Dalam studi-studi al quran, (sesuai pengamatan subyektif saya) kita sering terjebak dalam lingkaran episteme-episteme Ilahiyyat. Misalkan, ketika kita memulai studi ini, kita langsung dihadapkan pada devinisi al-Quran yang "entah kenapa" sering mengajak penelaahnya untuk melangkah pada dimensi Ilahiyyat ini. Saya, sebagai contoh, sejak kecil sudah dikasih pelajaran Tafsir (setidak-tidaknya Jalalain), tapi "entah kenapa" saya tidak begitu terusik untuk menanyakan, misalnya, pada ardhiyyah budaya bagaimanakah al-Quran itu diturunkan? (dua baris kata dalam tanda petik bisa kita diskusikan bersama).
Memang dimensi Ilahiyyat ini adalah suatu keniscayaan, namun persoalannya jadi lain ketika akibatnya, dimensi kemanusiaan al-Quran terlupakan, atau setidak-tidaknya amat ketinggalan. Ini lain tentunya dengan metodologi yang dibangun oleh para orientalis untuk studi-studi al-Quran, di mana dimensi kemanusiaan dalam studi-studi mereka seringkali mendapatkan porsi yang cukup. Karen Armstrong misalnya, ketika menyinggung soal i'jazul Quran, ia tidak dipusingkan dengan nilai sastra-nya yang begitu tinggi, juga tidak oleh berapa jumlah kalimatnya yang berlawanan, ia hanya mencukupkan bahwa al-Quran dalam beberapa abad, sejak diturunkannya hingga sekarang tetap mampu menjadi sumber inspirasi kaum Muslimin.
(baca Selengkapnya...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar