مقدمة

إنّ الحمد لله تعالى نحمده، ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلّ له، ومن يضللْ فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

وبعد :

Alhamdulillah, berkat Taufiq serta Hidayah-Nya, akhirnya blog sederhana ini dapat terselesaikan juga sesuai dengan rencana. Sholawat salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Bermodal dengan keinginan niat baik untuk ikut serta mendokumentasikan karya ilmiah perjuangan Syaikhina Muhammad Najih Maemoen, maka sengaja saya suguhkan sebuah blog yang sangatlah sederhana dan amburadul ini, tapi Insya Allah semua ini tidak mengurangi isi, makna dan tujuhan saya.

Blog yang sekarang ini berada di depan anda, sengaja saya tampilkan sekilas khusus tentang beliau Syaikhina Muhammad Najih Maemoen, mengingat dari Ponpes Al Anwar Karangmangu Sarang sudah memiliki website tersendiri yang mengupas secara umum keberadaan keluarga besar pondok. Tiada lain tiada bukan semua ini sebagai rasa mahabbah kepada Sang Guru Syaikhina Muhammad Najih Maemoen.

Tidak lupa saya haturkan beribu terima kasih kepada guru saya Syaikhina Maemoen Zubair beserta keluarga, terkhusus kepada beliau Syaikhina Muhammad Najih Maemoen yang selama ini telah membimbing dan mengasuh saya. Dan juga kepada Mas Fiqri Brebes, Pak Tarwan, Kak Nu'man, Kang Sholehan serta segenap rekan yang tidak bisa saya sebut namanya bersedia ikut memotifasi awal hingga akhir terselesainya blog ini.

Akhirnya harapan saya, semoga blog sederhana ini dapat bermanfa’at dan menjadi Amal yang di terima. Amin.

Selasa, 25 Januari 2011

Sekilas Munculnya Islam di Nusantara



الحَمْدُ للهِ، والصّلاةُ والسّلامُ على رَسُولِ الله، سَيّدِناَ محُمَّدِ بْنِ عَبدِ الله، وَعلى آلهِ وَصَحْبهِ وَمنْ وَالاَه، أمَّا بَعْدُ:

Muqaddimah

Islam tersebar luas di Indonesia adalah berkat jasa para ulama Indonesia, ulama Arab, ulama Indhia, ulama Persia, ulama Patani dan lain-lainnya.
Namun yang ingin kita gali disini adalah ulama manakah yang pertama kali memperkenalkan Islam di Indonesia dan ulama mana yang merupakan intinya. Walaupun terdapat kesulitan karena kurangnya buku-buku yang menceritakan peran ulama, namun kami rasa cukup jika hanya membicarakan tentang sejarah masuknya Islam dengan sekilas.
Dalam tulisan ini akan dibahas masuknya Islam di Pulau Sumatra. Aceh adalah tempat pertama kali Islam masuk di kepulauan Nusantara ini. Disini akan dijelaskan juga tentang Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Islam masuk di Barus dan Islam masuk di Sumatra.
Pembawa Islam pertama kali di Pulau Jawa sudah jelas adalah para sunan, dibicarakan juga mengenai Wali Songo yaitu sembilan wali pembawa ajaran Islam yang sangat terkenal di Pulau Jawa.
Dijelaskan juga perjalanan Islam ke daerah di sekitar Indonesia seperti Malaysia Brunei, dan Filipina Selatan. Ketiga negeri ini dalam buku-buku kuno dahulunya termasuk dalam satu wilayah kepulauan Nusantara seperti disebutkan dalam sejarah, akibat adanya penjajahan kemudian menjadi beberapa negara yang terpisah sebab penjajahnya adalah bangsa-bangsa asing yang berbeda. Rumpun melayu ini akhirnya terpecah sehingga terpisah dari Indonesia. Penyebaran Islam di kepulauan Nusantara melalui jalur perdagangan dan pelayaran.
Perjalanan ke Negeri-negeri di bawah angin, yaitu istilah untuk perjalanan membawa misi dakwah islam yang melalui jalur pelayaran dan perdagangan ke belahan dunia sebelah timur, juga akan di uraikan. Bermula masuk di pantai barat India,lalu ke Patani (Thailand) kemudian singgah ke Sumatra lalu ke Campa dan akhirnya masuk ke China.
Harapan yang besar terbesit dihati penulis, semoga buku ini dapat menambah pengetahuan kaum muslimin yang ingin mengetahui sejarah penyebaran agama yang dipeluknya hingga sampai ke negeri yang ia tinggali.
***



Islam di Sumatra

Islam di Aceh
B
erdasarkan Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang berlangsung di Banda Aceh pada tahun 1978, kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Perlak, Lamuri, dan Pasai.
Prof. A. Hasjmy berdasarkan makalahnya pada naskah tua yaitu:
1. Kitab Idhhar al-Haqq, karangan Abu Ishaq Makarani al-Fasy.
2. Kitab Tadzkirah Thabaqat Jam’u Sulthan as-Salathin, karangan Syaikh Syamsu al-Bahri Abdullah al-Asyi, yang disalin kembali oleh Sayyid Habib Saifuddin dalam tahun 1275 H, atas titah Sultan Alaiddin Mansur Syah.
3. Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai, catatan Sayyid Abdullah bin Sayyid Habib Saifuddin.

Kerajaan Perlak
Diceritakan dalam buku-buku di atas bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada abad ke-3 Hijriah/ abad ke-9 Masehi. Hanya terdapat sedikit perbedaan mengenai tahun berdirinya kerajaan tersebut. Kitab Izhar al-Haqq menyebut tahun 225 H, sedangkan Tadzkirah Thabaqat menyebutkan tahun 227 H.
Kerajaan Perlak dinisbatkan menjadi sebuah Kerajaan Islam dan Sayyid Abdul Aziz dilantik menjadi rajanya dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Nahkoda khalifah ini diduga oleh Prof. A. Hasjmy berasal dari keturunan Bani Khalifah yang berasal dari Jazirah Arab (Saudi Arabia sekarang). Dan ibu kota negeri Perlak yaitu Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah. Menurut A.S. Harahap, Muslim yang pertama di Aceh ialah Abdullah Arif, seorang arab.
Abu Hassan Sham M.A. pada makalahnya menulis:
Abdullah Arif datang dari Makkah pada masa pemerintahan Maha Raja Nurdin (Meurah Nui) tahun 1155-1210 M. Ulama lain yang hidup di zaman Meurah Nui adalah:

1. Qaid al-Mujahidin Maulana Naina al-Malabary, yang mangkat pada tahun 1226 M.
2. Maulana Quthub al-Ma’aly Abdurrahman al-Pasy, yang mangkat pada tahun 1213 M.
3. Teungku Ja’kub Blang Peuria, yang mangkat pada tahun 1233 M.

Mata Uang
Pada masa kerajaan Islam Perlak, telah ditemukan mata uang yang lebih tua dari mata uang Kerajaan Islam Samudra Pasai. Menurut Prof. A. Hasjmy, pada penelitiannya di Aceh Timur, terdapat 3 macam mata uang asli Kerajaan Islam Perlak:
1. Mata uang dirham ditemukan oleh Ruhani, istri Zakariya di daerah Kampung Paya, Meuligou, kira-kira 150 meter dari lokasi Banda Khalifah.
2. Mata uang kupang ditemukan di daerah Kampung Sarah Pineung, kerukunan Blang Simpo Perlak, di selatan Kota Perlak.
3. Mata uang kuningan/ tembaga yang diperlihatkan M. Arifin Ahmad, ketua tim sejarah Aceh Timur.
Ketiga mata uang tersebut bertuliskan huruf Arab. Penemuan mata uang tersebut amatlah penting dilihat dari segi penelitian Sejarah. Ini menunjukkan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kerajaan yang maju terbukti dengan kemampuannya membuat alat pembayaran resmi kerajaan.

Asal Kata Perlak
Perlak berasal dari nama sebangsa pohon kayu. Di daerah ini banyak sekali rimba pohon kayu Perlak yang dalam ucapan orang Aceh disebut kayei peureulak. Kayu Perlak ini sangat baik untuk pembuatan kapal/ kapal.
Prof. Dr. Husein Azmi di dalam makalahnya yang berjudul “Islam di Aceh, Masuk dan Berkembang Hingga Abad Ke-16” menulis:
Antara tahun 300-302 H (913-915 M) terjadi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Perlak karena terjadi pergolakan persaingan antara paham Syi’ah dan paham Ahlussunnah dalam kepemimpinan.
Begitu pula di akhir pemerintahan Sultan Alauddin Sayyid Maulana Ali Mughayat Shah terjadi lagi pergolakan antara Syi’ah dan Ahlussunnah, yang akhirnya dimenangkan oleh golongan Ahlussunnah, sehingga diangkat sultan dari keturunan Meurah Perlak, yaitu:
1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932 M)
2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-983 M)
3. Sultan Makhdum Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983 M)
Di akhir pemerintahan ini, golongan Syi’ah bangkit kembali, yang berakhir dengan terpecahnya kerajaan Perlak menjadi dua wilayah, yaitu: Kerajaan Perlak pesisir dan Kerajaan Perlak pedalaman.
1. Pada Kerajaan Perlak pesisir diangkat raja dari golongan Syi’ah, yaitu Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Shah yang memerintah pada tahun 365-377 H/ 976-988 M.
2. Pada Kerajaan Perlak pedalaman diangkat raja dari golongan Ahlussunnah, yaitu Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang memerintah dari tahun 365-402 H/ 986-1023 M.

Samudra Pasai
Silsilah keturunan Meurah Silu (al-Malik as-Saleh) yang memerintah Samudra Pasai pada tahun 650-688 H/ 1261-1289 M menunjukkan bahwa beliau adalah keturunan Raja Islam, yaitu Makhdum Sultan Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (365-402 H/ 976-1012 M), bukannya seorang yang beragama Hindu kemudian diislamkan oleh Syaikh Ismail seperti cerita dongeng. Syaikh Ismail adalah seorang syarif dari Makkah. Pada masa pemerintahannya banyak pembesar-pembesarnya yang merupakan ulama yang alim, antara lain:
1. Sri Kaya Ghiyasuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Sayyid Ali al-Makarany, sebagai Syaikh al-Islam.
3. Bawa kayu Ali Hisamuddin al-Malabary, sebagai Menteri Luar Negeri.
Samudra Pasai berada di puncak kejayaannya ketika masa pemerintahan Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir pada tahun 727-750 H/ 1326-1345 M. Samudra Pasai memainkan peranan penting di dalam perkembangan Islam di Jawa dan Sulawesi pada tahun 797 H/ 1395 M yaitu di masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin Bahian Syah (1349-1496 M) dengan cara mengirimkan dua orang pendakwah ke Jawa yaitu Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq yang bergelar Syaikh Awal al-Islam.

Kerajaan Aceh
Prof. Dr. Wan Husein Azmi dalam makalahnya, mengutip suatu tulisan H.M. Zainuddin dalam bukunya yang berjudul Tarich Atjeh dan Nusantara menyebutkan bahwa dalam dakwah Islamiyah di Nusantara ada sekumpulan pendakwah yang diketuai oleh Abdullah al-Malik al-Mubin yang berpusat di Aceh. Para pendakwah ini ditugaskan untuk berdakwah di masing-masing daerah sebagai berikut:
1. Syaikh Sayyid Muhammad Said untuk daerah Campa.
2. Syaikh Sayyid Ahmad Attawi untuk daerah Kedah, Semenanjung Tanah Melayu.
3. Syaikh Sayyid Muhammad Daud untuk daerah Patani, di utara semenanjung Tanah Malayu.
4. Syaikh Sayyid Abdul Wahab untuk daerah Kedah, Malaysia.
5. Syaikh Sayyid Muhammad untuk daerah Minangkabau.
6. Abdullah al-Malik al-Mubin untuk daerah Aceh sendiri.

Islam Masuk di Barus
Papan tinggi adalah nama sebuah pemakaman di Bandar Barus, pantai barat Sumatra Utara. Di salah satu batu nisan di situ terdapat sebuah nama Said Mahmud al-Hadramaut. Menurut naskah tangan yang terdapat di Museum Jakarta, Syaikh Said Mahmud ini masih termasuk keluarga Rasulullah SAW. Diceritakan bahwa dialah yang mengislamkan Raja Guru Maskot, raja Batak Islam pertama di Barus. Tanggal kedatangan Said Mahmud dari tanah Arab tidak diketahui dengan pasti. Demikian tulis Dada Meuraxa.
Ad-Dimasyqi dalam bukunya Nukhtabar pada halaman 132-168 menyatakan Islam telah sampai di Indonesia pada masa Khalifah Usman. Diceritakannya bahwa orang Arab telah memasuki laut Zefti dan mendiami satu pulau yang terletak di Sumatra Utara. Mungkin yang dimaksud dengan Zefti adalah Pulau Nias atau Mursala. Demikian keterangan Dada Meuraxa.

Islam Masuk di Sumatra Bagian Selatan
Dapat dipastikan Islam masuk di daerah Sriwijaya pada abad ke-7 seperti yang tercatat dalam buku sejarah China yang menyebutkan bahwa Dinasti T’ang memberitakan tentang utusan Tache (sebutan untuk orang Arab) ke Kalingga pada tahun 674 M. Karena Sriwijaya sering dikunjungi pedagang Arab yang melalui jalur pelayaran, maka pada masa itu merupakan proses awal Islamisasi atau permulaan perkenalan dengan Islam.
Hal ini diperkuat dalam sejarah China di Zaman T’ang tersebut bahwa telah ada kampung Arab Muslim di Pantai barat Sumatra pada tahun 674 M. Seperti halnya di Jawa ada makam Islam yang berangka tahun 1082 Masehi, demikian pula di Champa pada tahun 1039 M. Makam-makam ini sudah ada sebelum kekuasaan Islam ada, artinya masih dalam kekuasaan non-Islam saat itu.
Seperti dikisahkan oleh penulis-penulis Arab, yaitu Ibnu Batutah (900 M), Sulaiman (850 M), dan Abu Zaid (950 M) bahwa hubungan dagang antara Khalifah Abbasiyah (750-1268 M)dengan Sriwijaya telah berlangsung.
Khusus untuk Sumatra selatan, masuknya islam disana selain oleh bangsa arab sebagai pedagang utusan dari khalifah Umayyah (661-750 M) dan khalifah Abbasiyah (750-1268 M) juga oleh pedagang Sriwijaya sendiri yang berlayar ke negara-negara Timur Tengah.
Drs. M. Dien Majid dalam makalahnya berjudul Selintas tentang Keberadaan Islam di Bumi Sriwijaya menulis:
“Arya Damar, seorang Adipati Majapahit di Palembang, secara sembunyi-sembunyi telah memeluk Agama Islam, karena diajari oleh Raden Rahmat ketika singgah di Palembang dari Champa yang akan meneruskan perjalanan ke Majapahit. Kemudian Arya Damar ini, yang dikenal pula dengan Arya Dillah atau Abdullah, berguru pada Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampel Denta ketika beliau sudah menetap disini. Dan ketika Arya Damar kembali ke Palembang, ia selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang bermukim di Palembang.”
Salman Aly dalam makalahnya yang berjudul Sejarah Kesultanan Palembang menulis:
“Pada waktu Gede Ing Suro mendirikan kesultanan Palembang, agama Islam telah lama ada di kawasan ini. Islam masuk Palembang kira-kira pada tahun 1440 M, dibawa oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pada waktu itu Palembang berada dibawah kepemimpinan Aryo Damar dan merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Mengenai Raden Rahmat ini diceritakan oleh Arnold sebagai berikut, “Salah seorang putri Raja Campa, sebuah negara kecil di Kamboja, di timur Teluk Siam, kawin dengan seorang Arab yang datang ke Campa untuk tugas dakwah Islam. Dari perkawinan ini lahir Raden Rachmat yang diasuh dan dididik oleh ayahnya hingga menjadi seorang Islam sejati.”
Pada halaman 5 Salman Aly menulis:
“Kyai Gede Ing Suro ini, menurut Faille, adalah keturunan panembahan Palembang dan istrinya berasal dari keluarga Sunan Ampel, dari garis keturunan panembahan Parwata, Pangeran Kediri dan Pangeran Surabaya.sementara itu dari sumber-sumber palembang diperoleh keterangan ia adalah putra Sideng Laut, seorang keturunan pangeran Surabaya. Ia masih mempunyai hubungan silsilah dengan Sayyidina Husein, putera Ali bin Abi Tholib. beliau ini adalah sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dari puteri beliau Fathimah Zahra. Salah seorang cucu Sayyidina Husein merantau ke Campa, memperistrikan salah seorang puteri Campa yang kemudian melahirkan Maulana Ishaq dan Maulana Malik Ibrahim.”
***


Islam di Jawa

Mengenai Walisongo
S
emua penulis sejarah Islam sependapat bahwa ulama pembawa Islam di Pulau Jawa adalah para wali sembilan yang lebih terkenal dengan sebutan Walisongo. Dari Walisongo ini hanya Sunan Bonang yang sampai sekarang diketahui ajarannya dan keasliannya dapat dipegang. Sedangkan ajaran dari para Wali yang lain masih samar-samar, belum tersingkap.
Dalam Primbon Sunan Bonang itu terdapat Ilmu fiqih, tauhid, dan tasawuf yang lengkap dan tersusun rapi menurut ajaran aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah dengan Madzhab Syafi’i. Primbon itu di samping berisikan tauhid, juga melarang pembacanya dari berbuat syirik.

Maulana Malik Ibrahim
Nama lain beliau ialah Maulana Magribi atau Maulana Ibrahim. Kapan beliau tiba di Pulau Jawa, tidak diketahui dengan pasti. Namun setelah tiba di Pulau Jawa ia menetap di sebuah desa yang bernama Leran yang terletak di luar kota Gresik. Kota Gresik saat itu merupakan kota pelabuhan perdagangan yang ramai dikunjungi oleh pedagang dari luar negeri. Di desa Leran inilah beliau menjalankan dakwah Islam, di mana rakyat setempat banyak yang tertarik dengan agama baru ini, lalu memeluknya menjadi pengikut Islam.
Menurut tradisi/ babad Jawa, Maulana Malik Ibrahim adalah seorang ulama dari tanah Arab, keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad. Demikian tulis Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat.
AF. Martadji menulis bahwa nasab beliau adalah sebagai berikut:
22. S. Maulana Ibrahim bin
21. S. Zainal Alam Barakat bin
20. S. Jamaluddin Husein bin
19. S. Ahmad Basya/ Ahmad Jalal bin
18. S. Abdullah Khan bin
17. S. Abdul Malik bin
16. S. Alwi bin
15. S. Muhammad Shahib Mirbath
14. S. Ali Khali’ Qasam bin
13. S. Alwi bin
12. S. Muhammad bin
11. S. Alwi bin
10. S. Abdullah Ubaidillah bin
9. S. Ahmad al-Muhajir bin
8. S. Isa bin
7. S. Muhammad bin
6. S. Ali al-Uraidli bin
5. S. Ja’far Shadiq bin
4. S. Muhammad al-Baqir bin
3. S. Ali Zainal Abidin bin
2. S. Sayyidina Husein bin
1. S. Sayyidina Ali/ Siti Fatimah binti Rasulullah SAW.
Dengan silsilah ini Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Rasulullah SAW yang ke-22. Silsilah ini mirip sekali atau boleh dikatakan sama dengan sumber dari Arab sendiri yaitu al-Maktab ad-Daimi di Jakarta. Perbedaannya hanya pada nama belakang/ gelar dari masing-masing nama nenek moyang beliau.

Sunan Ampel
Nama lain/gelar beliau yang sering disebut adalah Raden Rahmat. Sedangkan namanya waktu masih muda Ahmad Rahmatullah. Raden Rahmat mendapat didikan ilmu agama Islam dari ayahnya yang bernama Ibrahim Asmorokandi; orang Jawa menyebutnya Ibrahim Asmoro. Ibrahim Asmorokandi ini seorang ulama terkenal dari Arab yang menyiarkan Islam di Negara Campa (Kamboja).
Pada tahun 1479 M beliau mendirikan Masjid Agung Demak. Kerajaan Demak berdiri sebagai kerajaan Islam yang pertama dengan rajanya Raden Patah yang mendapat dukungan dan restu dari Sunan Ampel.

Sunan Giri
Nama lain/ gelar Sunan Giri yang sering disebut adalah Joko Samudro, yaitu nama yang diberikan oleh ibu angkatnya, Nyai Gede Pinatih. Nama lainnya adalah Raden Paku, nama yang diberikan Sunan Ampel atas wasiat ayah Sunan Giri, yaitu Maulana Ishaq sewaktu akan meninggalkan Jawa.
Sunan Giri adalah seorang ulama ulung yang dibekali pengetahuan ilmu agama yang cukup. Beliau menyiarkan Islam dan menanamkannya ke dalam jiwa para penduduk. Beliau mendirikan masjid sebagai langkah pertama dan dasar untuk mensyiarkan Islam. Kemudian beliau mendirikan beberapa pesantren dan mengajarkan ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, serta nahwu dan shorof kepada murid-muridnya. Di samping sebagai ulama dan guru, beliau juga berdagang buat penghidupannya.
Murid-muridnya yang belajar di pesantren tidak hanya berasal dari sekitar Surabaya saja tetapi banyak juga yang datang dari Madura, Lombok, Makassar, dan Ternate. Karena beliau berdagang melayari lautan menuju pulau-pulau, maka banyak orang kaya dan orang-orang terpandang dari Maluku, Makassar, Halmahera, Pontianak, dan Banjarmasin yang menjadi pengikutnya.
Ayah Sunan Giri adalah Syaikh Maulana Ishaq, seorang ulama dari tanah Arab yang bermukim di Pasai, Aceh. Mengenai hal ini para ahli sejarah tidak ada yang mempertentangkan, namun masih ada yang ragu karena sumber-sumbernya yang kurang otentik. Syaikh Maulana Ishaq ini ialah putra Syaikh Zainal Kubra atau Zainal Akbar. Silsilahnya sampai kepada Zainal Abidin, putra Sayyidina Husain, putra Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW. Dari pihak ayah, Sunan Giri adalah keturunan Rasulullah. Sedangkan dari pihak ibu, Sunan Giri adalah keturunan Majapahit. Sunan Giri dilahirkan pada tahun 1365 di Blambangan.
Berdasarkan Manuskrip arab yang terdapat di al Maktab ad-Daimi Jakarta, bahwa silsilah Sunan Giri adalah:
23.Sunan Giri
22.Maulana Ishak/ Wali Lanang dari Blambangan
21.Ibrahim Zainuddin al-Akbar/ Ibrahim Asmoro/ Zainal Kubro
20.Maulana Jamaluddin Husein al-Akbar/ Jumad al-Kubra
19.Ahmad Jalal Syah (Hindustan, India)
18.Amir Abdullah Khan (Hindustan, India)
17.Amir Abdul Malik al-Azhmat Khan (India)
16.Sayyid Alwi (Tarim, Hadramaut)
15.Muhammad Shahib Mirbath (Hadramaut)
14.Ali Khali’ Gasam (Tarim, Hadramaut)
13.Sayyid Alwi (Bait Jubair, Hadramaut)
12.Sayyid Muhammad (bait Jubair, Hadramaut)
11.Sayyid Alwi (Samal, Hadramaut)
10.Sayyid Abdullah (al-Ardh Bur, Hadramaut)
9.Ahmad al-Muhajir (Tarim, Hadramaut)
8.Sayyid Isa (Bashrah, Iraq)
7.Muhammad an-Naqib (Bashrah Iraq)
6.Ali al-Uraidli (Madinah)
5.Ja’far as-Shadiq (Madinah)
4.Muhammad al-Baqir (Madinah)
3.Ali Zainal Abiddin (Madinah )
2.Sayyidina Husein
1.Sayyidina Ali bin Abi Thalib/ Sayyidatina Fatimah binti Muhammad SAW.
Keturunan Sunan Giri yang bertindak sebagai pengganti dan sebagai pemimpin agama islam di Giri Kedaton ialah:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sidomargi
3. Sunan Prapen, wafat tahun 1597 M
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Agung Giri sampai tahun 1678 M.
6. Panembahan Mas Witana Sidang Rana, wafat tahun 1660 M.
7. Pangeran Puspa Ira (pangeran Singo Negoro )
8. Pangeran Singosari, wafat 1670 M.
9. Panembahan Giri

Sunan Kudus
Nama lain/ gelar Sunan Kudus yang sering disebut adalah Ja’far Shadiq, Raden Untung, bin Raden Amir Haji bin sunan Mudung. Sunan Kudus terkenal sebagai ulama besar yang menguasai ilmu usul fiqh, ilmu tafsir al-Qur’an, ilmu sastra, mantiq, dan yang terutama sekali adalah ilmu fiqh. Karena itu diantara para walisongo, beliau diberi julukan “Waliyul Ilmi”, yang artinya wali yang menjadi gudang ilmu.
Termasuk kedalaman ilmu beliau yaitu ketika Sunan Ampel berpendapat tentang masalah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat kiranya dapatlah kita ketahui dari hasil musyawarah para wali. Pada waktu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, dan sebagainya dimasuki rasa keislaman, maka Sunan Ampel pun bertanya, “Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari, bahwa adat istiadat upacara lama itu nantinya dianggap sebagai ajaran islam, sebab kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadi bid’ah?
Pertanyaan sunan ampel ini dijawab oleh Sunan Kudus:
Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, sebab pelajaran agama Budha itu memiliki segi kesamaannya dengan ajaran islam, yaitu orang kaya harus menolong fakir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran Tuan, saya mempunyai keyakinan bahwa dikemudian hari akan ada orang islam yang akan menyempurnakannya.

Sunan Bonang
Ketika remaja nama Sunan Bonang adalah Maulana Makhdum Ibrahim. Beliau adalah putra Sunan Ampel (Raden Rahmatullah/ Ahmad Rahmatullah) dari istrinya seorang putri Tuban yang bernama Nyai Ageng Manila. Dalam dakwahnya Sunan Bonang berusaha memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan keraton Majapahit. Sunan Bonanglah yang memberikan didikan Islam kepada Raden Patah, sultan Demak pertama. Raden Patah ini adalah putra Brawijaya V (Raja Majapahit).

Sunan Drajat
Nama Sunan Drajat adalah Syarifuddin Hasyim, seorang putra Sunan Ampel. Sunan Drajat adalah seorang waliyullah yang mempunyai sifat sosial yang tinggi. Sikap hidup yang dicontohkan Sunan Drajat adalah agar pengikutnya dapat mengambil suri tauladan yang memang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim, sebab Islam menganjurkan pengikutnya untuk berbuat serupa yaitu ajaran kolektifisme, yaitu ajaran untuk bergotong royong, hidup rukun, saling tolong menolong di mana yang kuat menolong yang lemah dan yang kaya menolong yang miskin. Itulah ajaran Islam yang sesungguhnya.

Sunan Gunung Jati
Di ceritakan dalam tradisi bahwa putra putri Prabu Siliwangi yaitu Raden Walangsungsang dan adiknya Nyai Larasantang dinasehati oleh guru mereka. Syaikh Nurul Jati untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Maka berangkatlah kedua kakak beradik itu ke Makkah. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, Nyai Larasantang menikah dengan putra sultan Mesir yang bernama Syarif Abdullah. Sedangkan Raden Walangsungsang yang kemudian bergelar Haji Abdullah Iman kembali ke Cirebon seorang diri. Dari perkawinan dengan Nyai Larasantang ini, Syarif Abdullah memperoleh putra yang diberi nama Syarif Hidayatullah pada akhir tahun 1448 M. Dua tahun kemudian lahir pula seorang lagi yang diberi nama Syarif Nurullah pada tahun 1450 M.
Beliau berhasil meng-Islamkan penduduk di daerah Jawa Barat. Raja Banten dengan mudah dapat diinsafkan untuk memeluk agama Islam. Di Jawa sebagaimana di tempat-tempat lain, peduduknya sudah mulai merasa tidak puas dengan agama lama. Dengan mengerahkan beberapa ribu prajurit tentara Demak, Syarif Hidayatullah dapat menguasai Banten dan Sunda Kelapa sekitar tahun 1521-1524 M.
Kemudian Sunan Gunung Jati diangkat oleh Sultan Demak menjadi penguasa Cirebon. Di sini beliau menyebarkan agama Islam dengan damai. Beribu-ribu orang berdatangan untuk belajar dalam agama Islam kepadanya. Meski pada mulanya daerah-daerah sekelilingnya mencoba untuk menentangnya, tetapi setelah melihat bahwa tantangan mereka tak ada gunanya maka mereka sendiri lama-lama tertarik dengan agama Islam ini.

Sunan Kalijaga
Nama lain/gelar Sunan Kalijaga yang sering disebut adalah Muhammad Said atau Joko Said. Kelebihan utama dari Sunan Kalijaga ialah kemampuannya memasukkan pengaruh Islam kepada kebiasaan orang Jawa. Makam beliau yang terletak di Kadilangu, dekat Demak senantiasa diziarahi orang. Sunan Kalijaga menjadi tokoh legendaris dalam kisah masyhur menjadikan soko tatal dalam masjid Demak. Sunan Kalijaga adalah pencipta wayang kulit dan pengarang buku-buku perwayangan yang mengandung cerita dramatis dan berjiwa Islam.
Majalah Penyebar Semangat Surabaya di Jayakarta yang mendapat keterangan dari Darmosugito (wartawan Merdeka), menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga adalah orang Jawa asli.
Silsilah yang dikemukakan adalah:
Adipati Ranggalawe (Bupati Tuban)– berputra
Ario Tejo 1 (Bupati Tuban)–berputra
Ario Tejo II (Bupati Tuban)–berputra
Raden Tumenggung Wilotekto (Bupati Tuban)–berputra
Raden Mas Said–( Sunan Kalijaga )

Sunan Muria
Ketika masih muda Sunan Muria dikenal dengan Raden Prawoto. Nama lainnya adalah Raden Said bin Raden Syahid. Sunan Muria adalah seorang sufi, ahli tasawwuf. Beliau mengasuh para santri menyelami ilmu tasawuf.
Sunan Muria mencerminkan pribadi yang menempatkan rasa cinta kepada Allah. Kediaman dan Pesantren Sunan Muria terletak di kaki gunung Muria yang mengawal keselamatan pantai utara Pulau Jawa di Tanjung Jepara, Jawa Tengah.
Dibawah bimbingan beliau orang–orang senantiasa membenamkan dirinya untuk berdzikir kepada Allah. Beliau selalu mengucapkan kalimat thayyibah dan kalimat risalah “Laa ilaaha illallah , Muhammadur Rasulullah“ Sunan Muria juga pencipta gending Sinem dan kinanti.

Sunan Bejagung
Kedatangan Sunan Bejagung di tanah Jawa bersama-sama dengan Syaikh Jumadhil Kubro, beliau berdakwah di kerajaan Majapahit. Maulana Ishaq ke Kadipaten Banyuwangi, Maulana Malik Ibrahim ke Gresik. Sementara Syaikh Maulana Ibrohim Asmoro Qondi dan Syaikh Maulana Abdullah Asy'ari ditugaskan di Kadipaten Tuban. Mubaligh lainnya ditugaskan di tempat yang berbeda dengan tujuan yang sama, mensyiarkan ajaran Islam.
Kedatangan Maulana Abdullah Asy'ari di Tuban disambut baik Adipati Tuban Wilotikto. Sang Adipati sangat menghormati ulama pendatang tersebut, meski pada saat itu dia belum bisa menerima islam sebagai agama yang baru. Bentuk rasa hormatnya kemudian diwujudkan dengan memberikan tanah pardikan (kemerdekaan) di sebuah daerah pegunungan yang saat ini bernama Desa Bejagung di Kecamatan Semanding. Di daerah inilah Syaikh Maulana Abdullah Asy'ari mendirikan sebuah kasunanan dengan nama Kasunanan Bejagung sekitar 1360 M yang pada akhirnya menjadikan beliau dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung.
Termasuk dari mitos kebesaran Sunan Bejagung adalah adanya gugusan batu besar hitam bernama Watu Gajah teronggok di barat lapangan Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, sekitar 2,5 kilometer (km) selatan barat Kota Tuban. Konon, batu-batu tersebut penjelmaan dari gajah tentara Majapahit yang hendak membawa pulang paksa Pangeran Kusumohadi yang mengaji kepada Maulana Abdullah Asy’ari (Sunan Bejagung).
Pangeran Kusumohadi adalah putra Prabu Hayam Wuruk, salah satu raja Majapahit. Setelah mengetahui bahwa anaknya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka sang prabu memerintahkan patihnya Gajah Mada menjemput. Mendengar rencana itu, Pangeran Kusumohadi memohon kepada Sunan Bejagung untuk membantunya menolak kehendak Prabu Hayam Wuruk. Alasannya, pangeran ingin tetap menekuni ilmu Islam dan tidak ingin menjadi raja. Kehendak pangeran tersebut dikabulkan Sunan Bejagung. Untuk melindungi sang pangeran, Sunan Bejagung menggaret tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung yang sampai sekarang dikenal dengan Siti Garet. Tujuannya, agar tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan.
Tentara Majapahit akhirnya tak bisa masuk kasunanan dan berhenti di selatan kasunanan. Melihat itu, salah seorang santri melapor kepada Sunan Bejagung bahwa di sebelah selatan kasunanan banyak pasukan gajah dari Majapahit. Sunan Bejagung spontan mengatakan tidak gajah tetapi batu. Karena kekuatan karomah sang wali, semua gajah menjadi batu.
Begitu juga ketika Sunan Bejagung diajak berhaji oleh santrinya yang berwujud jin. Santri tersebut sanggup menggendong Sunan Bejagung dari Tuban sampai ke Masjidil Haram Makkah. Namun, saat digendong melintas samudra, Sunan Bejagung terlepas dan jatuh ke laut. Dalam musibah tersebut dikisahkan Sunan Bejagung selamat karena dan ditolong ikan Meladang. Ikan inilah yang membawa sunan sampai di suatu pulau Socotora (JW. Soqotthro) dekat Hadramaut.
Diantara keturunan Sunan Bejagung adalah Mbah Mutamakkin, Kajen, Pati. Dari garis bapak, mbah Mutamakkin adalah keturunan dari Raden Patah (Sultan Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono. Sedangkan dari garis ibu, Mbah Mutamakkin adalah keturunan dari Sayyid Aly Bejagung, Tuban, Jawa Timur. Sayyid Aly mempunyai putra bernama Raden Tanu. Dan, Raden Tanu mempunyai seorang putri yang menjadi ibunda Mbah Mutamakkin. Nama ningrat Mbah Mutamakkin adalah Sumohadiwijaya, yang merupakan putra Pangeran Benawa II (Raden Sumohadinegoro) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya V.
***



Islam di Kalimantan

Kerajaan Kubu
S
udah terkenal berita di tanah air kita, tentang turunnya suatu rombongan pendakwah Islam ke negeri bawah angin, yang terletak di sebelah timur dari negeri Arab. Pada da’i ini berasal dari kota Tarim, Hadramaut, Jazirah Arab Selatan untuk tujuan syiar Islam di negeri bawah angin.
Menurut J.U. Lontaan dalam bukunya Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat di Kalimantan Barat, rombongan pendakwah ini terdiri dari 45 ulama Arab. Kedatangan mereka ini atas anjuran sang guru. Sang guru menganjurkan untuk mencari negeri yang berhutan lebat dan pohonnya yang berdaun rindang menghijau. Maka berangkatlah rombongan ini mencari negeri yang digambarkan sang guru. Banyak negeri yang mereka kunjungi. Sampailah mereka ke negeri-negeri India, Patani, Kamboja, Malaysia (Trengganu, Kedah), Indonesia (Aceh, Riau, Palembang, Betawi, Semarang, Kalimantan Barat), Brunei, Serawak, dan Filipina (Sulu, Mindanau).
Ketika tiba di Trengganu, Malaysia, dua orang turun dan tinggal menetap di sana. Mereka adalah:
1. Sayyid Muhammad bin Ahmad Qurasyi yang mengajar ilmu agama Islam kepada penduduk Trengganu sehingga diberi gelar Tu’marang.
2. Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Qudsi yang juga menyiarkan agama Islam dan mengajar penduduk Trengganu hingg wafat di sini.
Lalu rombongan melanjutkan perjalanan ke negeri Aceh. Setiba di sini Sayyid Abu Bakar al-Aydrus dan Habib Husein al-Gadri turun dan tinggal di sini. Sayyid Abu Bakar al-Aydrus terus mengajarkan ilmu agama hingga wafatnya dan diberi gelar oleh penduduk Aceh dengan gelar Tu’marang. Sedangkan Habib Husein al-Gadri setelah tinggal selama satu tahun di Aceh lalu melanjutkan perjalanan ke Betawi.
Ketika tiba di Kalimantan Barat yang diperkirakan pada tahun 1720 Masehi/ 17 Ramadhan 1144 Hijriyah, diceritakan bahwa yang turun di sini adalah:
1. Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus. Beliaulah yang menurunkan raja-raja Kubu.
2. Syarif Ahmad. Keturunannya tidak dijumpai lagi di Kalimantan.
3. Syarif Abdurrahman as-Seggaf, seorang ulama yang keturunannya ada di Kalimantan Barat.
4. Syarif Habib Husein al-Gadri. Beliau menurunkan sultan-sultan Pontianak.
Kemudian tulisan S. Agil bin Hamid bin Ahmad al-Aydrus, Sampit, Kalimantan Selatan menyebutkan bahwa para pembantu dari Syarif Idrus al-Aydrus, Raja Kubu itu adalah:
1. Sayyid Hamzah Baraqbah.
2. Syaikh Ahmad Falugah.
3. Sayyid Ali bin Syahabuddin.

Kalimantan Selatan
KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia menyatakan:
“Dalam penyebaran Islam di Kalimantan amat terkenal peran seorang tokoh ulama yang bernama Khatib Dayyan (Daiyan). Sebenarnya ia adalah Sayyid Abdul Rahman menurut Arthum Artha (Hasil Pra Seminar Sejarah, Banjarmasin 1973). Orang Jawa menyebutnya agak lain Ngabdul Rahman. Hal ini bisa dijadikan petunjuk bahwa orang Jawa amat mengenal Khatib Dayyan yang sering menyebutnya dengan aksen Jawa. Ini berarti pula hubungannya dengan orang Jawa sangat erat. Bisa juga mengandung petunjuk bahwa Khatib Dayyan yang disebut Ngabdul Rahman itu seorang ulama yang datang dari Jawa sekalipun berasal dari negeri Arab, atau mungkin juga seorang keturunan Arab. Ini mengingat penyiaran Islam dilakukan oleh para ulama yang berasal dari Tuban, Gresik, Demak, dan lain-lain tempat di pantai utara Jawa.”

Kalimantan Timur
Drs. Bambang Suwondo dan kawan-kawan dalam bukunya Sejarah Daerah Kalimantan Timur menulis bahwa mulai masuk di zaman Ali Raja Mahkota (1525-1600 M). Di zaman pemerintahannya ini hidup seorang ulama Arab terkenal yang bernama Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar al-Warsak, yang dimakamkan bersama Sultan dan putranya di Kutai Lama dan makamnya ini oleh penduduk setempat dianggap keramat. Sebelum bulan atau menjelang mulai bulan puasa, penduduk yang berziarah ke makam ini banyak sekali.
***


Islam
di Sulawesi dan Maluku

Islam di Sulawesi Selatan
K
erajaan terbesar sesudah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit adalah Kerajaan Gowa yang terletak di Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa berdiri sekitar tahun 1300 Masehi. Agama Islam masuk pada masa Raja Gowa IX, dibawakan oleh pedagang-pedagang dari Surabaya dan orang-orang Melayu dari Sumatra. Diceritakan bahwa baginda Raja Gowa IX belum berkenan memeluk agama Islam, akan tetapi telah bersimpati. Ini terbukti dari dibolehkannya pembangunan masjid pertama di Kerajaan Gowa yang berlokasi di Manggalekana sekitar tahun 1538 Masehi.
Ketika orang Portugis di bawah pimpinan Antone de Pyva datang di Kerajaan Gowa dan mengajak baginda masuk Nasrani, secara tegas ajakan itu langsung ditolak oleh Raja. Sekitar tahun 1583 Masehi datanglah Sultan Babullah ke Kerajaan Gowa. Ketika itu yang memerintah Kerajaan Gowa adalah Tamijallo. Kedatangan Sultan Babullah di Gowa ada 2 maksud:
1. Memperbaiki hubungan dengan cara menyerahkan kembali Pulau Selayar kepada Gowa.
2. Sultan Babullah mengajak Raja Gowa dan seluruh rakyatnya untuk menerima Agama Islam.
Sultan Babullah mulai mengembangkan ajaran Islam di daerah Sulawesi Selatan dan Tengah. Waktu itu di daerah Kerajaan Gowa sudah ada pedagang-pedagang Muslim yang bermukim. Mereka berasal dari Pahang, Johor, Patani, dan Sumatra. Mereka tinggal di kampung yang disebut Manggelekana. Kedatangan pedagang-pedagang muslim ini sejak Nahkoda Bonang tiba di zaman Raja Gowa XI. Nama Raja Gowa XI adalah Mariogani Daeng Bonto bergelar Karaeng Tunipalangga Ulawang. Kegiatan ulama muslim ini selain berdagang juga mulai menyiarkan agama Islam secara damai kepada masyarakat Gowa.
Diceritakan pula bahwa Raja Gowa dan Raja Luwu menerima Islam. Pada tahun 1603 Raja Luwu (Payung Luwu) yang bernama La Patirawe Daeng Paribbung masuk Islam lalu diberi gelar Sultan Muhammad. Pada tahun 1605 Raja Gowa dan Mangkubuminya masuk Islam pula.

Islam di Sulawesi Tengah
Drs. Bambang Suwondo dan kawan-kawan dalam bukunya menulis:
“Islam masuk di Sulawesi Tengah dibawakan orang dari Bugis. Orang Arab yang terkenal waktu itu ialah Sayyid Zein al-Aydrus serta Syarif Ali yang kawin dengan Saeran, putri bangsawan Buol. Salah seorang putra Syarif Ali ialah Syarif Mansur yang gigih dalam menyiarkan Islam. Syarif Mansur ini bersama 40 orang pengikutnya berangkat ke Manado untuk menyiarkan Islam. Pada tahun 1666 M Belanda tidak senang dengan usaha dakwah Syarif Mansur ini, sehingga terjadi pertempuran dengan Belanda.
Telah datang ke daerah Palu, Sulawesi Tengah, seorang ulama Arab yang bernama Habib Idrus bin Salim al-Jufri. Menurut cerita seorang tua dari marga al-Hamid yang dilahirkan di daerah Makassar, Habib Idrus ini berangkat ke Palu atas petunjuk gurunya yang menetap di Pekalongan. Gurunya ini adalah seorang ulama yang mengajar juga seorang yang alim bernama Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-atthas. Beliau seorang wali yang makamnya sering diziarahi orang di Pekalongan.
Habib Idrus mengajar ilmu agama Islam kepada penduduk Palu. Atas usahanya dengan bantuan murid-muridnya dan masyarakat setempat dibangunlah sebuah madrasah/ pesantren yang diberi nama “al-Khairat”. Secara resmi Lembaga Pendidikan al-Khairat didirikan pada tanggal 30 Juni 1930 M bersamaan dengan 14 Muharram 1349 H.

Islam di Sulawesi Utara
Di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, pada abad ke-18 rajanya memeluk agama Kristen karena pengaruh penjajah asing yang masuk di situ. Rajanya saat itu Yakob Manoppo, yang memerintah pada tahun 1689-1709 M. Raja-raja berikutnya juga menjadi pengikut Kristen sampai tahun 1844 M.
Kemudian datang penyiar agama Islam yang pandai di tahun 1832 M yaitu seorang Arab yang datang dari Makassar (Ujung Pandang). Hubungan ulama Arab dari Makassar ini sangat baik dengan Raja Cornelius Manoppo yang beragama Kristen. Lama-lama pengaruhnya makin mendalam di negeri ini. Pada suatu ketika akhirnya Raja Yacob Manual Manoppo dengan tidak ragu-ragu lagi menyatakan diri masuk Islam, sebagai seorang Raja Islam.
Setelah itu ikut pula kerajaan tetangganya yaitu Raja Bolang Oki masuk Islam. Sampai sekarang tetaplah kedua kerajaan itu menjadi kerajaan Islam. Demikian tulis Prof. Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam jilid IV.
Islam di Sulawesi Tenggara (Kesultanan Beton)
Pada abad XI kerajaan Hindu-Budha menjadi kesultanan karena menganut Islam dan rajanya Hura Oleo setelah masuk Islam merubah namanya menjadi Sultan Qoimuddin. Masa kejayaan kesultanan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ikhsanuddin. Kekuasaannya meliputi seluruh Sulawesi Tenggara, Luwuk, Banggai sebelah Utara, Bone Rate, Pulau Selayar di sebelah barat, sampai sebelah selatan Kepulauan Palue.
Islam dijadikan agama resmi Kesultana Buton sejak Sultan Qoimuddin. Masjid kesultanan didirikan di dalam Keraton dan dijadikan sebagai pusat penyiaran agama Islam. Dari masjid keraton inilah Islam menyebar ke seluruh Sulawesi Tenggara.
Bangsa Arab punya andil yang besar dalam menyiarkan Islam di Kesultanan Buton. Para ulama Arab dijadikan mufti/ qadi dan imam masjid Kesultanan Buton.
Ulama Arab itu antara lain:
1. Syaikh Abdul Wahid
2. Syarif Muhammad
3. Firuz Muhammad
4. Sayyid Alwi

Islam di Maluku
Diceritakan bahwa di Ternate telah datang seorang ulama Islam yang bernama Datu Maulana Husein. Ulama ini sangat pandai membaca al-Qur’an dengan suara merdu dan menarik, sehingga penduduk yang mendengarkannya tertarik. Sebelum penduduk diajarkan membaca al-Qur’an, diharuskan mengucapkan Syahadatain, sehingga sejak saat itu mulailah penduduk Ternate masuk dan menerima Islam sebagai agamanya.
Atas ajakan Datu Maulana Husein, maka raja Ternate saat itu, Gapi Buta menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Zainal Abidin (465-1486 M) yang setelah mangkat baginda disebut Sultan Marhum pada tahun 1486 M.
Sumber sejarah lama dan cerita rakyat secara tradisional menyebutkan bahwa semua sultan yang memerintah di empat kerajaan utama di Maluku Utara, berasal dari keturunan Ja’far Shadiq, seorang bangsa Arab turunan Nabi Muhammad SAW. Ja’far Shadiq kawin dengan putri Nur Safah, yang tiba di Ternate pada tanggal 10 Muharram 470 Hijriyah (kira-kira 1015 M). Demikian menurut buku Beberapa Segi Sejaran Daerah Maluku.
Islam juga masuk di daerah pulau Seram Barat, dimulai dari daerah Latu dan Hualoy. Disebutkan bahwa penyebar Islam di daerah ini adalah Maulana Zainal Abidin.
Pemeluk Islam pertama adalah Kapiten Nunusaku (Kapiten Iho Lussy) yang berguru kepada Maulana Zainal Abidin. Setelah Iho Lussy memperoleh ilmu agama Islam yang cukup, maka ia pun berdakwah seperti gurunya. Sebagian besar penduduk di daerah Seram memeluk agama Islam adalah berkat jasa kedua pendakwah ini. Setelah kapiten Iho Lussy wafat, maka tugas dakwah Islam dilanjutkan oileh anaknya yang bernama Muhammad Lussy. Demikian tulis Drs. M. Nour Tawainella.
Masuknya Islam di daerah Maluku Tengah adalah melalui pedagang Islam yang datang dari Jawa Timur. Pusat Islam di Jawa Timur sesudah runtuhnya Majapahit adalah Gresik. Dari Gresik inilah datang ulama bersama para pedagang ke Pulau Ambon, dan mereka semua berpusat di kota pelabuhan Hitu. Jadi, Hitu menjadi pusat penyebaran Islam pada daerah sekitarnya pada tahun 1500 M. Diduga masuknya Islam khusus di Pulau kei pada tahun 1500 H.
***


Islam di Malaysia

K
ira-kira tahun 1276 M di masa Sultan Muhammad Syah bertahta di Malaka, datang sebuah kapal dagang dari Jeddah, yang dipimpin kapten kapal yang bernama Sidi Abdul Aziz, yang juga seorang ulama Islam. Sidi Abdul Aziz lalu menganjurkan Raja Malaka itu yang telah di islamkan untuk mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Dalam sejarah negeri Kedah dikatakan bahwa Islam masuk ke sini tahun 1501M.
Jika kita berbicara tentang pengenalan agama ini yang mula-mula di daerah Melayu, maka besar kemungkinan bahwa hal itu dilakukan oleh orang-orang Arab yang tampaknya telah mendirikan koloni-koloni di pantai barat Sumatra sejak 674 M.
Undang-undang dalam mazhab Syafi’i merupakan asas undang-undang bagi bangsa Melayu. Undang-undangnya mengenai hal-hal harta benda, perdagangan, tata tertib istana, perkawinan, penghukuman, dan pendendaan karena kesalahan, diterima sebagai undang-undang negara. Undang-undang ini diterbitkan dalam bentuk kitab yang mudah dipahami sebagai panduan para hakim, yang oleh orang setempat digelari kadi, suatu kata yang berasal dari kata Arab yaitu qadhi.
Institusi pendidikan jenis tradisional di Malaysia ialah surau dan sekolah al-Qur’an yang masih berlangsung hingga sekarang. Awal abad ke-19 mulai masuk pendidikan Barat modern. Oleh pemerintah Inggris didirikan sekolah Melayu.
Hamdan Hasan MA. Mengutarakan bahwa ulama Sunni Patani meninggalkna negerinya yang mengalami pergolakan. Mereka banyak yang hijrah ke tempat lain seperti Makkah, Kelantan, Trengganau, dan tempat lain di Malaysia.
Diantara ulama Patani yang terkenal:
1. Syaikh Daud bin Abdullah Patani
2. Abdul Qadir Patani
3. Zainal Abidin bin Muhammad Zain Patani
4. Wan Ahmad bin Muhammad Zain Patani
5. Muhammad bin Ismail Daud Patani.
Pada 10 Muharram 1250 Hijriyah bersamaan 20 Mei 1834 Masehi, ketika masih berumur 30 tahun, Sayyid Husein Jamalullail diangkat menjadi Raja Perlis pertama dengan gelar Tuan Sayyid Syarif Husein Jamalullail.
Sultan Tuan Sayyid Syarif Husein Jamalullail ini adalah putera dari Sayyid Harun Jamalullai dengan Tungku Safiah (Tungku Tanjung) seorang putri dari Sultan Ahmad Dhia’uddin, sultan Negeri Kedah ketika itu.
Pada tahun 1166 Hijriyah (1752 M), Sayyid Harun merantau ke negeri Patani dan bermukim di Kampung Cenak. Di sini Sayyid Harun Jamalullail mengajar hukum Islam dan mengajar membaca al-Qur’an kepada penduduk Cenak ini.
Karena pengaruhnya dan banyak sekali muridnya, maka sewaktu beliau menyampaikan maksudnya hendak kembali ke negeri Kedah, sebanyak 500 orang penduduk Cenak menyatakan mau ikut merantau ke negeri Kedah. Rombongan ini nantinya merupakan inti penduduk Kerajaan Perlis dan banyak pula yang menjabat kedudukan di kerajaan Perlis kelak.
Raja Perlis kedua adalah Sayyid Ahamad Jamalullail ibn Almarhum Sayyid Husein Jamalullail. Masa pemerintahannya adalah antara 1874-1897 M.
Yang menjadi raja Perlis ketiga adalah Sayyid Shafi bin Alwi bin Ahmad Jamalullail. Beliau adalah cucu Raja Perlis Kedua, karena ayahnya Sayyid Alwi Jamalullail telah meninggal di laut semasa pemerintahan Raja Perlis Kedua. Raja Perlis ketiga ini dilantik pada tanggal 10 Dzulhijjah 1314 H bertepatan dengan 1897 M.
Raja Perlis keempat adalah Sayyid Alwi bin Sayyid Shafi Jamalullail yang memerintah pada 1905-1943 M.
Dengan tidak mengindahkan aturan adat istiadat Kerajaan Perlis, Jepang mengangkat Sayyid Hamzah bin Sayyid Shafi Jamalullail menjadi Raja perlis. Yang sebenarnya berhak menjadi raja adalah Sayyid Putra bin Sayyid Hassan bin Sayyid Shafi Jamalullail tidak diperlukan oleh Jepang yang saat itu menguasai seluruh Semenanjung Malaysia.
Negeri Melayu mulai merasakan kebangkitan islam, karena masuknya paham-paham yang diajarkan oleh kaum yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,dan Rasyid Ridha. Pengaruhnya ini terasa pada kaum muda di Malaysia yang menjadi pelopor pembaharuan. Mereka adalah:
1. Syaikh Taher Jalaluddin
2. Syaikh Muhammad al-Kalili
3. Sayyid Abdullah bin Agil
4. Sayyid Syaikh al-Hadi
5. Za’ba.
Tiga orang yang disebut pertama yaitu Syaikh Taher Jalaluddin, Syaikh Muhammad al-Kalili, dan Sayyid Abdullah bin Agil secara bersama-sama menerbitkan majalah al-Iman di Singapura untuk keperluan umat Islam di Tanah Melayu termasuk Indonesia.
Sebetulnya pada akhir abad ke-19 Inggris sebagai penguasa daerah Malaysia berusaha mendirikan sekolah-sekolah di Malaysia, tetapi tidak mendapat sambutan dari kaum Muslimin di tanah Melayu, terutama di Penang. Lalu penduduk muslim mengadakan suatu mufakat untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak mereka. Maka pada 16 Muharram 1335H/1916 M di dirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama Madrasah al-Qur’an untuk pendidikan agama Islam. Para pendirinya adalah Sayyid Mahir Muhdlar, Syaikh Ali Bawazir, Sayyid Umar as-Segaf, Sayyid Umar Mahdhar, dan Syaikh Hasan al-Baghdadi. Sekolah Madrasah al-Qur’an ini dipimpin oleh Sayyid Abdurrahman al-Habsyi.
***


Islam di Brunei

A
sal mula nama Brunei berasal dari bahasa Sansekerta “Varunai” yang semula diambil dari kata Sansekerta “Varunadvipa” yang berarti “pulau Kalimantan”. Pada mulanya dieja “Brunai” (بروناي) yang kemudian berubah menjadi “Brunei” (بروني) yang merupakan ejaan yang benar.
Raja Brunei, Awang Alak Betatar mula-mula belum menganut agama Islam. Lalu datang ulama dari tanah Johor, yang sebelumnya ke tanah melayu Johor.di antara ulama penyiar Islam adalah Syarif Ali, yang berasal dari Thaif, sebuah kota kecil dekat tempat arah umat Islam menuju kiblat untuk melaksanakan Shalat. Syarif Ali melakukan pengajaran Islam kepada para penduduk Brunei.
Raja Awang Alak Betatar tertarik menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Lalu seluruh keluarga istana masuk Islam, termasuk putra Sultan Muhammad Syah yang kelak menggantikan menjadi sultan kedua yaitu Sultan Ahmad.
Pada tahun 1511 M kerajaan Melayu Malaka jatuh ke tangan Portugis. Maka atas kekosongan ini Brunei mengambil alih jadi pusat penyebaran Islam dan perdagangan di kepulauan Melayu.
***


Islam di Serawak

I
slam masuk di Serawak diperkirakan pada abad ke-14 pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah dari Brunei.
Pangeran Muda Hasyim ditugaskan membantu Gubernur Serawak saat itu, Pangeran Indra Mahkota Syah Bandar Muhammad Shaleh.
Pangeran Muda Hasyim adalah paman dari sultan Brunei pada saat itu, yaitu Sultan Omar Ali Saifuddin I.
***


Islam di Filiphina

P
etunjuk pertama adalah tentang kedatangan Tuan Masha’ika. Di dalam silsilah dari Sulu tidak disebutkan apakah pada waktu itu penduduk sudah menganut agama islam.juga di dalam silsilah tidak disebutkan bahwa Tuan Masha’ika memeluk agama Islam. Tetapi melihat dari namanya pastilah ia beragama islam. Kalau melihat nama cucunya yaitu Tuan hakim dan Aisha maka pastilah Tuan Masha’ika seorang muslim. Kemudian dalam sejarah Sulu dicatat bahwa Tuan Masha’ika adalah “Bogot Maumin”. Kata “Maumin” ini dalam bahasa Arabnya adalah “Mu’minin”. Juga kata Tuan umumnya diasosiasikan di Sulu sebagai orang-orang Islam.
Menurut “Tarsila”, Karimul Makhdum tidak disebut sebagai orang pertama memperkenalkan Islam di daerah ini. Kemudia disebut juga Tuan Syarif Aulia. Karena penggunaan naka “Aulia” maka sering dihubungkan dengan Malaysia dan Indonesia.
Menurut silsilah Sulu, setelah Karimul Makhdum datang, tiba pula Rajah Baginda dari Minangkabau, Sumatra Barat, setelah singgah di Zamboanga dan Basilan.
Silsilah sultan Sulu jelas menyatakan Sayyid Abu Bakar dijadikan Sultan. Ini menunjukkan bahwa penduduk Buansa dan pemimpin mereka pastilah orang yang telah memeluk agama Islam dan mereka mempunyai kemauan untuk menerima suatu kerajaan Islam di negerinya. Oleh karena itu, Islam diterapkan oleh Sayyid Abu Bakar, baik di pemerintahan ataupun di kehidupan masyarakatnya.
Dikatakan pula bahwa Sayyid Abu bakar menetap di Buansa selama 30 tahun. Semua tarsila yang membicarakan sultan pertama menyebutkan bahwa gelarnya adalah Syariful Hashim. Sebagian lagi menyebutnya dengan nama Zainal Abidin.
Kemudian datang pula ulama Arab, namanya Sayyid Abdul Aziz yang ketika singgah di Malaka kemudian sembahyang dan mengajak sultan di sini masuk Islam.
Ada yang menduga bahwa Karimul makhdum adalah ayah Maulana Malik Ibrahim (Gresik) dan juga diduga bahwa Karimul Makhdum adalah Ibrahim al-Akbar Zainuddin bin Jamaluddin al-Huseyni.
Apakah betul Makdum ini atau Makdum lain yang betul-betul disebut Ibrahim al-Akbar bin Jamluddin al-Husaini al-Akbar, sebab yang ditulis dalam Uqud al-Mas adalah Makdum tetapi disebutkan asy-Syarif Ibrahim Zainuddin al-Akbar bin Jamaluddin al-Huseyni al-Akbar yang disamakan orang dengan Syarif Aulia.
Buku Uqud al-Mas adalah buku yang ditulis oleh Habib Ahmad bin Hasan bin Abdullah al-atthas dan Sayyid Syarif al-Alawi al-Huseyni, dan disusun oleh Alwi bin Thahir bin Abdullah al-Haddad.
Di ceritakan dikepulauan Magindanao, datanglah Syarif Aulia, lalu menetap di sana, kemudian kawin dan memperoleh seorang istri yang diberi nama Paramisuli. Setelah itu ia berlayar lagi.
Kemudian datang pula ulama lain yaitu Syarif Hasan dan Syarif Maharaja.
Syarif Muhammad Kebungsuan tiba di Maguindanao sekitar tahun 1515 M. Kebungsuan tiba dua generaqsi sesudah Syarif Aulia. Jadi Syarif Aulia tiba kira-kira sekitar tahun 1460 M.
Prof. C.A. Mogul menulis:
Syarif Aulia ini mungkin adalah Ibrahim Zainuddin al-Akbar bin Jamaluddin al-Husaini, yang menurut Prof. Abderrouf dikatakan Karim al-Makhdum.
Jadi Prof. C.A. Mogul menyimpulkan bahwa Syarif Aulia (Magindanao) adalah juga Karimul Makhdum (Sulu) yang juga adalah Syarif Ibrahim Zainuddin al-Akbar bin Jamaluddin Husaini. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Syarif Ibrahim Zainuddin al-Akbar itu adalah Syarif yang datang ke Sulu ataupun ke Maguindanao?
***


Islam di India

B
erkembangnya Islam di India banyak menarik perhatian para ahli sejarah kontemporer maupun ahli sejarah masa lalu. Tetapi jarang yang menulis tentang dakwah Islam di India. Mereka kebanyakan menulis tentang penyerbuan tentara muslim dan kekuasaan pemerintahan Islam di India. Ini disebabkan India dianggap sebagai suatu negeri dimana Islam ditegakkan dan dikembangkan dengan kekerasan. Tidak ada yang menulis tentang sejarah dakwah Islam di India. Padahal dari 70 juta kaum muslim India, banyak sekali yang masuk islam tidak dengan jalan kekerasan, tetapi semata-mata melalui turunan dan persuasi dakwah yang penuh dengan jalan damai. Kelompok ini berbeda dengan mereka yang masuk Islam dengan cara kekerasan atau dengan kelompok lain dari masyarakat India yang heterogen itu.
Selanjutnya, Thomas W. Arnold menulis pendapat Bishop LeFroy sebagai berikut:
Ketika agama Islam, dengan ajaran-ajarannya yang gamblang tentang realita wujud Tuhan, yang memancarkan kebenaran yang mutlak, cocok, dan obyektif, datang berhadapan dengan rapuhnya pandangan pantheistik dengan keyakinannya yang subyektif, maka agama Islam tidak hanya keluar sebagai pemenang, tetapi juga dipandang sebagai sumber kekuatan baru bagi kehidupan dan pandangan hidup yang lebih segar di India Utara, mempercepat tumbuhnya hidup yang lebih segar dan semangat baru bagi banyak jiwa yang sebelumnya tidak pernah memperoleh kepuasan intelektual.
Dakwah Islam di India Selatan dimulai pada abad ke-7 ketika kelompok pedagang Arab dalam perjalanannya ke Tiongkok/China mampir dan mengambil barang dagangan di India. Diantara mereka ada yang menetap dan mengawini penduduk setempat. Mereka inilah nenek moyang dari penduduk suku Mapilla. Sebagian dari nenek moyang suku Mapilla ini datang dari Irak dan Persia. Adanya arus orang-orang asing ini mengakibatkan percampuran penduduk India dengan orang-orang Arab dan Persia.
Rombongan dakwah yang terorganisir dilakukan oleh Syaikh Syaraf bin Malik dan saudaranya Malik bin Dinar serta kemenangan Malik bin Habib di daerah Cranganore. Malik bin Dinar mendirikan masjid di daerah Magyi tahun 1124H.
Di Zafar, pantai Arabia terdapat makam Raja India yang mempunyai catatan nama Abdurrahman as-Samiri. Ia tiba tahun 212 H dan wafat tahun 216 H. Ia termasuk suku Mapilla.
***


Islam di China

P
ada masa pemerintahan Al-Walid, seorang jenderal Arab terkenal dengan nama Qutaibah bin Muslim, yang ditunjuk menjadi Gubernur Khurasan, berhasil meluaskan wilayahnya melewati Oxus, menguasai Bukhara, Samarkand, dan kota-kota lain di timur sehingga hampir mencapai daerah China. Pada tahun 713 M Gubernur ini mengutus delegasi persahabatan menghadap Kaisar. Utusan tadi menurut tarikh Arab kembali dengan membawa hadiah yang banyak. Beberapa tahun kemudian menurut catatan tarikh China ada seorang buta Arab bernama Sulaiman yang diutus oleh Khalifah Hisyam kepada Kaisar Hsuan Tsung. Ketika dia digulingkan oleh pemberontakan Hsuan Tsung menyerahkan pemerintahan kepada putranya yaitu Sung Tsung (756 M). Kaisar ini langsung meminta bantuan Khalifah Abbasiyah yaitu al-Mansur, yang segera mengirim pasukan Arab. Dengan bantuan pasukan ini Kaisar berhasil merebut kembali dua kota penting dari tangan kaum pemberontak yaitu kota Si Ngan Fu dan Ho Nan Fu. Setelah pemberontakan ini berakhir pasukan Arab tidak kembali ke negerinya melainkan kawin dan menetap di China.
Periode penaklukan oleh bangsa Mongol pada abad ke-13 membuka jalan untuk berimigrasi secara besar-besaran bagi orang-orang Islam dari berbagai keturunan antara lain Arab, Persia, Turki, dan lain-lain. Sebagian datang sebagai pedagang, seniman, tentara, atau kolonis. Sebagian besar dari mereka menetap menjadi penduduk yang berkembang dan makmur. Tahap demi tahap mereka berintregasi sehingga kehilangan keasliannya melalui perkawinan dengan wanita China. Beberapa orang Islam berhasil menduduki jabatan penting pemerintahan Mongol, misalnya Umar Syamsudin, yang lebih dikenal dengan Sayyid Ajall, diserahi tugas mengurus keuangan negara merangkap jabatan sebagai Gubernur Yunan, setelah Propinsi ini ditaklukan dan disatukan di dalam Imperium China.
Sayyid Ajall meninggal tahun 1270 M dengan meninggalkan nama yang harum sebagai Administrator teladan dan jujur. Keluarga keturunan Sayyid Ajall memainkan peranan penting dalam dakwah Islam di China. Cucunya pada tahun 1735 M memperjuangkan Islam sehingga memperoleh pengakuan Kaisar sebagai “agama yang benar dan murni”.
***


Dai-Dai Islam
di Pulau Jawa Selain Walisongo


S
elain para Walisongo, ada beberapa ulama yang berdakwah menyebarkan Islam di pulau Jawa sebelum, pada saat dan sesudah periode walisanga. Di antaranya:

Syaikh Maulana Maghribi
Syaikh Maulana Maghribi, hidup +50 tahun sebelum Wali Songo pertama, Syaikh Maulana Malik Ibrahim, mengembangkan agama Islam. Disebut Maghribi karena dia berasal dari negeri Maghribi atau Maroko. Beliau datang ke pulau Jawa bersama lima temannya.
Dalam sebuah perdebatan para auliya’, Beliau hadir sebagai pemutus perdebatan tersebut. Para auliya’ berdebat mengenai hakekat Allah SWT, sebagian para wali ada yang berpendapat bahwa Allah itu jisim, ada juga yang berpendapat bahwa alllah itu abstrak/ ma’nawi. Menurut Syaikh Maulana Maghribi bahwa bagaimanapun keadaan dan hakekatnya, Allah SWT merupakan dzat yang paling maha sempurna dan tidak ada yang menyamainya.
Makam Syaikh Maulana Maghribi terletak di Desa Wonobodro, Kecamatan Bladu, Batang, Jawa Tengah. Syaikh Maulana merupakan ulama asal Maroko. Dari sanalah nama Maghribi berasal.

Syaikh Panjalu
Syaikh Panjalu adalah salah satu cucu dari Prabu Siliwangi yang mempunyai gelar Prabu Syahyang Borosngoro. Atas perintah sang ayah, syahyang prabu cakra dewa, beliau mengembara untuk mencari ilmu menjelajah nusantara hingga sampai ke Padang Arafah di Arab Saudi dan bertemu dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib selaku khalifah pada masa itu. Kemudian Borosngoro dibawa ke Makkah dan menjadi muslim. Setelah sekian lama berguru pada Sayyidina Ali beliau diminta pulang ke negerinya, namun beliau tidak berani pulang sebelum bisa membawa air di dalam gayung yang berlubang sebagaimana yang diperintahkan sang ayah. Atas perintah gurunya, Sayyidina Ali, beliau mampu membawa air zamzam sampai ke Panjalu.
Beliau juga diberi pedang dan jubah oleh gurunya dengan amanat agar beliau menyebarkan Islam di panjalu. Selama hidupnya dia banyak mendirikan kerajaan islam di nusantara seperti, Sukabumi, Pandeglang, Banten, Sumatra, Siak, Kalimantan. Dan akhirnya beliau kembali lagi ke Cimalaya. Beliau hidup antara tahun 600-700-an Masehi.
Mengenai Pertemuan syaikh Panjalu dengan sayyidina Ali bin Abi Thalib ini merupakan cerita yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat. Namun mengenai kebenaran cerita tersebut, masih belum bisa dipertanggungjawabkan, karena mungkin saja syaikh Panjalu hanya bertemu dengan seseorang dari salah satu keturunan sayyidina Ali bin Abi Thalib yang kebetulan bernama Ali atau mungkin dia adalah imam Ali Al-Uraidli yang merupakan kakek dari para habaib atau mungkin yang lainnya. Wallahu ‘alam.

Syaikh Jumadhil Kubro
Syaikh Jumadil Kubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Beliau berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW.
Syaikh Jumadil Kubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syaikh Jumadhil Kubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya.
Dengan keterangan nasab-nasab tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dijuluki dengan nama Syaikh Jumadhil Kubra adalah Sayyid Maulana jamaluddin Al Husein Al Akbar yang berada di Wayuk Makassar.

Syaikh Maulana Akbar
Syaikh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syaikh Jamaluddin Akbar dari Gujarat.
Silsilah Syaikh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Shahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Syaikh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.

Syaikh Quro
Syaikh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428 H.
Syaikh Quro adalah bernama Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama) asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Beliau datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syaikh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat. Makam Syaikh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemah Abang, Karawang.

Syaikh Datuk Kahfi
Syaikh Datuk Kahfi adalah mubaligh asal Baghdad yang memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majlis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syaikh Maulana Akbar. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah yang dikemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Makam Syaikh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.

Syaikh Abdul Khaliq
Syaikh Abdul Khaliq adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Beliau putra dari Syaikh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syaikh Abdul Khaliq di Jepara menikahi salah seorang cucu Syaikh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.

Syaikh Subaqir
Beliau adalah ulama dari Turki yang diutus oleh para sulthon pemerintahan Abbasiyyah untuk menyebarkan islam di Jawa. Di Jawa beliau bergelar Aji Saka. Memiliki spesialisasi di bidang Ekologi Islam.
Syaikh Subaqir berdakwah di daerah Magelang Jawa Tengah, dan menjadikan Gunung Tidar sebagai Pesantrennya.
Syaikh Subaqir memiliki keahlian di bidang Ekologi Islam. Artinya, Syaikh Subaqir sangat perduli terhadap lingkungan, dan fenomena-fenomena alam semesta. Para ahli sejarah babad Tanah Jawa melakukan kesalahan yang sangat mendasar dan merusak Aqidah dan Syariat Islam, yaitu menyebut Syaikh Subaqir sebagai ahli memasang tumbal untuk mengusir roh-roh jahat. Kesalahan sejarah terhadap Syaikh Subaqir ini akhirnya melegenda, dan menjadi cerita yang penuh dengan mitos, takhayyul dan khurafat.
Syaikh Subaqir adalah ahli ekologi Islam. Pemerhati lingkungan dan alam semesta. Sebagai pakar dalam bidang ekologi, beliau banyak sekali membaca fenomena-fenomena alam terutama bidang Mountainologi, yaitu ilmu tentang Gunung Berapi. Kalau dalam sains modern, beliaulah ahli Meteorologi dan Geofisika.
Syaikh Subaqir mengadakan penelitian intensif di beberapa Gunung Berapi. Mereka orang awam berasumsi bahwa Syaikh Subaqir sedang memasang tumbal atau jimat. Akhirnya opini masyarakat awam ini menyebar dari mulut ke mulut. Dan oleh dukun-dukun atau paranormal, cerita tersebut dibumbui dan dilebih-lebihkan sehingga mengarah pada takhayyul dan khurafat.
Melihat kenyataan masyarakat awam tersebut, Syaikh Subaqir berulang kali menerangkan kepada masyarakat, bahwa dirinya adalah peneliti lingkungan, dan mentadabburi alam semesta, agar kita bertambah takwa dan mensyukuri nikmat ini kepada Allah SWT. Namun sekali lagi kefanatikan masyarakat awam ini terhadap Syaikh Subaqir membuat legenda yang dibumbui cerita-cerita bohong yang mengarah kepada perbuatan syirik.
Ada beberapa karya Syaikh Subaqir yang bergelar Aji Saka, yaitu:
1. Beliau adalah penemu Huruf Jawa, yang berbunyi: Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Dha Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Ngo
2. Beliau pula yang memberi nama Jawa, yang diambil dari bahasa Suryani artinya Tanah Yang Subur.

Sunan Ngerang
Sunan Ngerang/ Ki Ageng Ngerang II adalah putra ke-2 Nyai Ageng Ngerang yang makamnya berada di Ngerang Pakuan Juana. Di Kabupaten Pati terdapat Tapak tilas (makam) Nyai Ageng Ngerang di Desa Ngerang Kecamatan Tambakromo, yang berada di selatan Kayen. Nyai Ageng Ngerang merupakan putri bungsu Raden Bondan Kejawan dari sang ayah Sunan Tembayat, Kertabumi Brawijaya. Siti Rohmah Roro Kasian di peristri Ki Ageng Ngerang I putra dari Maulana Malik Ibrahim dan mempunyai dua orang Putra. Putra pertama adalah seorang putri yang diperistri Ki Ageng Selo, kemudian yang ke-2 adalah Ki Ageng Ngerang II (Ki Ageng Pati) makamnya berada di Ngerang Pakuan Juana.

Sunan Prawoto
Sunan Prawoto, nama aslinya Raden Mukmin, adalah raja ke empat Kesultanan Demak, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah bawahan Demak seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya. Menurut Babad Tanah Jawi, ia tewas dibunuh oleh orang suruhan bupati Jipang Arya Penangsang, yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Setelah kematiannya, Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan Kesultanan Demak pun berakhir.
Naskah babad dan serat menyebut Raden Mukmin sebagai putra sulung Sultan Trenggana. Ia lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja.
Pada tahun 1521, Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin, bersaing memperebutkan tahta. Raden Trenggana adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah; sedangkan Raden Kikin yang lebih tua usianya lahir dari selir, yaitu putri bupati Jipang.
Raden Mukmin memihak ayahnya dalam persaingan ini. Ia mengirim pembantunya bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata. Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, dalam bahasa Jawa artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.
Sepeninggal Sultan Trenggana yang memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546, Raden Mukmin selaku putra tertua naik tahta. Ia berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun, keterampilan berpolitiknya tidak begitu baik, dan ia lebih suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto yang berlokasi di desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.
Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.
Cita-cita Sunan Prawoto pada kenyataannya tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas; sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya.
Sepeninggal Sultan Trenggana, selain Sunan Prawoto terdapat dua orang lagi tokoh kuat, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masing-masing adalah keponakan dan menantu Sultan Trenggana.
Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan dari gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya. Menurut Babad Tanah Jawi, pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni. Rangkud setuju, lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus. Ternyata istri Sunan yang sedang berlindung di balik punggungnya ikut tewas pula. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh Rangkud dengan sisa-sisa tenaganya.
Pada tahun 1549 itu pula, Aryo Penangsang berhasil dibunuh oleh Danang Sutawijaya atas siasat dari Ki Juru Martani.
Sunan Prawoto meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri, yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya Pangiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati Demak.
Sunan Ngudung
Sunan Ngudung atau Sunan Undung (wafat: 1524) adalah seorang anggota Walisanga yang juga bertindak sebagai imam Masjid Demak pada pemerintahan Sultan Trenggana. Naskah-naskah babad mengisahkan ia gugur dalam perang melawan Kerajaan Majapahit.
Nama asli Sunan Ngudung adalah Raden Utsman Haji, putra Sunan Gresik kakak Sunan Ampel. Atau dengan kata lain, ia masih sepupu Sunan Bonang. Sunan Ngudung menikah dengan Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel. Dari perkawinan tersebut lahir Raden Amir Haji, yang juga bernama Jakfar Shadiq alias Sunan Kudus.
Sunan Ngudung diangkat sebagai imam Masjid Demak menggantikan Sunan Bonang sekitar tahun 1520. Selain itu ia juga tergabung dalam anggota dewan Walisanga, yaitu suatu majlis dakwah agama Islam di Pulau Jawa.
Naskah-naskah babad, misalnya Babad Demak atau Babad Majapahit lan Para Wali mengisahkan Sunan Ngudung tewas ketika memimpin pasukan Kesultanan Demak dalam perang melawan Kerajaan Majapahit. Menurut naskah-naskah legenda tersebut, perang antara dua kerajaan ini terjadi pada tahun 1478. Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah melawan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh ayahnya sendiri yaitu Brawijaya.
Sunan Ngudung diangkat sebagai panglima perang menghadapi musuh yang dipimpin oleh Raden Kusen, adik tiri Raden Patah sendiri yang menjabat sebagai adipati Terung (dekat Krian, Sidoarjo). Raden Kusen merupakan seorang muslim namun tetap setia terhadap Majapahit. Dalam perang tersebut Sunan Ngudung memakai baju perang bernama Kyai Antakusuma (sekarang disebut Kyai Gondil). Baju pusaka itu diperoleh Sunan Kalijaga dan konon merupakan baju perang milik Nabi Muhammad.
Dalam pertempuran tersebut, Sunan Ngudung lengah dan akhirnya tewas di tangan Raden Husein.
Jabatan Sunan Ngudung sebagai panglima perang kemudian digantikan oleh Sunan Kudus. Di bawah kepemimpinannya pihak Demak berhasil mengalahkan Majapahit.
Menurut prasasti Trailokyapuri diketahui bahwa Majapahit runtuh bukan akibat serangan Demak melainkan karena perang saudara melawan keluarga Girindrawardhana. Namun siapa nama raja Majapahit saat itu tidak disebutkan dengan jelas. Secara samar-samar Pararaton menyebut nama Bhre Kertabhumi yang diduga sebagai raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Girindrawardhana.
Apabila benar demikian, maka perang antara Demak dan Majapahit yang dikisahkan dalam naskah-naskah babad terjadi pada tahun 1478 belum tentu pernah terjadi. Prasasti Trailokyapuri menyebut Girindrtawardhana sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kediri.
Sementara itu Babad Sengkala menyebut Kadiri runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1527. Karena menurut prasasti di atas, Kadiri dan Majapahit adalah satu kesatuan, maka dapat disimpulkan bahwa perang antara Majapahit dan Demak bukan terjadi pada tahun 1478 melainkan tahun 1527.
Perang antara dua kerajaan tersebut mungkin terjadi lebih dari satu kali. Naskah Hikayat Hasanuddin menyebutkan pada tahun 1524 imam Masjid Demak yang bernama Pangeran Rahmatullah tewas ketika memimpin perang melawan Majapahit. Tokoh ini kemungkinan besar identik dengan Sunan Ngudung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian Sunan Ngudung terjadi pada tahun 1524, bukan 1478 sebagaimana yang tertulis dalam naskah babad.

Sunan Sendang Duwur
Kisah perjuangan para wali dalam menyiarkan agama Islam di Indonesia, memang berbeda beda cara. Di Lamongan jawa timur, Sunan Sendang Duwur, memiliki kelebihan mampu memboyong sebuah masjid dari jepara jawa tengah menuju Lamongan, untuk siar Islam. Hingga saat ini masjid tersebut masih kokoh bertahan, satu komplek dengan makamnya yang berasitektur perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu.
Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmat merupakan putra Abdul Qohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad Irak. Raden Noer Rahmat lahir pada tahun 1320 Masehi dan wafat pada tahun 1585 Masehi. Bukti tahun wafatnya sang Sunan, dapat dilihat pada prasasti berupa pahatan yang terdapat di dinding makam beliau.
Hubungan antara Sunan Drajad dengan Sunan Sendang Duwur sangatlah erat dalam menyiarkan agama Islam. Bahkan, Sunan Drajat merasa kagum kepada Sunan Sendang Duwur yang memiliki kemampuan ilmu agama yang tinggi. Hanya sedikit masyrakat yang tahu mengenai Sunan Sendang Duwur. Padahal, penyebaran Islam di pulau Jawa tak dapat dipisahkan dari sejarah Sunan Sendang Duwur.
Bukti peninggalan Sunan Sendang Duwur yaitu masjid kuno yang lokasinya berdekatan dengan makamnya. Konon, Sunan Sendang Duwur memboyong masjid tersebut dalam waktu semalam, dari Mantingan Jepara Jawa Tengah menuju Lamongan atas petunjuk Sunan Drajat dan Sunan Kali Jogo. Masjid tersebut awal mulanya milik Mbok Rondo Mantingan, atau Ratu Kalinyamat yang diberikan kepada Sunan Sendang Duwur di saat masa mudanya. “Proses pemindahan masjid yang hanya membutuhkan waktu semalam itu, menjadi salah satu kelebihan kanjeng Sunan Sedang Duwur”, ujar Haji Ali, Juru Kunci Makam.
Tak hanya masjid, peninggalan kanjeng Sunan Sendang Duwur yang masih ada yaitu mimbar, bedug dan empat gentong berukuran besar yang di dapat dari kerajaan Majapahit.
Bangunan masjid ini kini telah direnovasi. Terdapat tiga pintu masuk untuk bagian depan. Di setiap pintu masuk bertuliskan angka tahun. Pintu sebelah kanan misalnya bertuliskan angka 1421 Saka, pintu tengah 1339 Hijriyah bertulisan arab, dan pintu sebelah kiri bertuliskan angka 1920 Masehi saat masjid ini direnovasi.
Dari masjid yang telah berusia 477 tahun inilah, Sunan Sendang Duwur pernah melakukan syiar agama Islam. Salah satu ajarannya yang terkenal adalah himbauan pada seseorang agar berjalan di jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.
Di kompleks yang sama, terdapat pula makam makam para santri Sunan Sendang Duwur, yang hingga kini dikeramatkan masyarakat sekitar.

Sunan Geseng
Sunan Geseng, atau sering pula disebut Eyang Cakrajaya, adalah murid Sunan Kalijaga. Menurut hikayat, pada suatu saat ia mengikuti anjuran Sunan Kalijaga untuk mengasingkan diri di suatu hutan untuk konsentrasi beribadah kepada Allah. Di tengah lelakunya itu, hutan tersebut terbakar, tapi beliau tidak mau menghentikan tapanya, sesuai pesan sang guru untuk jangan memutus ibadah, apapun yang terjadi, sampai sang guru datang menjenguknya. Demikianlah, ketika kebakaran berhenti dan Sunan Kalijaga datang menjenguknya, dia dapati Cakrajaya telah menghitam hangus, meskipun tetap sehat wal afiat. Maka digelarilah beliau dengan Sunan Geseng.
Makam Sunan Geseng terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap tahun ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Selain di dekat Pantai Parangtritis, Jogjakarta, makam Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di kaki Gunung Andong -dekat Gunung Telomoyo- secara administratif di bawah Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean (makam) Sunan Geseng.

Sunan Bayat
Sunan Bayat atau dengan nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran II, atau Wahyu Widayat adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Ia terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di perbukitan "Gunung Jabalkat" di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran-ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Terdapat variasi cerita menurut beberapa babad tentang bagaimana Sunan Kalijaga menyadarkan sang bupati. Namun, pada akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Pangeran Mangkubumi kemudian berpindah ke selatan (entah karena diperintah sultan Demak Bintara ataupun atas kemauan sendiri, sumber-sumber saling berbeda versi), didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, Mojosongo, Sela Gringging dan Wedi, menurut suatu babad. Konon sang pangeran inilah yang memberi nama tempat-tempat itu. Ia lalu menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, Klaten, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.

Sunan Bungkul
Sunan Bungkul mempunyai nama asli Ki Ageng Supo atau Empu Supo. Beliau sebenarnya adalah keturunan Ki Ageng dari Majapahit yang berkediaman di Bungkul Surabaya. Sunan Bungkul dikenal sebagai tokoh masyarakat dan penyebar agama Islam pada masa akhir kejayaan Kerajaan Majapahit di abad XV di tanah Jawa.
Sumbangsih Sunan Bungkul dalam penyebaran Islam di tanah Jawa tak bisa diabaikan begitu saja. Ki Supo atau Sunan Bungkul juga membantu Sunan Ampel dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Sunan Bungkul adalah mertua dari Raden Paku atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Giri. Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supo. Sewaktu masuk Islam, berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481. Supo mempunyai puteri bernama Dewi Wardah. Makam beliau berada tepat di belakang Taman Bungkul Surabaya.
Ada suatu cerita menarik tentang Ki Supo. Ki Supo ingin menikahkan puterinya. Namun ia belum mendapatkan sosok lelaki yang sesuai. Lalu Supo membuat sayembara, siapapun laki-laki yang dapat memetik delima yang tumbuh di kebunnya akan saya jodohkan dengan putriku Dewi Wardah.
Sudah banyak orang yang mencoba mengikuti sayembara itu, namun belum ada yang berhasil memetik buah delima yang dimaksud. Bahkan sebagian dari mereka ketika memanjat berusaha untuk mengambil buah delima mereka jatuh dan berakhir dengan kematian.
Pada suatu hari Raden Paku berjalan melewati pekarangan Ki Ageng Supo dimana terdapat pohon delima itu, sesampai di bawah pohon delima tiba-tiba pohon delima itu jatuh. Kemudian Raden Paku menyerahkan buah Delima tersebut kepada Sunan Ampel
Sunan Ampel berkata kepad Raden Paku “Berbahagialah engkau, karena sebentar lagi engkau akan diambil menantu oleh Ki Ageng Supo. Engkau akan dijodohkan dengan putri beliau yang bernama Dewi Wardah”.
“Kajeng Sunan, saya tidak mengerti apa maksud Kanjeng Sunan, bukankah sebentar lagi saya akan menikah dengan putri kanjeng Sunan”
“Agaknya ini sudah menjadi suratan takdir bahwa engkau akan mempunyai dua orang istri, putriku Dewi Murtosiah dan putri Ki Ageng Supo, Dewi Wardah”
Kemudian Sunan Ampel menceritakan perihal sayembara yang telah dibuat Ki Ageng Supo. Raden Paku mengangguk-angguk mendengar cerita Sunan Ampel.
Ki Ageng Supo akhirnya memperoleh mantu seorang santri dari Ampel Denta yakni Raden Paku. Sedangkan Raden Paku pada akhirnya menikahi dua orang putri Dewi Murtosiah, putri Sunan Ampel dan Dewi Wardah putri Ki Ageng Supo. Mereka hidup berbahagia selamanya.

Ki Ageng Selo
Ki Ageng Selo atau Ki Ageng Abdurrahman adalah tokoh spiritual sekaligus leluhur raja-raja Kesultanan Mataram. Ia adalah guru Sultan Adiwijaya pendiri Kesultanan Pajang, yang merupakan kakek dari Panembahan Senapati pendiri Kesultanan Mataram. Kisah hidupnya pada umumnya bersifat legenda, menurut naskah-naskah babad.
Nama asli Ki Ageng Abdurrahman Selo menurut sebagian masyarakat adalah '''Bagus Sogom'''. Menurut naskah-naskah ''babad'' ia dipercaya sebagai keturunan langsung Brawijaya raja terakhir Majapahit.
Dikisahkan, Brawijaya memiliki anak bernama Bondan Kejawan, yang tidak diakuinya. Bondan Kejawan berputra Ki Getas Pandawa. Kemudian Ki Getas Pandawa berputra Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo berputra beberapa orang putri dan seorang putra bergelar Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pemanahan, penguasa pertama Mataram.
Kisah hidup Ki Ageng Selo pada umumnya bersifat legenda menurut naskah-naskah babad, yang dipercaya sebagian masyarakat Jawa benar-benar terjadi. Ki Ageng Selo disebutkan pernah mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak. Ia berhasil membunuh seekor banteng sebagai persyaratan seleksi, karena merasa ngeri melihat darah si banteng. Akibatnya, Sultan menolaknya masuk ketentaraan Demak. Ki Ageng Selo kemudian menyepi di desa Selo sebagai petani sekaligus guru spiritual. Ia pernah menjadi guru Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan Pajang. Ia kemudian mempersaudarakan Jaka Tingkir dengan cucu-cucunya, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Ki Ageng Selo juga pernah dikisahkan menangkap petir ketika sedang bertani. Petir itu kemudian berubah menjadi seorang kakek tua yang dipersembahkan sebagai tawanan pada Kesultanan Demak. Namun, kakek tua itu kemudian berhasil kabur dari penjara. Untuk mengenang kesaktian Ki Ageng Selo, pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu petir), dengan dihiasi ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir yang pernah ditangkap Ki Ageng.
Ki Ageng Selo juga dikaitkan dengan asal-usul pusaka Mataram yang bernama Bende Kyai Bicak. Dikisahkan pada suatu hari Ki Ageng Selo menggelar pertunjukan wayang dengan dalang bernama Ki Bicak. Ki Ageng jatuh hati pada istri dalang yang kebetulan ikut membantu suaminya. Maka, Ki Ageng pun membunuh Ki Bicak untuk merebut Nyi Bicak. Akan tetapi, perhatian Ki Ageng kemudian beralih pada bende milik Ki Bicak. Ia tidak jadi menikahi Nyi Bicak dan memilih mengambil bende tersebut. Bende Ki Bicak kemudian menjadi warisan turun temurun keluarga Mataram. Roh Ki Bicak dipercaya menyatu dalam bende tersebut. Apabila hendak maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Bila berbunyi nyaring pertanda pihak Mataram akan menang. Tapi bila tidak berbunyi pertanda musuh yang akan menang.
Makam Ki Ageng Selo teletak di desa Selo, kecamatan Tawang Harjo 10 km sebelah timur kota Purwodadi. Sebagai obyek wisata spiritual, makam Ki Ageng Selo ini sangat ramai dikunjungi oleh para peziarah khususnya pada malam Jum'at, dengan tujuan untuk mencari berkah agar permohonannya dikabulkan oleh Allah SWT. Ki Ageng Selo sendiri menurut cerita yang berkembang di masyarakat sekitar khususnya atau masyarakat Jawa umumnya, diakui memiliki kesaktian yang sangat luar biasa sampai - sampai dengan kesaktiannya ia dapat menangkap petir.
Ki Ageng Selo dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai cikal bakal yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Mbah Sayyid Sulaiman Mojo Agung
Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi Sayyid Abdurrahman berdarah Arab mendarat di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman.
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayyid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayyid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudangnya para wali.
Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayyid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah SAW. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Dari pasangan dua keturunan Rasulullah SAW ini, lahir tiga orang putra: Sayyid Sulaiman, Sayyid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro, Segoropuro Pasuruan), dan Sayyid Abdul Karim.
Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayyid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayyid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.
Dari Pekalongan Sayyid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayyid. Maka diundanglah Sayyid ke keraton.
Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayyid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayyid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.
“Sulaiman, panjenengan tiyang sakti. Le’ bener-bener sakti, kulo nyuwun tulung gawe’no tanggapan sing ora umum, ora tau ditanggap wong,” pinta Raja Mataram kepada Sayyid dengan nada menghina.
Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayyid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayyid Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayyid demikian lama, namun Sayyid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Keajaiban pun terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayyid Sulaiman.
Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayyid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayyid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. kini Sriwedari telah menjadi sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan Mataram.
Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.
Setelah meninggalkan Solo, Mbah Sayyid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri (berguru agama) kepada keturunan Raden Rahmat atau Sunan Ampel.
Kabar keberadaan Sayyid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu adalah Sayyid Abdurrahim, adik kandung Sayyid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada keturunan Sunan Ampel bersama sang kakak.
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.
Tak lama kemudian, Sayyid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya, Mbah Sholeh Semendi. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman.
Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayyid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.
Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayyid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya ini beliau mempunyai putra bernama Hazam.
Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.
Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning.
Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, Belandar, ring, dan lain-lain yang kayunya diambilkan dari salah satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayyid Sulaiman sendiri.
Kabar kekeramatan Mbah Sayyid di Pasuruan terdengar sampai ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayyid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayyid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayyid bermaksud memenuhi panggilan ini.
Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayyid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayyid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama.
Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Le, awakmu lali nggak mangan jangan kacang iki, ayo panganen situk edang! (Nak, kamu lupa tidak memakan sayur kacang ini. Ayo makan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman.
“Oh, enggih Mbah (Oh, iya Mbah),” jawab mereka serempak.
Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak. “Kalau muridnya seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayyid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.
Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayyid Sulaiman pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Batek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun kewafatannya.
Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman belum sempat sampai ke Solo. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Batek Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam lawatan Mbah Alif, Mbah Sayyid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah SWT Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung.

***












Kesimpulan

D
alam dakwah Islam di Indonesia ada tiga gelombang besar, yaitu periode pendakwah Islam masuk Indonesia :
1. Gelombang pertama, diperkirakan pada akhir abad ke-1 Hijriyah/ abad ke-7 Masehi. Rombongan ini dari Bashrah, kota pelabuhan di Iraq. Ini terjadi pada zaman ahlul bait dan para pengikutnya yang dikejar-kejar oleh Bani Umayyah yang berkuasa saat itu. Menurut sejarah ada seratus orang pendakwah islam di bawah pimpinan nahkoda khalifah di Perlak Aceh.

2. Gelombang kedua, diperkirakan pada abad ke-6 Hijriyah/abad ke-13 Masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini yang terdiri dari anak cucunya lebih dari 17 orang dan tiba di Gresik, Pulau Jawa. Kemudian menyusul pula keluarganya dari Campa dan Pilipina Selatan bergabung dengannya di Pulau Jawa. Di antaranya adalah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Ibrahim As-Samarkandi, Raja Chermin serta rombongan, Raden Rahmat, Raden Santri, Burereh, dan lain-lain.
Salah satu rombongan ini tiba di Brunei dan menetap di sana, yaitu Syarif Ali. Sedangkan dari rombongan ini yang menetap di Filipina Selatan (Sulu dan Mindanau) adalah Syarif Kebungsuan, Syarif Aulia, dan lain-lain. Rombongan ini datang dari Pakistan dan India dan merupakan keturunan dari Amir Abdul Malik Al-Azhmat Khan, yang jika diteruskan akan sampai kepada Sayyidina Ahmad al-Muhajir bin Isa di Hadlramaut.

3. Gelombang ketiga, diperkirakan pada abad ke-9 Hijriyyah/abad ke-16 Masehi. Rombongan ini adalah ulama Arab dari Tarim, Hadramaut. Mereka ini adalah keturunan dari Muhammad Shahib Mirbath. Rombongan ini terdiri lebih dari 45 orang pendakwah yang turun, mengajar dan menetap di daerah-daerah seperti Aceh, Riau, Serdang, Jambi, Palembang, Pontianak, Kubu, Ambawang, Kalimantan Barat, Dan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Ternate, Bali, Sumba, Timor, dan lain-lain. Mereka datang bergelombang dalam jumlah kecil 2 dan 3 orang dan kadang-kadang sampai 5 orang.
Jalur dakwah Islam kebelahan dunia timur mengikuti jalur perdagangan yang ada. Garis besar perjalanan para da’i ini ialah:
Bashrah/Syiraz/Tarim  Gujarat/Pantai Barat Malabar  Pantai Timur India  Kepulauan Andaman dan Nikobar  Patani/Thailand  Malaysia  Indonesia.
Di Indonesia terpecah menjadi tiga jalur:
a. Jalur utara yaitu: Aceh  Riau  Palembang  Campa/IndoChina  China.
b. Jalur tengah yaitu: Aceh  Riau  Palembang  Kalimantan Barat  Kalimantan Utara/ Brunai/ Serawak  Kepulauan Sulu  Kepulauan Mindanau  Ternate/ Kepulauan Maluku.
c. Jalur Selatan yaitu: Aceh Riau Palembang Banten Gresik/ Tuban (Jawa).
Walaupun perjalanan dakwah para ulama mengikuti jalur perdagangan, tidak berarti bahwa mereka adalah pedagang biasa sebagaimana yang sering kita dengar. Tetapi mereka adalah benar-benar ulama Islam yang alim (pandai) yang mengerahkan segala kemampuannya/ ilmunya untuk mendidik orang untuk menjadi orang Islam.
***



Ikhtitam

S
ejak kemunculannya, Islam tak pernah berhenti memainkan perannya memerangi kebathilan dan kemungkaran yang dengan segenap cara dan tipu muslihatnya ingin menghancurkan kebenaran akidah dan ajaran islam. seiring dengan besarnya pengaruh islam pada masyarakat dunia di masa sekarang, tantangan-tantangan yang ada tidak semakit surut, justru malah semakin canggih dan bervariasi sehingga dapat menimbulkan dampak global terhadap kondisi keimanan ummat islam di dunia. Bentuk tantangan yang diakctori oleh musuh-musuh islam tersebut sudah di desains sedemikian rupa dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi modern serta kebijakan politik global sehingga kekuatannya sulit untuk di cegah oleh ummat Islam. Adanya infasi militer dan embargo ekonomi di Negara-negara yang memiliki basis islam yang kuat, stigma islam sebagai agama teroris. Pembuatan karikatur sebagai bentuk pelecehan terhadap nabi Muhammad dan media global adalah sebagian contoh tantangan modern yang harus kita antisipasi dan cegah. Belum lagi keterlibatan tokoh-tokoh islam yang diberi beasiswa dan diberi imbalan uang banyak serta dididik oleh musuh-musuh islam, zionis international untuk memasarkan ide-ide mereka dengan berkedok globalisasi dan kebebasan berfikir kaum orentalis untuk merusak identitas islam yang murni. Sebagai akibatnya munculah aliran-aliran sesat dalam islam, perpecahan di dalam ummat, serta lunturnya al-tsaqofah al-islamiyyah yang merupakan kekuatan islam.
Melihat begitu gencar dan besarnya tantangan tersebut, maka perlu adanya perhatian khusus dan cara untuk menghadapinya, diantaranya:
1. Membangun mental individu dan masyarakat islam secara benar dan komprehensif.
2. Integralitas pembangunan dalam masyarakat islam. Di mana kita harus menjauhi perselisihan dan sikap yang dapat menimbulkan kehancuran, dan dalam waktu yang sama harus tersus melakukan upaya pembangunan.
3. Menjalankan peran kita dalam perang pemikiran (ghozwul fikri) yang bersifat positif. Upaya ini bertujuan untuk mengenalkan hakekat islam pada orang lain, sehingga islam terbebas dari penyesatan orientalis dan oksidentalis.
4. Pembangunan ekonomi yang kuat untuk mengentaskan masyarakat Islam dari kemiskinan dan keterbelakangan.
5. Menanamkan kepercayaan diri pada ummat islam dan memberi pencerahan tentang tujuan hidup, cara untuk merealisasikan keinginan, menjaga kehormatan dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang menjadikannya hidup hina dan tidak dihargai.
6. Merealisasikan kesatuan ummat tanpa memandang ras dan suku, serta tidak melebih-lebihkan antara satu dan lainnya kecuali atas dasar ketaqwaan.
7. Membuang jauh dampak negatif dari tantangan-tantangan tersebut dan mengembalikannya kepada syari’at dan petunjuk allah SWT .
8. Melestarikan budaya dan kultur Ahlussunah wal- Jamaah.
Ciri-ciri spesifik yang menonjol dan dipertahankan Ahlussunnah wal-Jama’ah adalah banyak sekali. Sehingga ciri-ciri tersebut menjadi tanda khusus yang membedakan Ahlussunnah dan lainnya.
Namun sebelum sampai pada penjabaran budaya Ahlussunnah, perlu sekali diketahui bentuk-bentuk tradisi masyarakat yang tidak mencerminkan budaya Ahlussunnah, agar dihindari oleh warga Ahlussunnah. Di antarnya adalah:
1. Mengagung-agungkan berbagai budaya dan kesenian yang munkar, seperti sedekah bumi, sedekah laut, seni musik, seni rupa, wayang, kethoprak, ludruk, sinden, seni tari, dsb.
2. Mencurahkan segala daya dan upaya hanya untuk mengkaji pengetahuan ilmu umum sampai menelantarkan pendidikan agama yang merupakan bekal untuk meraih kesejahteraan dunia akhirat.
3. Semaraknya Musabaqoh Tilawatil Qur’an dengan menekankan model irama yang menghilangkan ketajwidan al-Qur’an dan at-Tadabbur. Dan celaka lagi musabaqoh tersebut dijadikan sebagai sarana untuk ikhtilath bainar rijaal wan nisaa’, sebagai ajang menampilkan alunan suara wanita.
4. Ditinggalkannya pelatihan diri dan perlombaan yang mengarah pada persiapan membela agama dan negara, seperti latihan naik kuda, memanah (munadlolah) dan lain-lain.
5. Terlalu menghabiskan waktu untuk memperhatikan perlombaan yang sifatnya hanya gerak badan saja dan hura-hura, sampai mengenaympingkan urusan sholat, seperti sepak bola dan lain-lain.
Sedangkan budaya yang merupakan ciri khas Ahlussunnah adalah:
1. Meramaikan Bulan Suci Romadlon Dengan Pengkajian Kitab-Kitab Hadits, Tafsir Maupun Lainnya Serta Bertadarus Al-Qur’an Dan Sholat Tarawih.
2. Membudayakan halal-bihalal sebagai ajang silaturrahmi antar kerabat, saudara,sesama muslim, selama tidak terjadi kemaksiatan, seperti ikhtilath bainal rijal wan nisa’, salam-salaman antara laki-laki dan perempuan yang tidak mahram, nyanyi-nyanyian, dll.
3. Menjalankan qunut subuh meskipun masih terdapat khilafiyyah antara para ulama dalam masalah tersebut.
4. Menempatkan putra-putri sunniyyin di pondok-pondok pesantren maupun madrasah diniyyah untuk mengkaji dan menghidupkan ilmu agama.
5. Adanya beberapa thoriqoh demi taqorrub ilalloh, namun dengan syarat tidak terjadi ikhtilath antara lelaki dan perempuan atau fanatik berlebihan.
6. Memperhatikan jama’ah sholat fardlu di Masjid dan surau-surau pada awwal waktu, disetai dengan ikhlas serta khusyu’ dalam menjalankanya.
7. Ziarah kubur Auliya’ dengan bertawassul dengan tanpa adanya hal-hal munkar, Tahlilan, Berzanjenan dan manaqiban, namun dengan syarat tidak berlebihan dalam I’tiqodnya pada syaikh Abdul Qodir, seperti membaca dengan serentak “Syaikh Abdul Qodir Waliyulloh” setelah membaca dua kalimat Syahadat. Dan amalan-amalan di atas tidaklah budaya Syi’ah, sebab ziarahnya orang syi’ah tidak memakai bacaan ayat-ayat al-Qur’an, juga tidak membaca tahlil tasbih tahmid, bisanya cuma memberi kata-kata pujaan berlebihan pada Imam-imam mereka.
8. Menyantuni anak yatim, faqir miskin maupun para janda yang punya anak banyak, serta melindungi mereka dari penindasan.
9. Bagi alumni pesantren hendaknya sering sowan kepada gurunya untuk konsultasi dengan memohon petunjuk di dalam menjalankan dakwahnya. Demikian pula bagi para kiainya hendaknya mengunjungi/ mengecek mereka, apakah benar-benar sudah melaksanakan tugasnya dengan baik atau belum.
10. Takbiran pada malam hari raya dengan tanpa diikuti penabuhan beduk. Sebab mengiringi dzikrulloh dengan tabuhan adalah bid’ah. Apalagi diiringi dengan aalatul malaahi.
11. Mempermudah urusan Haji dan Umroh sehingga tidak menimbulkan keresahan dikalangan kaum Muslimin.
12. Mengadakan bahtsul masa’il dengan dihadiri tokoh yang benar-benar ahli dalam bidang agama. Mengamalkan ru’yatul hilal untuk mengetahui awwal Romadlon dan Syawwal.
13. Mendirikan paguyuban keluarga demi mempererat persaudaraan.
14. Menghafalkan al-Qur’an dengan memperhatikan tajwidnya, dan lain sebagainya.
Akhirnya, bagi segenap masyarakat muslim secara individu dan organisasi, baik dari kalangan pesantren, kyai-kyai kampung atau kota, pemerintah sipil atau militer, partai-partai islam, ormas-ormas islam dan pejuang-pejuang islam lainnya, tua-muda, agar mempertahankan Aqidah dan ajaran-ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dan melestarikannya serta meningkatkan kualitas keilmuan dan pengalamannya. Bersama-sama memberantas aliran-aliran sesat seperti Syi’ah yang berani mengkafirkan para shahabat nabi. Ahmadiyyah yang mengatakan adanya nabi sesudah nabi Muhammad SAW, Jaringan Islam Liberal (JIL), yang mengatakan semua agama itu benar dan bersama-sama masuk surga, gerkan-gerakan ekstrim dan aliran-aliran sesat lainnya yang ingin merubah dan mengacak-ngacak syari’at dan ajaran islam yang prinsipil. Serta menggalang kekuatan dan kesatuan ahlussunnah untuk merealisasikan berlakunya syari’at islam di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melupakan perbedaan furu’iyyah demi kejayaan kita bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara menuju tatanan kehidupan yang diridloi Allah ta’ala, damai sejahtera di dunia dan akhirat bersama syari’at Allah, Rasulullah SAW dan para Shahabatnya, Ahlul Bait dan para pewarisnya, Ulama’, Syuhada’ pendahulu kita yang telah ikut andil besar dalam mewujudkan kemerdekaan negara kita, dengan semangat juang tinggi mencapai cita-cita luhur “Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur”.
Penerapan syari'at Islam merupakan solusi dari segala persoalan kehidupan. Dengan syari'at Islam, Islam akan lebih berwibawa di mata dunia international, sehingga aksi-aksi yang menyudutkan dan meremehkan serta munculnya aliran-aliran sesat yang menjerumuskan dan mengobok-ngobok akidah umat Islam yang kesemuanya adalah hasil intervensi Yahudi-Barat tidak akan terjadi lagi kecuali hanya omelan-omelan mulut mereka belaka yang menyakitkan hati umat Islam tidak sampai terjadi adanya tantangan atau penindasan kepada umat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT:
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [التوبة : 32]
"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai."
لَن يَضُرُّوكُمْ إِلاَّ أَذًى وَإِن يُقَاتِلُوكُمْ يُوَلُّوكُمُ الأَدْبَارَ ثُمَّ لاَ يُنصَرُونَ [آل عمران: 111]
"Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat madlarat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, Pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan"

Di Indonesia penerapan hukum yang diadopsi dari Syari’at Islam tidaklah bertentangan dengan keutuhan NKRI dan Pancasila. Jika seluruh komponen umat Islam memperjuangkannya dengan sepenuh hati, bisa dipastikan penerapan Syari'at Islam akan segera terealisasi. Dengan memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yakni ‘ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ ditetapkan dalam Konstitusi, maka bangsa Indonesia memiliki landasan konstitusional yang kuat untuk menerapkan Syari'at Islam dalam seluruh aspek kehidupan bangsa. Kendalanya adalah masih banyak umat Islam, bahkan dari tokoh-tokohnya yang menjadi Islamophobia (alergi terhadap Syari'at Islam), sehingga hukum Islam cuma dibuat bahan kajian, bukan untuk diamalkan. Mereka menentang ditegaskannya pelaksanaan Syari'at Islam dalam konstitusi.
Tanpa Syari’at, umat Islam akan terus menderita dalam cengkeraman penjajah Zionis Internasional. Syariat Islam akan mengatur kehidupan individu, kemasyarakatan berbangsa dan bernegara, dan akan menyatukan kembali dunia Islam yang terpecah belah.
Semoga bermanfaat.

Sarang, 15 Januari 2011 M. 9 Shofar 1432 H.



Daftar Pustaka

 Al-Qur’anul Karim
 Dr. Muhammad Ra’fat Sa’id, Al-Islam Fi Muwajahatit Tahadiyat.
 Prof. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1981.
 Drs. H. Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya.
 A.S. Harahap, Sejarah Penyiaran Islam di Asia Tenggara, Toko Buku Islamiyah, cetakan kedua, Medan 1951.
 Prof. A. Hasjmy, op. Cit.
 Seminar Internasional tentang Islam di Asia Tenggara, Lembaga penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1986.
 Dada Meuraxa, Sejarah Masuknya Islam di Bandar Barus, Sumatra Utara, Sastrawan, Medan, 1973.
 Drs. M. Dien Majid, Selintas Tentang Keberadaan Islam di Bumi Sriwijaya, Ulama Daerah Tk. I Sumatra Selatan, Palembang, 1984.
 Salman Aly, Sejarah Kesultanan Palembang, Sekretariat Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatra Selatan, Palembang, 1984.
 Prof. Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.
 AF. Martadji dan Moh. Erfan, Riwayat S. Malik Ibrahim dan Puteri Retno Sari di Kuburan Panjang, Panitia Pembangunan Kubur Panjang, Gresik, 1958.
 Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus, 1979.
 Prof. DR. Hamka, op. Cit,
 www.mail-archive.com
 J.U. Lontaan, Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat di Kalimantan Barat, edisi ke-1, Pemda Tingkat 1 Kalbar, Bumi Restu, Jakarta, 1975.
 KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1981.
 Drs. Bambang Suwondo dan kawan-kawan, Sejarah Daerah Kalimantan Timur, Depdikbud, Jakarta, 1978.
 Drs. Bambang Suwondo dkk, Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Depdikbud, Jakarta, 1984.
 www.panjalu.multiply.com
 tourwalisongo.multiply.com
 d0w3r.blogspot.com





Judul Buku:
Sekilas Masuknya Islam di Nusantara

Penulis:
KH. Muhammad Najih Maimoen

Cetakan Pertama:
15 Januari 2011 M. / 9 Shofar 1432 H.

Penerbit:
Perc. Al-Anwar I
Ribath Darusshohihain PP. Al-Anwar
Karangmangu Sarang Rembang
Jawa Tengah


KH. Muhammad Najih Maimoen




S E K I L A S
Masuknya Islam di Nusantara

Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar