengan keikhlasan dan ke’aliman pengasuhnya serta kesungguhan santri dalam bertholabul ilmi, meninggalkan maksiat dan keikhlasan dalam berkhidmah kepada kiai, sesama santri, berbakti kepada kedua orang tua, simpatik, supel dan santun kepada para tamu, tetangga dan para handai taulan.

Paradigma Dikotomi ke Non Dikotomi

Wahid Hasyim hidup di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Berbagai bentuk perlawanan terhadap penjajah terus menerus dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat, baik secara fisik ataupun non fisik. Secara fisik bangsa Indonesia melakukan penyerangan kepada pos-pos benteng pertahanan penjajah, sedangkan secara non fisik terutama madrasah menolak mata pelajaran umum, seperti bahasa Asing yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda. Bahkan sebagian ulama mengharamkan pelajaran umum tersebut diajarkan di pesantrennya. Sikap ini mengakibatkan munculnya dikotomi antara ilmu agama dan non agama. Realitas inilah yang ingin dibongkar oleh Wahid Hasyim, dan dia berpendapat bahwa materi yang diajarkan di pesantren haruslah merupakan ilmu-ilmu yang komprehensif.

Menurut pandangan kami, berpuluh-puluh tahun pesantren berpacu dengan arus zaman dan pengaruh budaya barat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita sebagai bangsa yang bermartabat dan memiliki pandangan hidup serta nilai-nilai budaya yang santun. Dan pesantren masih tetap berusaha bertahan dalam terjangan zaman dan pola hidup hedonis di era global ini .

Pesantren dengan segala ciri khasnya akan senantiasa memberikan kontribusinya terhadap pembentukan pembangunan manusia seutuhnya dalam lingkungan masyarakat yang religius, mampu menghasilkan perubahan-perubahan dalam masyarakat sekitar dari kebodohan menjadi berilmu, dari kedhaliman menjadi cahaya iman, dari kemaksiatan menjadi taubat yang sungguh-sungguh dan lain-lain. Ini berkat gigihnya para pengasuh, pengelola pondok pesantren, madrasah-madrasah diniyyah, dalam berusaha mengembangkan dan mensyiarkan ajaran agama Islam di tengah kehidupan masyarakat yang masih jauh tertinggal dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam yang menjadi kewajiban atas pribadinya (individual self).Maraknya lembaga-lembaga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) itu sangat mengganggu lembaga-lembaga TPQ (Taman Pendidikan al-Quran) dan madrasah-madrasah diniyyah, dan ini wajib kita tolak karena merupakan program dari zionis, musuh-musuh islam, untuk menghilangkan pendidikan agama, karena akhirnya mereka enggan untuk belajar di lembaga TPQ dan madrasah diniyyah, keberadaan TPQ itu bagus untuk pembelajaran al-Quran, namun mengurangi mutu dan kwalitas murid-murid madrasah diniyyah karena tidak memasukkan pelajaran Khot dan Imla’. Begitu juga keberadaan madrasah-madrasah diniyyah kelas lima dan enam pun dihabisi dan digilas oleh kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler sekolah-sekolah pagi (SD dan SMP) sehingga banyak anak didik madrasah yang keluar dan tidak bisa melanjutkan pendidikannya di madrasah diniyyah. Semoga hal ini menjadi pertimbangan Menteri Pendidikan atau instansi-instansi yang terkait untuk memberi instruksi agar anak didik madrasah diniyyah tetap melanjutkan pendidikannya tanpa dibebani atau diganggu oleh pelajaran dan kegiatan ekstra tersebut.

Kami sangat mengharap kepada lembaga-lembaga TPQ itu untuk bisa memasukkan pelajaran Khot dan Imla’ sebagai penunjang masuk ke madrasah-madrasah diniyyah maupun pondok pesantren. Karena madrasah diniyyah merupakan anak kandung dari pondok Pesantren.

Keberadan teknologi yang semakin maju tak seharusnya menggerus tradisi-tradisi pesantren yang telah menjadi simbol perjuangan ulama-ulama terdahulu. Yang mana beliau-beliau berjuang tidak hanya mengandalkan kepandaian belaka melainkan juga dengan keikhlasan hati dan pengorbanan. Pesantren salaf akan lebih baik, jika tetap mempertahankan kesalafannya daripada mengadopsi sistem pendidikan lain, meski dari barat sekalipun. Karena dengan pesantren salaf jualah melalui perjuangan Sultan Agung, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro serta melalui resolusi jihadnya mbah Hasyim Asy’ari beserta kaum santri-santri negara Indonseia ini ada kemudian merdeka dan tetap merdeka.

Kalaupun pemikiran KH. Wahid Hasyim di atas dipaksakan kerelevanannya, maka mempelajari ilmu salaf dan ilmu umum dalam pesantren harus dipisah kelembagaannya, supaya santri yang masuk dan mempelajari ilmu agama benar-benar alim dan begitu juga yang mempelajari ilmu umum benar-benar ahli dibidangnya. Begitu pula tempat pemondokannya juga harus dipisah supaya tidak saling mengganggu dan supaya masyarakat tahu bahwa ini yang berkecimpung ilmu agama dan yang itu yang bergelut dengan ilmu umum agar tidak bercampur aduk (gado-gado) atau sama-sama mentah keilmuannya, tidak ulama tidak intelektual dan ini yang sangat berbahaya.

Perlu diketahui, bahwa kebanyakan ilmu umum itu sekuler (terpisah dari akidah tauhid) karena tidak pernah menyebut Allah sebagai al-Kholiq/Sang Pencipta (persis paham Dahriyyah). Diantaranya mengatakan bahwa langit tidak ada yang ada hanyalah atmosfir saja, kiamat hanyalah proses alam, planet bumi dan planet-planet lainnya sudah ada sejak berjuta-juta ribu tahun alias alam ini dzatnya qodim seperti paham falasifah yang kufur, baik teori evolusi atau revolusi. Begitu juga teori Darwin yang kufur itu, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa adanya kekuatan berdiri sendiri di alam ini dan mengatakan kehidupan tidaklah diciptakan tetapi muncul karena kebetulan, manusia berasal dari kera dan masih banyak lagi.

Jadi, menurut kami ajaran-ajaran dan teori-teori tersebut sengaja dimunculkan sebagai program pendangkalan akidah umat Islam sehingga apabila umat islam menerimanya tanpa sadar mereka terjebak dalam kekufuran.

Kenapa ilmu seperti itu kita bela-bela melebihi ilmu agama padahal ilmu agama adalah penyelamat iman dan islam (jalan kebahagiaan dunia akhirat), dan ilmu di atas adalah penyebar kekufuran (jalan kehancuran dunia akhirat).

Paradigma Teoritik ke Praktis

Pengejawentahan ilmu dalam kehidupan nyata (praktis) menjadi sebuah tuntutan di era krisis multidimensi seperti yang sedang melanda bangsa Indonesia sekarang. Banyak pihak berasumsi bahwa krisis moral yang melanda disebabkan kegagalan dunia pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan yang berbasis keagamaan untuk memproduk siswa atau santri yang mampu menyelaraskan antara ilmu dengan amal. Wahid Hasyim telah menerapkan konsep pendidikan yang dinilai mampu menciptakan peserta didik yang ideal, yaitu santri yang tidak hanya mampu menguasai konsep secara sempurna tapi mampu mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.[5]

Menurut pandangan kami, Ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tak berbuah, dan sistem pendidikan pesantren yang bersifat integral (utuh) antara penguasaan dasar-dasar teori ilmu agama dan aplikasi empirik serta sistem kebersamaan, tolong menolong, hidup sederhana dan saling menghargai dalam kehidupan mereka sehari-hari selama menjalani pendidikan di pesantren itu merupakan bentuk wujud perpaduan antara ilmu dan amal.

Hanya lembaga selain pesantren salaflah yang terdapat praktek suap, money politik yang akhirnya mendorong untuk berbuat korupsi.

MODEL PEMBAHARUAN PESANTREN DAN MADRASAH

Pembaharuan Kelembagaan (Institusi)

Model pembaharuan kelembagaan maksudnya yaitu pembaharuan atau perubahan lembaga pendidikan Islam, baik melalui transformasi diri lembaga yang sudah ada maupun mendirikan lembaga pendidikan Islam yang baru. Dalam kontek ini, Wahid Hasyim mentransformasi lembaga yang sudah ada yaitu pesantren Tebuireng kemudian dimodifikasi dengan mendirikan madrasah Nidhamiyah yang dilengkapi dengan perpustakaan sebagai tempat belajar santri diluar pesantren dan madrasah. Artinya selain pesantren mengajarkan ilmu agama juga diajarkan ilmu umum kepada santrinya dengan maksud seorang santri atau dunia pesantren tidak boleh berada di Menara Gading dan mengambil jarak dengan masyarakat. Pesantren seharusnya turut ambil bagian dalam menyelesaikan berbagai problematika masyarakat baik sosial, agama, politik, budaya maupun keamanan.[6] Khususnya setelah pondok pesantren mendirikan madrasah dan ma’had aly yang merupakan lembaga tertinggi di pondok pesantren setingkat universitas.

Menurut pandangan kami, tanpa adanya transformasi kelembagaan, pesantren salaf selalu mampu memposisikan jati dirinya di kancah modernisasi, hal itu di karenakan adanya korelasi antara pesantren dan masyarakat baik dalam problem keagamaan ataupun dalam sosio-cultural kemasyarakatan.

Pesantren sebagai model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan nasional, tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi jika dilihat dari sisi historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat. Pengembangan sumber daya manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pengembangan sumber daya manusia yang tengah diupayakan pemerintah.

Di sisi lain, pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat, menerima dan selalu mengakomodir segala permasalahan yang selalu timbul dalam masyarakat, salah satu bentuk kepedulian pesantren dengan pendidikan masyarakat adalah dengan di adakannya halaqoh, bahtsul masail, bakti sosial, masuk dalam struktur kepengurusan masjid, jam’iyyah, majlis ta’lim, organisasi-organisasi dan partai-partai politik, menghadiri dan mengisi acara-acara tahlilan, yasinan, pengajian umum, hadlroh, maulid dan lain sebagainya.

Perhatian pemerintah melalui program-program pembangunan yang bersifat kemasyarakatan juga memanfaatkan pesantren secara efektif. Berdirinya madrasah klinik dan pos kesehatan, pusat informasi pesantren, koperasi pesantren, balai latihan kerja pesantren, dan lain-lain merupakan sentuhan pembangunan terhadap pesantren dalam rangka ikut andil bagian dalam menyelesaikan segala problematika masyarakat.

Dunia pesantren menunggu keseriusan pemerintah untuk merealisasikan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, PP. No. 55 tahun 2007, tentang sistem pendidikan nasional, sehingga kurikulum pesantren salaf bisa diakui tanpa mengurangi atau bahkan menghilangkan kurikulum yang telah ada.

ISI KURIKULUM

Kurikulum pesantren di sini dimaknai sebagai berbagai jenis mata pelajaran yang diajarkan dalam proses belajar mengajar di pesantren atau madrasah. Dimana materi yang diajarkan di bidang teknis berupa ilmu fiqh, ilmu tafsir, mawaris, ilmu falak. Bidang hafalan yaitu pelajaran Al-Quran, ilmu bahasa Arab. Sedang ilmu yang bersifat membina emosi keagamaan seperti aqidah, tashawuf dan akhlaq. Menurut Wahid Hasyim bahwa dalam beberapa hal, pesantren tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman sehingga sangat membutuhkan pembaharuan. Maka untuk mewujudkan itu Wahid Hasyim memasukkan ilmu-ilmu umum kepada madrasahnya seperti matematika, sejarah, geografi, ilmu pengetahuan alam, Bahasa Inggris dan Belanda.

Menurut pandangan kami, eksistensi pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. pesantren akan menjadi satu-satunya institusi ke-islaman yang akan tetap eksis sampai akhir zaman. Karena bangsa Indonesia ada karena adanya pesantren dan tanpa pesantren Indonesia tak akan bertaring dan berwibawa.

Keberhasilan pesantren salaf dalam mengusir penjajah dan mewujudkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dikarenakan para pengasuh dan pengelolanya masih berpegang pada nilai-nilai dan tradisi-tradisi kesalafan. Kesalafan ini harus terus dipertahankan dan dikembangkan untuk membendung segala bentuk penjajahan masa kini, baik penjajahan aqidah seperti paham liberalisme, sekulerisme, pluralisme, komunisme, Ahmadiyah, Syi’ah, NII, dan lainnya, penjajahan ekonomi seperti neo-liberalisme, blok Cepu, Freeport, dan lainnya, dan dekadensi moral seperti narkoba, minuman keras, sabu-sabu, ekstasi, pelacuran, kebebasan bergaul, pacaran dan lain-lainnya.

Pesantren yang sudah salaf biarlah tetap salaf dan wajib kita dukung karena di luar sana sudah banyak pesantren dan lembaga-lembaga Islam yang sudah mengadopsi kurikulum umum. Kalau pesantren salaf dipaksa untuk mengikuti kurikulum mereka maka hilanglah pesantren salaf yang menjadi benteng aqidah, syari’at, akhlaq dan penjajahan sistem barat atau timur akan semakin merajalela.

METODOLOGI PEMBELAJARAN

Seperti yang kita ketahui, sistem atau metode pembelajaran di pesantren (terutama pesantren salaf) menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Murid posisinya hanya sebagai pendengar budiman, menghafal dan menulis sehingga murid atau santri tidak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya seperti mengajukan pertanyaan atau bahkan lebih kritis lagi yaitu dengan mengadakan diskusi. Kondisi inilah yang akan diperbaharui oleh Wahid Hasyim yaitu dalam pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan system tutorial.[7]

Menurut pandangan kami, pesantren mempunyai dua metode sudah ada dan terus berkembang untuk memahami kitab-kitab salaf yaitu metode sorogan dan metode bandongan. Metode pertama, santri membaca kitab di hadapan kiai atau ustadz, dan secara langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna, bahasa maupun pemahaman. Metode kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai atau ustadz sambil memberikan catatan pada kitabnya. Catatan ini bisa berupa syakl (harakat), mufrodat (kosakata), ataupun keterangan-keterangan tambahan dari kiai atau ustadz. Dan perlu ditegaskan bahwa pesantren salaf memiliki cara membaca tersendiri yang dikenal dengan utawi, iki, iku, sebuah metode membaca dengan pendekatan gramatika Arab (nahwu dan shorof) yang ketat.

Terbukti, dengan metode inilah pesantren mampu melahirkan ulama-ulama handal yang mumpuni dalam membaca berbagai kitab salaf dan menjadikannya referensi untuk menjawab berbagai permasalahan kekinian.

Jadi dengan metode ini nantinya santri tidak hanya bisa dan pintar berbahasa arab saja, melainkan di samping bisa dalam berbahasa arab dia juga mahir dan lugas dalam membaca dan memahami kitab salaf.

Selain kedua metode di atas, di lingkungan pesantren telah berkembang metode diskusi partisipatoris dan seminar antar santri (bahtsul masail) untuk membahas masalah-masalah kontemporer yang merujuk kepada kitab-kitab salaf. Jadi, metode-metode pembelajaran yang ada di pesantren sejak dulu sampai sekarang ternyata mampu beradaptasi dan menjawab tuntutan zaman serta menjadi benteng aqidah. Hanya dengan metode itulah pesantren dengan tradisi mengaji kitab-kitab salaf, baca al-Quran, wiridan, berkhidmah dengan selalu mengedepankan keikhlasan mampu membendung paham-paham radikalisme, komunisme, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, Syi’ah, Ahmadiyah dan lain sebagainya. Terbukti kebanyakan korban hipnotis yang dilancarkan oleh gerombolan NII dan Ma’had al-Zaitunnya itu adalah orang-orang di luar pesantren salaf.

Pesantren salaf sejak dulu ikut andil dalam membendung dan memerangi paham-paham sesat lewat halaqoh, bahtsul masa’il, buletin dan buku. Untuk menyerang Wahhabi pesantren salaf hadir dengan buku “Bid’ahnya Tuduhan Bid’ah” dari Pondok Pesantren al-Falah Ploso, Kediri. Juga hadir “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Muhammad Idrus Romli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Untuk mengungkap kesesatan tasawwuf modern ala Agus Musthofa hadir buku “Menelaah Pemikiran Agus Musthofa” karya A. Qusyairi Ismail dan Moh. Achyat Ahmad, keduanya santri Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Untuk membendung aliran sesat Syi’ah hadir buku ”Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)” Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan yang dipimpin Ahmad Qusyairi Ismail. Buku “Polaritas Sektarian“ sebuah buku yang mengungkap aliran-aliran sempalan dalam islam karya santri-santri Pondok Pesantren Lirboyo kediri. untuk membendung bahaya kufur paham liberal, sekuler dan plural hadir buku “Ancaman Liberalisme, Sekulerisme, Pluralisme Terhadap Eksistensi Ahlussunnah wal-Jamaah” dan “Ahlussunnah wal-Jama’ah Sebuah Identifikasi” buah karya kami sendiri, buku “Tanya Jawab tentang Syi’ah dan Pemikiran-pemikiran Wahhabi, Mutiara Ilmu Kalam, Perisai Tradisi dan Budaya Kaum Sunni” karya anak didik kami, Tim Penerjemah Ribath Darusshohihain Pondok Pesantren al-Anwar, Sarang, dan masih banyak lagi dan akan terus lahir karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi dari Pondok Pesantren Salaf untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan akidah yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, komunisme, humanisme, rasionalisme, pluralisme, feminisme, sekularisme, terorisme, radikalisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus dihadang dengan wacana-wacana salaf yang dipegang pondok pesantren salaf.

Pesantren juga menampilkan kajian-kajian kitab kontemporer karya ulama-ulama ahlussunnah madzahib arba’ah seperti kitab al-Fiqhu al-Manhaji karya Dr. Mushthofa al-Khin, Mushthofa al-Bugho, Ali al-Syarbaji, as-Salafiah Marhalatun Zamaniyatun Mubarokatun la Madzhabun Islamiyun, Fiqhussiroh, Kubrol Yaqiniyat, Dlowabitul Mashlahah karya Sa’id Romadlon al-Boethi, Rowa’iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Qur’an karya Syaikh Muhammad Ali al-Shobuni, al-Fiqh al-Islami karya Wahbah Zuhaili, Mafahim Yajibu an Tushohhah, Manhajussalaf Baina al-Nadhoriyah wa al-Tathbiq, Muhammad al-Insan al-Kamil, Syaroful Ummah al-Muhammadiyyah, Syari’atullah al-Kholidah, dll. karya Abuya as-Sayyid Muhammad al-Maliki, al-Bayan Lima Yasygholu al-Adzhan karya Syaikh Ali Jum’ah, mufti Mesir.

Memasuki dekade 1990-an, muncul gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga tertinggi pesantren yang diberi nama Ma’had Aly. Dalam hal ini pesantren salaf langsung meresponnya dengan mengadopsi kitab-kitab kontemporer karya ulama-ulama ahlussunnah madzahib arba’ah tersebut di atas sebagai mata pelajarannya, dengan tanpa mengurangi kultur dan tradisi pesantren salaf yang melingkupinya. Program yang secara garis besar bertujuan untuk mengembangkan wawasan santri ini oleh pesantren salaf dilakukan secara berkala.

Jadi, ada dua pandangan mengenai posisi dan signifikansi kitab salaf di pesantren. Pertama, pesantren hanya mengadopsi kitab-kitab salaf saja dan tidak menerima kitab-kitab kontemporer sebagai referensi yang kandungan dan barokahnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Seperti: Shahih Bukhori karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al Mughiroh al Bukhori (wafat th. 256 H), Shahih Muslim karya Muslim bin al Hajjaj Abul Hasan al Qusyairi an Naisaburi (wafat th. 261 H), dan al-Kutub as-Sittah serta kitab al-Muwatho’ karya Imam Malik (wafat th. 179 H.). Ihya’ Ulumuddin, Minhajul Abidin, Bidayatul Hidayah karya Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali, Fath al Qarib karya Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim al Ghazzi, Fath al Muin karya Zainuddin al Malibari, Fath al Wahhab Syarh Manhaj ath Thullab Karya: Syaikhul Islam Zakariya bin Muhammad bin Zakariya al Anshari (wafat th. 927 H). Al Iqna' fi Halli Alfazh Abi Syuja' karya Muhammad al Khotib asy Syirbini, Kifayah al Akhyar fi Halli Ghayah al Ikhtishar karya Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad bin Husaini al Hishni, At Tanbih, Al Muhadzdzab karya Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al Fairuz Abadi asy Syirazi (wafat th. 476 H), Fathul Jawad Syarh al-Irsyad dan al Minhaj al Qowim karya Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Haytami (wafat th. 974 H), Ghoyatul Bayan Syarh Nadhm Zubad Ibni Ruslan karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (wafat th. 1004 H), dan kitab-kitab karangan Imam Nawawi seperti: Riyadlus Sholihin, al-Adzkar, Minhajut Tholibin, dan kitab-kitab tafsir yang mudah diajarkan di negeri kita, seperti: Tafsir Jalalain, Tafsir Khozin, Tafsir Baidlowi dll.

Dalam fan Aqidah, pesantren salaf menurut kami cukup menggunakan kitab Sulam at Taufiq, Aqidah al Awam, Jawahir al Kalam, al Khoridah al Bahiyyah, al Kawakib al Lama’ah dan yang paling tinggi kitab Jauhar at Tauhid atau syarahnya ad Durru al Farid karya syaikh Abul Fadlol Senori Tuban. Untuk fan Tashawwuf cukup menggunakan kitab-kitab karya assayyid al Habib Abdullah bin Alawy al Haddad semisal Risalah al Mu’awanah, al Da’wah at Tammah, al Nashoih ad Diniyyah dan kitab Irsad al Ibad karya syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin al Malibary pengarang kitab Fath al Mu’in.

Kenyataan bahwa kitab-kitab salaf ditulis sejak lama dan terus dipelajari, diamalkan sesuai dengan kemampuan dari masa ke masa, membuktikan bahwa kitab-kitab salaf sudah teruji kerelevanan dan keberkahannya dalam sejarah yang panjang. Kitab-kitab salaf dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan bersandar pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas dalam segala bidang.

Kedua, pesantren, disamping mengadopsi kitab-kitab salaf, juga menerima dan mengadopsi kitab-kitab kontemporer karangan ulama-ulama ahlussunnah madzahib arba’ah semisal: Abuya as-Sayyid Muhammad al-Maliki, Said Romadlon al-Boethi, Syaikh Wahbah Zuhaili, Syaikh Ali As-Shobuni, untuk membantu referensi jawaban dari permasalahan kekinian yang semakin komplit. bukan kitab-kitab karangan ulama-ulama Wahhabi, seperti: Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (khususnya dalam keterangan seputar permasalahan tauhid uluhiyyah yang mengkafirkan orang bertawassul kepada nabi Muhammad dan orang-orang sholeh, dan permasalahan seputar tauhid asma’ was shifat yang tidak menerima ta’wil secara mutlak yang berakibat tajsim), Nashiruddin al-Albani, ataupun kitab-kitab kontemporer karya ulama-ulama di luar ahlussunnah madzahib arba’ah seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, Sayyid Quthb, Yusuf Qordlowi (dalam fatwa-fatwanya yang keluar dari madzahib arba’ah), apalagi buku-buku karya orang-orang liberal seperti: Hasan Hanafi, Muhammad Arkon, Nasr Hamid, dan lain sebagainya.

Untuk menjadikan pesantren tetap menjadi pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pendalaman kitab salaf harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pendalaman itu adalah penanganan kitab salaf dalam lapangan dan masa yang luas, termasuk yang lahir belakangan, al-kutub al-ashriyyah karya oleh ulama-ulama bermadzhab ahlussunnah madzahib arba’ah. Hanya dengan penguasaan kitab salaf dan kitab-kitab kontemporer yang berhaluan madzahib arba’ah itulah kreasi pemikiran keislaman yang serius di Indonesia tidak akan berhenti dan ayat al-Quran dibawah ini yang menjadi semboyan pesantren salaf dan akan terus ada yang mengamalkannya:

فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ. [التوبة: 122]

KESIMPULAN

Jelas sudah pesantren dalam mengakomodasi kesalafan mulai dari kerangka-kerangka dasar keilmuannya melalui kitab salaf yang bermodel kuno ataupun kontemporer dalam bingkai madzahib arba’ah, menjadi ukuran bagaimana kesalafan itu harus di pertahankan dengan tanpa harus merubah kurikulum pesantren menjadi serba baru, karena dengan tanpa adanya perubahan itu pesantren dengan metodenya (salaf) sudah bisa memposisikan dirinya dalam menghadapi tuntutan zaman.

Langkah kearah tersebut tampaknya telah dilakukan pesantren melalui sikap toleransi dan beradaptasi terhadap perkembangan teknologi modern yang tidak merusak lingkungan, moral, aqidah. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan zaman namun tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya, justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dari pesantren sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu hidup dalam alam modern/ global tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Inilah pesantren masa depan yang kami harapkan.

Semoga,….

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ [العصر: 1-3]

Sarang, 28 M e i 2011 M.

24 J. Akhiroh 1432 H.


[1]. Ruchman Basori, The Founding Father Pesantren Modern Indonesia

[2]. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Malang: Erlangga. 2007

[3]. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pres. 2002

[4]. Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007

[5]. John L. Esposito-John O. Voll, Tokoh-Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002

[6]. H.Rosihan Anwar, Ulama Dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah Keagamaan, Jakarta: PT. Pringgondani Berseri, 2003

[7]. H. Hobri, Model-Model Pembelajaran Inovatif, Jember: Word Wditor, 2009