الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله الكريم ونبيه محمد الأمين وعلى آله الطاهرين وأصحابه الكرام الطيبين، أما بعد:
Muqoddimah
Nahdlatul Ulama didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan pengikutnya. Sebagai organisasi sosial keagamaan tentunya mempunyai landasan dan pegangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Qonun Asasi Jam’iyah Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari berupa keharusan mengikuti Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam berakidah, mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam beribadah, sedangkan dalam bertashawwuf mengikuti al-Imam al-Junaidi dan al-Imam al-Ghozali.
Rumusan aswaja sebagai faham yang mengikuti al-Asy’ari dan al-Maturidi (akidah) empat madzhab dalam bidang fiqh dan mengkuti Imam Ghozali dan Imam Junaidi dalam bertashawwuf baru dikemukakan oleh KH. Bisyri Musthofa (Rembang), yang konsep Aswajanya diambil dari risalah al-Kawakib al-Lama’ah, karya Syaikh Abu Fadlol Senori Tuban yang kemudian disahkan dalam Muktamar NU di Solo tahun 1962 dan difinalkan oleh para kiai besar NU dengan tim editornya KH. Bisyri Samsuri (Denanyar, Jombang) dan KH. Turaichan Ajhuri (Kudus). Yang akhirnya Qonun Asasi tersebut merupakan landasan aswaja yang kokoh yang merupakan ciri khas utama warga nahdliyin.
Ahlussunnah wal jamaah sebagai al-Firqoh al-Najiyyah tidaklah perlu diragukan lagi. Ini bukan berarti memaksakan keyakinan bahwa selain Ahlussunnah wal jamaah adalah golongan yang sesat. Tetapi berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, hanya Ahlussunnah yang benar-benar dapat merealisasikan maa ana ‘alaihi wa ashhaabii -apa yang digariskan oleh Nabi dan para Shahabatnya-.
إن النبي صلى اللـه عليه وسلم لما ذكر افتراق أمته بعده ثلاثا وسبعين فرقة وأخبر أن فرقة واحدة منها ناجية سئل عن الفرقة الناجية وعن صفتها, فأشار إلى الذين هم ما عليه هو وأصحابه. ولسنا نجد اليوم من فرق الأمة من هم على موافقة الصحابة رضي اللـه عنهم غير أهل السنة والجماعة من فقهاء الأمة ومتكلميهم الصفاتية, دون الرافضة والقدرية والخوارج والجهمية والنجارية والمشبهة والغلاة والحلولية. (الفرق بين الفرق:صـ: 244).
Bukti konkrit atas kebenaran pernyataan di atas adalah: Hanya Ahlussunnah yang bersedia menghormati dan menjunjung tinggi pribadi para Shahabat Nabi. Sedangkan selain Ahlussunnah justru mengutuk dan mengkafirkannya, seperti Syi’ah Iran.
Merekalah golongan (Firqoh) yang benar-benar mendapat jaminan keridloan dari Allah SWT yakni sebagai al-Firqoh al-Najiyyah. dalam al-Qur’an al-Karim, Allah SWT telah menyiratkan golongan tersebut;
لِلْفُقَرَاء الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ * وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَالَّذِينَ جَاؤُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ (الحشر: 10-8).
Sementara itu disisi lain, banyaknya generasi muda NU yang melakukan study, baik di dalam maupun di luar negeri dengan menekuni kitab-kitab atau buku-buku karangan orientalis, filsafat, perbandingan agama-agama dan teologi dari berbagai aliran dengan tanpa mempunyai pemahaman kuat terhadap ilmu-ilmu yang telah diwariskan oleh generasi salafussholih, juga karena adanya faktor untuk mencapai berbagai kepentingan pribadi, golongan, seringnya kumpul dengan orang-orang kafir, ahli bid’ah, Syi’ah, komunis, sekuler, liberal, atau bahkan menjalin kerjasama dengan musuh-musuh Islam, akhirnya mereka mempermasalahkan bahkan mengkritik keberadaan Qonun Asasi yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari tersebut dengan mengatakan bahwa kelahiran Ahlussunnah wal jamaah dilatarbelakangi oleh banyaknya firqoh-firqoh yang timbul karena situasi politik, menghimbau agar Ahlussunnah wal jamaah itu tidak dinamakan madzhab, tapi cukup sebagai Akidah, ingin menghapus madzahibul arba’ah dari NU, dan juga mengatakan bahwa Qonun Asasi mbah Hasyim itu bikin risih dan memalukan dengan mengatakan bahwa definisi Aswaja yang tercantum dalam Qonun Asasi tersebut bersifat ‘manipulatif dan monopoli’, sehingga ini berdampak negatif bahkan bisa menggoyahkan dan meruntuhkan ajaran Aswaja yang merupakan pilar eksistensi NU. Itu artinya akan mendorong terjadinya perpindahan warga NU dari ajaran agama yang selama ini dianutnya ke ajaran dan pemahaman keagamaan lainnya utamanya Syi’ah, Wahhabi, liberal, sekuler, dan plural.
Kalau ini dibiarkan, dan bahkan orang yang telah mengkritik, menghina dan mempermasalahkan Qonun Asasi yang merupakan warisan dari mbah Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama sepuh NU lainnya, mengatakan imam Abu Hanifah Syi’ah dalam politik, imam Syafi’i Syi’ah karena termasuk Bani Muttholib (Ahlul Bait) dan juga berpolitik Syi’ah bahkan berani mengkritik nabi dan shahabatnya, dengan tanpa merasa berdosa dan salah bahkan malah merasa bangga, merasa alim, sok kritis duduk manis di kursi kepengurusan NU, maka lambat laun NU akan tinggal nama, di isi oleh orang-orang yang tidak mempunyai ghiroh islamiyyah, bahkan sering memojokkan islam, tidak mempunyai kapasitas ilmu keagamaan, Syi’ah, liberal, sekuler, dan akhirnya rapuh tidak lagi sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah, jam’iyah yang memposisikan ulama dan kiai yang merupakan cikal-bakal berdirinya NU pada posisi yang istimewa karena ulama sebagai pewaris dan mata rantai penyebar agama Islam yang dibawa Rasulullah e. Kalau sudah begini mestinya kita harus mempertanyakan kepada para pengurus NU,”kepareng matur, mau dibawa ke mana NU ini mbah yai… kang Said, mas Masdar…?”
Definisi Ahlussunnah wal jamaah
Mengenal dan membicarakan tentang Ahlussunnah Wal Jamaah, maka tidak bisa lepas dan selalu ada kaitannya dengan hadits Nabi e yang menerangkan bahwa umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً. (رواه أبو داود)
Ketika beliau ditanya para shahabat, siapakah mereka yang akan selamat dan masuk surga, Rasulullah e menjawabnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ.... وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه الترمذي)
“Mereka adalah orang-orang yang mengikuti ajaranku dan prilaku para shahabatku (semasa hidupku)”
Fakta sejarah kemudian membenarkan hadits shohih di atas yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang agaknya kurang menarik bagi sebagian orang, termasuk kalangan tokoh muda NU. Seperti selalu di ulang-ulang oleh para sejarawan, bahwa pada paruh abad pertama hijriyah telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam.
Pertama, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, di mana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini yang terjadi dua kali, di kenal dengan sebutan al-fitnatul kubro “cobaan besar”.
Kedua, adalah masuknya bangsa Persi dan sekitarnya ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing.
Menurut mayoritas ulama, sejak generasi salafussholih, Ahlussunnah wal Jamaah adalah para pengikut thariqoh atau manhaj (methode keyakinan dan amaliyah) yang ditempuh oleh nabi Muhammad e, para shahabat dan selalu berada dalam kelompok mayoritas dari umat terdahulu (salafussholih).
Perlu diketahui, bahwa dalam perjalanan sejarah Islam, tidak semua aliran yang ada dalam Islam mengklaim dirinya atau diakui sebagai pengikut Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam perjalanan sejarah, hanya dua aliran yang mengklaim dirinya sebagai pengikut dan mewakili madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu aliran yang mengikuti madzhab al-Asya’ri dan al-Maturidi dan aliran yang mengikuti paradigma Ibnu Taimiyah al-Harrani. Kedua aliran inilah yang mengklaim dirinya masih mengikuti dan mewakili Ahlussunnah Wal Jamaah, sementara kelompok yang lain divonis sebagai kelompok ahli bidah. Meskipun demikian, dalam sejarah konflik pemikiran dan ideologis yang terjadi antara aliran yang mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi di satu pihak, dan aliran yang mengikuti paradigma pemikiran Ibnu Taimiyah al Harrani di pihak lainnya, selalu dimenangkan oleh aliran yang pertama, yaitu aliran yang mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Dari sini berkembang sebuah pertanyaan, adakah dalil-dalil dalam al-Qur’an dan sunnah yang mengisyaratkan bahwa Madzhab al-asy’ari Dan al-Maturidi, atau madzhab Ibnu Taimiyah, yang layak mewakili aliran Ahlussunnah Wal Jamaah atau al-Firqoh an-Najiyah?
Ahlussunnah wal Jamaah dan Madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi
Menurut mayoritas ulama, madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah golongan yang memerankan Ahlussunnah Wal jamaah. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafidh al-Zabidi mengatakan:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِمْ الأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيّةُ.
“Apabila Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksudkan adalah pengikut madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.”[1]
Pernyataan al-Zabidi tersebut dan pernyataan serupa dari mayoritas ulama mengilustrasikan bahwa dalam pandangan umum para ulama, istilah Ahlussunnah wal jamaah menjadi nama bagi madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Hal tersebut bukan berarti menafikan sebuah realita, tentang adanya kelompok lain, meskipun minoritas, yang juga mengklaim termasuk golongan Ahlussunnah wal jamaah, yaitu kelompok yang mengikuti paradigma pemikiran Syaikh Ibnu Taimiyah.
Dalil Madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi
Kajian berikut ini akan mencoba memaparkan dalil-dalil yang bersifat umum dari al-Qur’an dan sunnah yang membuktikan bahwa madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi layak mewakili golongan Ahlussunnah wal jamaah.
Ø Dalil Pertama, Mengikuti Mainstream al-Jamaah
Sebagian hadits-hadits tentang perpecahan umat menjelaskan bahwa golongan yang selamat ketika umat Islam terpecah belah menjadi beragam golongan adalah golongan al-Jamaah. Hal ini sesuai dengan hadits berikut:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِينَا فَقَالَ أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ. (رواه أبو داود).
“Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA bahwa Rasulullah e bersabda: “Sesungguhnya kaum sebelum kalian dari pengikut Ahli Kitab terpecah menjadi 72 golongan, dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan akan masuk neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu golongan al-Jama’ah.”
Hadits di atas memberikan penjelasan bahwa golongan yang selamat ketika kaum muslimin terpecah menjadi 73 golongan adalah golongan al-Jamaah. Dalam menafsiri al-Jamaah para ulama berbeda pendapat. Namun perbedaan mereka, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif, di mana pendapat yang satu manafikan pendapat yang lain. Akan tetapi, perbedaan tersebut merupakan perbedaan keragaman, di mana pendapat yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Perbedaan pendapat kami paparkan di bawah ini:
1. Disebut aliran al-Jama’ah.
Kata al-Jamaah diartikan sebagai golongan mayoritas muslimin. Pengertian demikian sesuai dengan realita bahwa semua kaum muslimin menamakan pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi sebagai Ahlussunnah wal jamaah.
ومنها ما جاء في رواية أخرى أنه سئل عن الفرقة الناجية فقال الجماعة وهذه صفة مختصة بنا لأن جميع الخاص والعام من أهل الفرق المختلفة يسمونهم أهل السنة والجماعة وكيف يتناول هذا الاسم الخوارج وهم لا يرون الجماعة والروافض وهم لا يرون الجماعة والمعتزلة وهم لا يرون صحة الإجماع وكيف تليق بهم هذه الصفة التي ذكرها الرسول صلى الله عليه وسلم. (التبصير في الدين للإمام أبو المظفر الإسفراييني)
“Diantara ciri khas ahlussunnah wal jamaah sebagaimana diterangkan dalam riwayat lain, bahwa Nabi e pernah ditanya tentang kelompok yang selamat, beliau menjawab: “Kelompok yang selamat yaitu al-Jama’ah”. Ini adalah identitas khusus pada kami (Madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi), karena semua orang yang alim dan awam dari berbagai golongan menamakan mereka dengan nama Ahlussunnah wal jamaah. Nama al-Jama’ah tersebut tidak mencakup Khawarij, karena mereka tidak berpandangan perlunyamenjaga kebersamaan. Tidak juga mencakup Syi’ah Rafidlah, karena mereka tidak berpandangan perlunya menjaga kebersamaan, dan tidak pula mencakup golongan Mu’tazilah, karena mereka tidak mengakui kebenaran ijma’ sebagai dalil. Sifat kolektifitas yang disebutkan oleh Rasul e ini tidak layak bagi mereka.”
Pengakuan bahwa Madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi termasuk Ahlussunnah wal jamaah juga diakui oleh mayoritas ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
2. Mengikuti Ijma’ Ulama.
Rasulullah e bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ. (رواه الترمذي)
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah e bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jama’ah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama’ah, maka ia mengucilkan dirinya ke neraka.”
Sikap seperti ini sesuai realita bahwa dalam menetapkan hukum Islam baik Maturidiyah maupun Asy’ariyah menggunakan dalil al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan aliran selainnya banyak yang menolak sebagian dari dalil-dalil tersebut. Diantaranya adalah Muhammad Abduh.
Pemikir dari Mesir itu dalam beberapa pendapatnya banyak yang keluar dari mainstream al-Qur’an. Dia pernah menghalalkan mengambil bunga dalam transaksi ribawi dengan prosentase tertentu, membolehkan makan daging hewan yang disembelih oleh orang Kristen dengan cara apapun dalam penyembelihannya dan membolehkan membuat patung dan memeliharanya dan tidak percaya dengan adanya jin. Dalam menafsirkan teks-teks al-Qur’an dan sunnah, dia juga seringkali tidak mengikuti metodologi tafsir yang disepakati oleh ulama salaf dan khalaf seperti mengatakan bahwa “Thoiron Ababil” itu adalah penyakit cacar bukan burung-burung.
3. Memelihara Kebersamaan dan Kolektifitas.
Firman Allah SWT:
إِنَّ الذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍ إنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْن (الأنعام: 159)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamaNya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 159)
Ayat diatas memberikan pengertian bahwa orang-orang yang membuat perpecahan dalam agama dan menciptakan golongan-golongan sendiri maka mereka telah meninggalkan jalan yang benar.
Terkait dengan pengertian ayat tersebut, kenyataan yang ada bahwa Ahlussunnah selalu menjaga kebersamaan dan kolektifitas. Perbedaan yang ada tidak sampai menimbulkan perpecahan yang menyebabkan mereka menjadi beberapa golongan, apalagi sampai mengkafirkan, membid’ahkan dan memfasiqkan. Hal inilah yang membedakan Ahlussunnah wal jamaah dengan aliran-aliran sempalan lainnya.
Dalam hal ini al-Imam Abdul Qahir al-Baghdadi dalam kitab al-Farq bain al-Firoq mengatakan;
الفصل الخامس: في بيان عصمة الله أهل السنة عن تكفير بعضهم بعضا. أهل السنة لا يكفّر بعضهم بعضا، وليس بينهم خلاف يوجب التبري والتكفير، فهم إذن أهل الجماعة القائمون بالحق، والله تعالى يحفظ الحق وأهله، فلا يقعون في تنابذ وتناقض، وليس فريق من فرق المخالفين إلا وفيهم تكفير بعضهم لبعض، وتبري بعضهم من بعض كالخوارج والروافض والقدرية حتى اجتمع سبعة منهم في مجلس واحد فافترقوا عن تكفير بعضهم بعضا وكانوا بمنزلة اليهود والنصارى حين كفّر بعضهم بعضا حتى قالت اليهود ليست النصارى على شيء وقالت النصارى ليست اليهود على شيء.
“Bab Lima, menerangkan tentang penjagaan Allah terhadap Ahlussunnah wal jamaah dan dari saling mengkafirkan antara sesama mereka. Ahlussunnah wal jamaah tidak saling mengkafirkan antara sesama mereka. Di antara mereka tidak ada perselisihan pendapat yang membawa pada pemutusan hubungan dan pengkafiran. Oleh karena itu, mereka memang golongan al-Jama’ah (selalu menjaga kebersamaan dan keharomonisan) yang melaksanakan kebenaran. Allah selalu menjaga kebenaran dan pengikutnya, sehingga mereka tidak terjerumus dalam ketidakharmonisan dan pertentangan. Dan tidak ada satu golongan diantara golongan-golongan sempalan, kecuali diantara mereka terjadi sikap saling mengkafirkan dan memutus hubungan, seperti aliran Khawarij, Syi’ah dan Qodariyah (Mu’tazilah), sehingga pernah suatu ketika tujuh orang dari mereka berkumpul dalam satu majlis, lalu mereka berbeda pendapat dan mereka berpisah dengan saling mengkafirkan antara yang satu dengan yang lain. Mereka tidak ubahnya orang Yahudi dan Nasrani pada saat saling mengkafirkan. Orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan’, dan orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi tidak mempunyai satu pegangan’.
Sikap saling mengkafirkan dan membid’ahkan dalam satu aliran telah menjadi trend di kalangan intern ulama Wahhabi. Dahulu orang Wahhabi membid’ahkan, mengkufurkan dan mengatakan syirik terhadap kaum Muslimin diluar golongan mereka. Namun, kini mereka menyebarkan bid’ah dan kafir terhadap ulama sesama Wahhabi. Misalnya, Abdul Muhsin al-Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Al-Albani juga menvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang mengkritiknya sebagai musuh tauhid dan Sunnah.
Realita perpecahan tersebut menjadi bukti bahwa Wahhabi memang bukan pengikut Ahlussunnah wal jamaah.
4. Golongan Mayoritas (al-Saad al-A’dzom).
Artinya, bahwa Ahlussunnah wal jamaah adalah faham yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syekh Abdullah al-Harari dalam kitab Idzhar al-Akidah al-Sunniyah bi Syarh al-Akidah al-Thohawiyah:
ليعلم أن أهل السنة هم جمهور الأمة المحمدية وهم الصحابة ومن تبعهم في المعتقد أي في أصول الاعتقاد......... والجماعة هم السواد الأعظم.
“Hendaklah diketahui bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad e, mereka adalah para shahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip akidah……sedangkan al-Jama’ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad al-a’dzom) kaum muslimin.”
Pengertian bahwa al-Jamaah adalah al-sawad al-a’dzom seiring dengan hadits Nabi e:
عن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. (رواه ابن ماجه)
“Dari Anas bin Malik berkata: “Aku mendengar Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.”
Hadits di atas memberikan pengertian bahwa orang yang selamat hanyalah orang yang selalu mengikuti ajaran dan mainstream mayoritas kaum muslimin dalam berakidah dan amal shaleh. Disamping itu, hadits tersebut juga menunjukkan arti keharusan mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi, karena dalam realita yang ada ajarannya diikuti oleh mayoritas kaum muslimin di dunia, dari dulu hingga kini. Dan keluar dari madzhab ini berarti keluar dari mainstream mayoritas kaum muslimin.
Berarti Hadits ini sangat tidak tepat jika diterapkan terhadap aliran-aliran sempalan, seperti Syiah Imamiyah, Syiah Alawiyah di Syiria, Wahhabi, MTA, Inkar Sunnah, LDII, Darul Arqom, dan aliran sesat lainnya, apalagi Ahmadiyah dan Islam Liberal yang sudah masuk dalam kategori Kufur pemikiran-pemikirannya.
Ø Dalil Kedua, Mengikuti Ajaran Nabi e dan Shahabat.
Sabda Nabi e:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (سنن الترمذي).
“Dari Abdillah bin Amr ra. berkata: Rasulullah e bersabda: Sesungguh nya umat Bani Israil terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yang akan selamat. Para shahabat bertanya, siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: ‘golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran Shahabatku.’ (HR. At-Tirmidzi)
Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa kelompok yang selamat hanyalah kelompok yang konsisten dan mengikuti ajaran Nabi e dan ajaran Shahabatnya. Paradigma tersebut sesuai dengan madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi yang dalam segala hal selalu berupaya mengikuti ajaran Nabi e dan ajaran shahabatnya.
Ø Dalil ketiga, Pengayom dan Rujukan Umat dalam Urusan Agama.
Hadrotus Syekh Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jamaah menulis;
قال الشهاب الخفاجي رحمه الله تعالى في نسيم الرياض: والفرقة الناجية هم أهل السنة والجماعة، وفي حاشية الشنواني على مختصر ابن أبي جمرة: هم أبو الحسن الأشعري وجماعته أهل السنة وأئمة العلماء لأن الله تعالى جعلهم حجة على خلقه وإليهم تفزع العامة في دينهم وهم المعنيون بقوله e: «إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة».
“As-Syihab al-Khofaji berkata dalam kitab ‘Nasim al-Riyadh’, golongan yang selamat adalah Ahlussunnah wal jamaah. Dan dalam catatan pinggir as-Syanwani atas Muhtashor Ibnu Abi Jamroh terdapat keterangan, “mereka adalah Abul Hasan al-Asy’ari dan pengikutnya yang merupakan Ahlussunnah dan pemimpin para ulama, karena Allah swt. menjadikan mereka hujjah atas mahlukNya dan hanya mereka yang menjadi rujukan kaum Muslimin dalam urusan agama, mereka yang dimaksud dengan sabda Nabi e; sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan.”
Penjelasan Hadratussyaikh tersebut seiring dengan hadits shohih berikut ini:
عن إبراهيم العذري t قال: قال رسول الله e: «يحمل هذا العلمَ من كل خلَف عدولُه ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين». (رواه البيهقي).
“Dari Ibrahim al-Udzri ra. dia berkata, Rasulullah bersabda: ‘Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dalam setiap generasi. Mereka akan membersihkan ilmu agama dari distorsi kelompok yang ekstrim, kebohongan mereka yang bermaksud jahat dan penafsiran mereka yang bodoh.”(HR. Al-Baihaqi)
Hadits ini memberikan penjelasan bahwa ajaran agama Islam akan selalu disampaikan dari generasi ke generasi oleh para ulama yang dapat dipercaya, yang selalu membersihkan ajaran agama dari pemalsuan dan kebohongan.
Berkaitan dengan substansi hadits tersebut apabila kita mengkaji sejarah peradaban Islam, maka akan dijumpai bahwa para pakar yang menjadi rujukan kaum muslimin dalam berbagai disiplin ilmu agama hingga kini adalah para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Dasar-Dasar Ahlussunnah wal Jamaah
Prinsip keyakinan yang berhubungan dengan tauhid, syari’at dan lain-lain menurut Ahlussunnah wal Jamaah harus dilandasi dengan dalil dan argumentasi yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ ulama, dan Qiyas. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghozali dalam ar-Risalah al-Ladduniyah;
وأهل النظر في هذا العلم يتمسكون أولا بآيات الله تعالى من القرآن, ثم بأخبار الرسول ثم بالدلائل العقلية والبراهين القياسية.
“Ahli nazhar dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegang dengan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul dan terakhir dengan dalil-dalil rasional dan argumentasi analogis”.[2]
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum fiqh utama dan paling agung, yang merupakan hujjah paling agung antara manusia dan Allah SWT, al-Qur’an juga merupakan tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ (آل عمران: 103)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai”. (QS. Ali Imran:103)
Al-Qur’an adalah pokok dari semua dalil dan argumentasi. Sebagaimana dalam al-Qur’an:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ. (النساء: 59)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Hadits).” (QS. An-Nisa’: 59)
Adapun para ulama terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur’an yang mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi diantaranya adalah:
Ø Al-Imam Abu Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqandi (w. 393 H/ 1002 M), pengarang tafsir Bahrul Ulum
Ø Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi (w. 468 H/ 1076 M) pengarang tafsir al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan asbabunnuzul
Ø Al-Imam al-Hafidh Muhyissunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (433-516 H/ 1041-1122 M) pengarang tafsir Ma’alimuttanzil
Ø Al-Hafidh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Zadul Masir fi Ilmittafsir.
Ø Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib bin Abdurrahman bin Athiyah al-Gharnathi al-Andalusi (481-542 H/ 1088-1148 M) pengarang al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz.
Ø Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Maliki al-Qurthubi (w. 671 H/ 1273 M) pengarang tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an.
Ø Al-Imam Nashiruddin Abu Sa’ad Abdullah bin Umar al-Syairazi al-Baidlawi al-Syafi’I (w. 685 H/ 1286 M) pengarang tafsir Anwaruttanzil wa Asrarutta’wil.
Ø Al-Imam Hafizhuddin Abu al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasafi al-Hanafi (w. 710 H/ 1310 H) pengarang Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil.
Ø Al-Imam Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Khazin al-Baghdadi (678-741 H/ 1279-1340 M) pengarang Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil.
Ø Al-Imam Abu Hayyan Muhammad bin Hayyan al-Andalusi (654-745 H/ 1256-1344 M) pengarang al-Bahr al-Muhith.
Ø Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir al-Dimasyqi (700-774 H/ 1301-1373 M) pengarang Tafsir al-Qur’an al-Adzim.
Ø Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Tafsir al-Jalalain.
Ø Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syirbini (w. 977 H/ 1570 H) pengarang al-Siraj al-Munir.
Ø Al-Imam Abu al-Su’ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-Imadi pengarang Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim.
Ø Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Ujaili al-Syafi’i(w.1204 H/ 1790 M) pengarang al-Futuhat al-Ilahiyah bi Taudlihi Tafsir al-Jalalain bi al-Daqaiq al-Khafiyah.
Ø Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki (1175-1241 H/ 1761-1825 M) pengarang Hasyiah ala Tafsir al-Jalalain.
Al-Hadits
Hadits adalah dalil kedua dalam penetapan akidah-akidah dalam Islam. Hadits yang dapat dijadikan dasar adalah hadits yang perawinya disepakati dapat dipercaya oleh para ulama.
Hadits Nabi berfungsi untuk menjelaskan hukum-hukum al-Qur’an yang bersifat global dan general. Karena syari’at islam diturunkan secara bertahap untuk menunjukkan kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut adalah menjelaskan al-Qur’an yang masih global tersebut. Allah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر: 7)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Al-Hafidh al-Khatib al-Baghdadi mengatakan dalam kitabnya al-Faqih wa al-Mutafaqqih:
لا تثبت الصفة لله بقول صحابي أو تابعي إلا بما صح من الأحاديث النبوية المرفوعة المتفق على توثيق رواتها، فلا يحتج بالضعيف ولا بالمختلف في توثيق رواته حتى لو ورد إسنادٌ فيه مختلف فيه وجاء حديث آخر يعضده فلا يحتج به.
“Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang shahabat atau tabi’in. sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi e yang marfu’, yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha’if dan hadits yang perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu ada hadits yang menguatkannya maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.”
Adapun ulama madzhab al-Asy’ari yang menulis komentar (syarh) terhadap kitab hadits yang terkemuka adalah:
Ø Al-Hafidh Abu Sulaiman al-Khaththabi al-Busti al-Syafi’I, pengarang ma’alim al-Sunan [Syarh Sunan Abi Dawud].
Ø Al-Hafidh Abul al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-Maliki, pengarang kitab al-Muntaqa fi Syarh al-Muwattha’.
Ø Al-Hafidh al-Nawawi al-Syafi’i, pengarang Syarh Shohih Muslim.
Ø Al-Hafidh Taqiyyuddin as-Subki, pengarang Imta’ al-Asma’ bima lil ar-Rasul minal Abna’ wa al-Ahwal wa al-Hafadhah wa al-Mata’.
Ø Al-Hafidh Tajuddin as-Subki, pengarang Jam’ul Jawami’
Ø Al-Hafidh al-‘Iroqi, pengarang Takhrij Ahaditsil Ihya’.
Ø Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqollani al-Syafi’i, pengarang Fath al-Bari Syarh Shohih Bukhori.
Ø Al-Hafidh Syaikh Islam Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Anshari al-Syafi’i, pengarang kitab Syarh Shohih Muslim.
Ø Al-Imam Izzuddin ibn Abdissalam, pengarang Qowaidul Ahkam fi Masholihil Anam
Ø Al-Imam Mulla Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari al-Harawi al-Hanafi, Pengarang kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashobih.
Ijma’ Ulama
Ijma’ adalah konsensus para mujtahid sepeninggal Rasulullah e dari masa ke masa atas satu hukum. Dalil kehujjahan ijma’ ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad e:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ. (رواه الترمذي)
“Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan dan pertolongan Allah akan selalu bersama kelompok umat islam. barangsiapa menyendiri maka ia akan masuk neraka.” (HR. Tirmidzi)
Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaanya) adalah ijma’ ulama yang qoth’i. Dalam konteks ini Imam al-Subki menulis dalam kitabnya Syarh ‘Akidah Ibn al-Hajib:
اعلم أن حكم الجواهر والأعراض كلها الحدوث فإذًا العالم كله حادث، وعلى هذا إجماع المسلمين بل كل الملل، ومن خالف في هذا فهو كافر لمخالفته الإجماع القطعي. اهـ.
“Ketahuilah, sesungguhnya hukum Jauhar dan ‘aradh adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma’ kaum muslimin, bahkan ijma’ seluruh penganut agama (di luar Islam). Barang siapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma’ yang qoth’i.”
Qiyas
Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang sudah jelas ketetapan hukumnya dalam agama yang didasarkan pada illat yang menyatukan dua masalah dalam hukum tersebut. Qiyas yang bisa dibuat hujjah adalah qiyas yang berlandaskan pada nash, ijma’. Allah berfirman:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَارِ. (الحشر: 2)
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2) [3]
Ta’wil dan Permasalahannya.
Dalam al-Qur’an al-Karim Allah SWT telah berfirman:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ. (آل عمران: 7)
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami keriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imron; 7).
Sebagian ulama mengatakan bahwa ta’wil ada dua macam:
1. Hakikat sesuatu dan kejadian yang semestinya.
Dalam firman Allah SWT tentang kisah Nabi Yusuf as:
وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِن قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا
“Dan berkata Yusuf: “Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”. (QS. Yusuf; 100).
Jika yang dikehendaki demikian, maka pada ayat di atas, waqaf-nya adalah pada lafadz jalalah (Allah), sebab tidak ada yang mengerti hakikat ayat mutasyabihat melainkan Allah SWT. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya mengimani ayat tersebut.
2. Hanya sekedar manafsiri, menjelaskan atau memberi arti yang lebih di nalar (tidak memastikan bahwa artinya adalah demikian), sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
نَبِّئْنَا بِتَأْوِيلِهِ. (يوسف: 36)
“Berikanlah kepada kami penafsirannya”.(QS. Yusuf; 36).
Maka, waqaf ayat diatas adalah pada “war-raasikhuna fil-‘ilmi”, sebab mereka mengetahui, dan memahami apa yang dikhithabkan pada mereka.[4] Dan sayyidina Ibnu Abbas pernah mengatakan: “Sayalah yang termasuk ar-rasikhuna fil ‘ilmi yang mengerti penta’wilannya”. Pernyataan beliau ini benar, karena Nabi Muhammad e pernah berdo’a untuknya:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ. )رواه البخاري وغيره(.
“Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan agama, dan ajarkanlah dia ta’wil”. (HR. Bukhari dan lainnya)
Dan do’a Rasulullah e tidak tertolak. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana ta’wil yang dibenarkan?, Ta’wil yang dibenarkan adalah:
صرف اللفظ عن الاحتمال الراجح إلى الاحتمال المرجوح لدلالة توجب ذلك مع موافقة ما دلت عليه نصوص الكتاب والسنة.
“Mengalihkan lafadz dari kemungkinan arti rajih menuju sesuatu kemungkinan arti marjuh karena dalil yang menghendaki demikian serta harus sesuai dengan yang dikehendaki dari nash kitab al-Qur’an dan as-Sunnah”.
Disamping itu perlu dimengerti bahwa: Bila ta’wil dijadikan sebagai akidah, maka itu adalah bid’ah. Namun bila hanya untuk memberikan penjelasan pada orang awam tentang arti yang dapat dinalar atau menolak faham ahli bid’ah yang menyatakan ”ketasybihan” maupun “ketajsiman” dengan ayat-ayat mutasyabihat, maka ta’wil diperkenankan. Sebagaimana hal ini yang dilakukan oleh mutakallimin ahlussunnah dari golongan fuqaha’ dan mutakallimin. Dan mereka tetap mengimani bahwa arti sebenarnya atau hakikatnya hanyalah Allah SWT yang mengetahui. Sebagaimana pada keterangan yang kami nukil dari kitab “as-Salafiyah” karya as-Syaikh Sa’id Ramdlan al-Buthi.
Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Ditinjau dari aspek pengertian, bahwa ayat-ayat al-qur’an terbagi menjadi dua, yaitu ayat-ayat Muhkamat (yang bisa dinalar) dan ayat-ayat Mutasyabihat (yang sukar dinalar). Allah berfirman:
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ (آل عمران: 7)
Ayat tersebut mengecam orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutsayabihat yang hanya untuk bertujuan menimbulkan fitnah. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok di luar Ahlussunnah wal Jamaah, seperti kelompok musyabbihah dan mujassimah dan mu’tazilah yang mengingkari sifat-sifat Allah SWT. Agar umat Islam khususnya Ahlussunnah terjerumus dalam pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam ayat di atas, Allah SWT menamakan ayat muhkamat dengan sebutan Ummul Kitab karena ayat-ayat muhkamat-lah yang harus menjadi acuan dan rujukan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat.[5]
Wasiat Mbah Hasyim Asy’ari
Sebagaimana yang termaktub dalam Muqoddimah Qonun Asasi NU, mengenai keharusan warga NU menolak bid’ah dlolalah (ajaran atau aliran sesat) semisal paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme yang dikembangkan oleh para pengusungnya dalam tubuh NU Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari telah melarang warga NU mengikuti aliran sesat semisal Syi’ah Zaidiyah padahal kesalahannya relatif ringan yaitu mereka mengatakan bahwa Ali RA lebih utama dari pada Abu Bakar dan Umar RA. kesalahan itu pun sudah dianggap sesat oleh beliau apalagi syi’ah imamiyah khomeiniyah yang sudah berani mencaci maki bahkan mengkafirkan shahabat Nabi.
Tindakan serupa pernah dilakukan oleh KH. Ahmad Subadar, pada waktu beliau melihat aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) masuk ke dalam struktur kepengurusan NU, keadaan seperti itu langsung di respon keras oleh kiai Subadar pada Muktamar ke 31 di Solo, 28 November -2 Desember 2004. Alasan kiai Subadar menolak eksponen JIL karena pemikirannya tidak cocok dengan NU. Kiai Subadar menyebut Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL, yang juga ketua Lajnah Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai contoh aktivis JIL yang pemikirannya tidak cocok dengan NU. Kiai Subadar juga menyebut Masdar Farid Mas’udi sebagai tokoh muda NU yang pemikirannya menyimpang. Penolakan ini wajib kita dukung pada Muktamar-Muktamar NU yang akan datang, karena seberapa bahayanya pemikiran yang progresif kaum muda NU itu karena mempunyai tempat di NU.
Tapi fakta membuktikan, penolakan terhadap kaum muda progresif seperti Masdar dan Ulil itu ditolak dan mereka dilindungi oleh kiai Sahal sehingga tetap terakomodasi dalam struktur kepengurusan NU dalam Muktamar Solo. Hal ini menunjukkan organisasi NU dan tokoh-tokoh di dalamnya tidak sepenuhnya anti terhadap tokoh yang mempunyai pemikiran menyimpang dan keluar dari tafsir secara umum. Lebih ironisnya, peristiwa semacam itu terulang lagi pada Muktamar ke 32 di Makassar, 23-28 Maret 2010 dengan terpilihnya seorang tokoh NU yang punya pemikiran Syi’ah dan sering hadir dalam kegiatan Syi’ah menjadi Ketua Umum PBNU sehingga banyak kiai yang menyatakan mufaroqoh dengan kepemimpinannya. Bagaimana perasaan mbah Hasyim dan mbah Wahhab Rohimahumallah menyaksikan NU masa kini, betapa terkhianatinya beliau.
Di bawah kami nukilkan beberapa wasiat mbah Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah wal jamaah:
Pasal I: Tentang Sunnah dan Bid’ah
Sunnah menurut syara’ adalah nama atau istilah dari metode yang telah ditetapkan dan dijalankan oleh Rasulullah e atau selainnya yang mempunyai pemahaman yang baik dalam urusan-urusan agama seperti para shahabat Nabi, tabi’in, dan ulama salaf. Rasulullah e bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي (رواه أبو داود والترمذي)
“Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para penggantiku setelah kematianku” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Sedangkan bid’ah menurut syara’ adalah menciptakan arau memunculkan suatu amalan yang ada kesan termasuk bagian dari syari’at agama, padahal amalan tersebut pada hakikatnya bukan bagian dari agama.
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (رواه البخاري ومسلم)
“Barangsiapa yang menciptakan dalam urusan (agama)ku sesuatu yang bukan bagian dari urusanku, maka sesuatu itu ditolak.”(HR. Bukhari dan Muslim)
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ. (رواه أحمد)
“Setiap sesuatu yang diperbarui maka itu adalah bid’ah.”
Penjelasan ulama tentang maksud dua hadits di atas adalah mengacu pada perubahan hukum dengan memandang pada upaya meyakini sesuatu yang sebetulnya bukan ibadah diyakini sebagai hal yang punya nilai ibadah. Tidak memperbaharui, merubah dan menginovasi secara mutlak. Karena ada sesuatu yang sebetulnya bukan syari’at, tapi tersentuh nilai-nilai syari’at maka hal itu bisa dikategorikan dalam syari’at dan pembahasannya dikembalikan pada syari’at.
Pasal IV: Pentingnya Bermadzhab Empat
Sesungguhnya berpegang teguh pada madzhab tertentu bisa memudahkan untuk mamahami hakikat agama, memudahkan pengertian dan bisa mendorong seseorang untuk lebih bisa mendalami masalah-masalah syari’at. Karena alasan tersebut para ulama salaf dan para masyayikh zaman dahulu bermadzhab.
Untuk itu saya (Syaikh Hasyim Asy’ari) menghimbau dan mengajak saudaraku kaum muslimin Indonesia semua untuk selalu bertaqwa kepada Allah dengan taqwa yang sebenar-benarnya dan jangan meninggal kecuali dalam keadaan memegang teguh agama Islam dengan mengupayakan terus menjalin kerukunan antar umat yang saling berbeda pendapat, saling bersilaturrahim, bersikap baik kepada tetangga, kerabat dan teman, menghormati dan mengetahui hak-hak orang tua serta mengasihi anak kecil dan menyantuni kaum lemah.
Saya melarang mereka untuk saling membenci, saling memutus tali silaturrahim, saling hasud, serta membuat perpecahan dalam beragama. Sebaliknya, saya menyarankan agar mereka saling menjalin persaudaraan, saling tolong menolong untuk kebaikan, berpengang teguh kepada tali (baca; agama) Allah, tidak bercerai berai. Dan upayakan terus untuk selalu mengikuti ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Hadits dan pendapat serta perilaku dari ulama salaf, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali serta ulama-ulama lain. Mereka adalah ulama agung. Ijma’ Ulama mengajak kita untuk tidak keluar dari madzhab yang telah dibangunnya, serta berpaling dari pendapat-pendapat baru yang tidak sepaham dengan ulama salaf.
Rasulullah e bersabda:
مَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّار
“Barangsiapa mengucil, maka dia mengucil ke neraka”.
Dan saya mengajak kalian semua kaum muslimin Indonesia untuk bergabung dengan kelompok yang mengikuti thariqah ulama salaf.
Rasulullah e bersabda:
وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ وَالْجِهَادُ وَالْهِجْرَةُ وَالْجَمَاعَةُ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ
“Aku perintahkan kalian dengan lima hal yang aku juga diperintahkan oleh Allah untuk menjalankannya yaitu, mendengarkan dan mentaati aturan, jihad, hijrah dan berorganisasi. Barangsiapa memisahkan diri dari organisasi satu hasta, maka sama artinya dia melepas Islam dari lehernya”.
Berkata Umar bin Khaththab RA: “Upayakan kalian untuk selalu berjama’ah (berkumpul) dan takutlah akan perpecahan. Sesungguhnya syetan itu sering kali bersama dengan orang yang menyendiri. Dan orang yang berdua akan lebih bisa menjauhkan dirinya dari syetan. Barangsiapa menghendaki kenikmatan surga, maka upayakan untuk selalu berjama’ah (berkumpul)”.
Pasal V: Kewajiban Bertaqlid Bagi Yang Tidak Mampu Berijtihad
Menurut mayoritas ulama ahli tahqiq, seseorang yang tidak punya kemampuan berijtihad secara mutlak, walaupun dirinya sudah menguasai beberapa disiplin ilmu tentang ijtihad, wajib bertaqlid dan mengambil fatwa pendapatnya para mujtahid mutlak. Dimaksudkan agar dia terlepas dari tuntutan taklif ijtihad. Allah SWT berfirman:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ. (النحل: 43)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43)
Ayat diatas dengan tegas mengatakan bahwa, Allah memerintahkan orang yang tidak punya pengetahuan (ilmu agama) untuk selalu bertanya kepada orang yang punya ilmu pengetahuan. Dan itu disebut taqlid.
Maksud ayat diatas, tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama, tetapi umum untuk semua jenis ilmu. Dan khithab (seruan) dari ayat diatas juga untuk umum, tidak untuk orang-orang tertentu.
Kewajiban bertanya dalam ayat diatas adalah kewajiban secara umum, artinya bertanya dari setiap perkara yang belum diketahui. Karena pada zaman shahabat, ta’bi’in dan generasi sesudahnya, orang awam selalu bertanya dan meminta fatwa tentang hukum syari’at kepada para ulama dan mujtahid. Dan para ulama pun segera merespon dan menjawab pertanyaan mereka tanpa harus menyebutkan dalil. Sehingga mayoritas kaum muslimin mengetahui hukum syari’at dari sekedar bertanya tetapi tidak mengetahui sumber dalil yang otentik. Dan hal seperti ini tidak dilarang oleh agama dan tidak dipermasalahkan oleh para ulama.
Menurut konsensus (kesepakatan) ulama, orang awam cukup mengetahui hukum dari para mujtahid dan mengikutinya tanpa harus tahu sumber dalilnya. Karena pemahaman orang awam terhadap kitab al-Qur’an dan al-Hadits menjadi tidak diperhitungkan lagi, jika pemahaman mereka tidak sepakat dengan pemahaman yang dibangun dan dikembangkan oleh para ulama. Karena sesungguhnya para pembuat bid’ah dan orang yang sesat juga mengambil hukum mereka –yang batal- dari al-Qur’an dan Hadits. Padahal hukum yang mereka gali tidak memenuhi kebenaran sama sekali.
Bagi orang awam tidak wajib memegang teguh pada madzhab tertentu dalam setiap kejadian yang menimpanya. Andaikata ada orang awam bermadzhab kepada Imam Syafi’i, bagi dia tidak wajib untuk terus menerus bermadzhab Syafi’i. Tetapi boleh berpindah-pindah kepada madzhab yang lain.
Orang awam yang tidak mempunyai kemampuan untuk nadhar fi al-Hukmi (baca: menganalisa hukum) dan istidlal (menggali dalil) serta tidak pernah belajar tentan furu’ al-Madzhab kemudian dia berkata: “Aku madzhab Syafi’i tulen”, maka ucapan dan pengakuannya belum bisa diterima. Karena dia tidak memahami argumentasi dan sumber dalil yang dianalisa oleh Imam Syafi’i.
Bagi muqallid (orang yang bertaqlid) diperkenankan mengikuti selain madzhab yang diikuti dalam masalah-masalah tertentu. Semisal sholat dzuhur mengikuti imam madzhab tertentu, dan pada saat melaksanakan sholat ashar mengikuti imam madzhab lain.
Taqlid pada madzhab lain dalam hal-hal yang sudah dilaksanakan hukumnya boleh. Semisal ada seseorang yang bermadzhab Syafi’i mempunyai dugaan bahwa shalatnya sah menurut madzhabnya. Kemudian ternyata shalatnya batal menurut madzhab syafi’i dan sah menurut madzhab lain, maka seseorang yang bermadzhab syafi’i tadi diperkenankan mengikuti madzhab lain dalam shalat yang sudah dilaksanakan tanpa harus mengulang kembali shalatnya.
Pasal VII: Raibnya Ilmu, kebodohan yang Merajalela dan Peringatan Rasulullah tentang Kondisi Zaman Akhir
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqallani berkata: “Bahwa Allah akan me-wafat-kan ulama dan akan mengangkat ilmu dari muka bumi ini berbarengan dengan kewafatan ulama. Maka akan muncul tokoh-tokoh muda yang satu dengan yang lainnya saling tumpang tindih. Dan dimana pada hari itu tokoh-tokoh tua dianggap tokoh yang lemah”.
Dari Hisyam bin Urwah, sesungguhnya dia mendengar bapaknya berkata: “Urusan kaum Bani Isra’il selalu lurus sehingga terlahir anak dari tawanan perang mereka yang merubah syari’at agama dengan pendapatnya sendiri dan menyesatkan seluruh kaum Bani Isra’il. Maka berpegang teguhlah pada sunnah, karena sunnah adalah sendi agama.
Pasal X: Terpecahnya Aliran Umat Muhammad Menjadi 73 Aliran
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah e bersabda:”Umat Yahudi terpecah menjadi 71 Kelompok umat Nashrani terpecah menjadi 72 kelompok dan umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok. Shahabat bertanya, siapakah itu Ya Rasulallah? Rasulullah menjawab, yaitu kelompok yang memegang teguh pada apa yang telah aku dan shahabatku jalankan.
Imam Syihab al-Khufaji dalam kitab Nasimu ar-Riyadh berkata: “Kelompok yang selamat adalah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah”.
Dalam kitab Syanwani yang mensyarahi Muqtashor Abi Jamroh disebutkan bahwa, kelompok yang selamat adalah kelompok Abu Hasan al-Asya’ari yaitu kelompok ahlissunnah. Karena allah menjadikan mereka sebagai hujjah atas seluruh makhluknya. Dan kepada merekalah mayoritas ummat islam menyandarkan agamanya.dan merekalah yang dimaksud dalam sabda Nabi e:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ. (رواه الترمذي)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan” (HR. At-Tirmidzi).
Pasal XI: Sumber Awal Kelompok Sesat
Saat-saat akhir pada zaman shahabat rasul telah muncul kelompok yang berseberangan dengan mayoritas para shahabat, yaitu kelompok Qodariyyah, yang dikomandani oleh Ma’bad al-Juhany dan para muridnya. Yang mana kelompok ini tidak mendapatkan dukungan dari mutaakhirusshohabat (generasi akhir para shahabat) seperti Abdullah bin Amr, Jabir, Anas bin Malik dan seluruh shahabat yang menjadi koleganya. Kemudia dari sempalan Qodariyyah ini perpecahan islam berkembang sedikit demi sedikit sampai kepada tujuh puluh tiga kelompok. Kelompok yang ketujuh puluh itulah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.
Menurut Ibnu Ruslan, periciannya sebagai berikut: dua puluh kelompok termasuk kelompok Rafidloh, dua puluh kelompok Khawarij, dua puluh kelompok Qodariyyah, tujuh kelompok Murjiah satu kelompok Najariyyah. Sebenarnya kelompokini lebih dari sepuluh macam, tapi karena hamper sama karakternya sehingga dianggap satu kelompok, satu kelompok Hurriyyah, satu kelompok Jahmiyyah dan tiga kelompok al-Karomiyyah sehingga totalnya ada tujuh puluh dua kelompok.
Kesimpulan
Jadi menurut hemat kami, definisi Ahlussunnah wal Jamaah selalu mengalami pergeseran (kemerosotan) dari beberapa fase:
1. Ahlussunnah wal Jamaah adalah:
المتمسكون بالكتاب والسنة وما اجتمع عليه الصحابة والسلف الصالح في العقائد والأفكار الدينية والعبادات الظاهرة والباطنة (التصوف) واحكام المعاملا ت الاقتصادية والاجتماعية والسياسية.
Dalam fase ini, keberadaan Ahlussunnah wal-Jamaah tetap eksis terhadap al-qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama dalam Islam yang dikokohkan oleh para shahabat serta tabi’in dan belum terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran dan pentakwilan. Tatkala pemikiran-pemikiran baru mulai bermunculan, dan cara berfikir mulai bercabang-cabang, kelompok ini memilih untuk tetap berpedoman pada dhohirnya al-qur’an dan as-Sunnah, setia dengan akidah-akidah para pendahulunya (shahabat dan tabiin) tanpa memandang logis dan tidaknya, sehingga apabila mereka berbicara menggunakan logika murni, itu hanya untuk menolak pendapat musuh, mengalahkan atau sekedar menambah kemantapan, tidak untuk menggali atau mencetak akidah darinya. Nabi Muhammad e menyebutnya:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ
Kelompok ini dalam menetapkan madzhab Ahlussunnah wal-Jamaah yang berkaitan dengan mutasyabihat-nya ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah e memilih jalan yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, semisal Imam Malik bin Anas. Slogan mereka adalah:
نؤمن بما ورد به الكتاب والسنة ولا نتعرض لتأويل بعد أن نعلم قطعا أن اللـه عز وجل لا ييشبه شيئا من المخلوقات وأن كل ما تمثل في الوهم فإنه خالقه مقدره.
Jadi, Ahlussunnah tingkat elit ini mengimami seluruh asma’-asma’, sifat-sifat dan af’al-af’al yang dinisbatkan kepada Allah SWT yang ada didalam al- Qur’an dan hadits-hadits Shohih tanpa memebeda-bedakan antara yang bisa dinalar (Muhkamat) seperti sifat qudrot, irodat, sama’ dan bashor, dan yang sukar dinalar (mutasyabihat) seperti Wajhullah, Yadullah, Istiwa’uhu ala al-Arsyi dan lain-lainnya tanpa berani mengatakan kejisiman Allah atau condong ke Tajsim (seperti Wahhabi)
2. Fase selanjutnya terjadi pergeseran dan kemerosotan sehingga Ahlussunnah wal Jamaah menjadi:
المتمسكون بما عليه الأشاعرة والماتريدية وعلماء المذاهب الأربعة من الأفكار والأراء في المسائل الدينية.
Kemunculan Ulama mutakallimin (ilmu ushuluddin) dimulai dari fase ini, kemunculannya disebabkan semakin meluasnya kekuasaan Islam dan banyaknya pemeluk baru yang berasal dari segala penjuru dunia yang bermacam-macam bentuk keyakinan dan budayanya sehingga menimbulkan pengaruh besar terhadap Islam. Munculnya golongan besar Zindiqiyyah dan pemikir-pemikir modern (tokoh pembaharu) yang hobinya memperdebatkan ayat-ayat mutasyabihat yang bermaksud menebarkan kerancauan dikalangan ummat Islam, memasukkan keragu-raguan dalam hati, merupakan salah satu penyebab dipergunakannya ilmu ushuluddin dalam Islam.
Keadaan semacam itu, langsung ditanggapi oleh ulamaus sunnah dalam menolak berbagai tipu daya mereka, dengan membuka pintu perdebatan dengan mereka mengenai ayat-ayat mutasyabihat. Hal ini sesuai dengan petunjuk al-qur’an:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل: 125]
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Jadi kelompok ini terpaksa menggunakan logika murni untuk mentakwil nash dari arti asli lughowinya yang dalam anggapan mereka tidak bisa dinalar akal. Maka kelompok ini memberikan pentakwilan yang bisa dinalar akal serta tidak bertentangan dengan qowanin syar’iyyah dan lughowiyyah untuk sekedar mentaqiqkan pengertian nash-nash tersebut dan memberi penjelasan kepada kaum awam/ ajam yang pada mulanya mereka adalah penyembah berhala atau untuk menolak paham bid’ah.
3. Fase selanjutnya, Ahlussunnah wal Jamaah bergeser menjadi:
المتمسكون بالتقاليد والعادات الدينية الحسنة التى عمل بها العلماء والصوفية من اهل المذاهب الأربعة.
Dalam fase ini (Ahlussunnah masa kini) Ahlussunnah wal Jamaah hanya tinggal taqlid pada perkataan dan amaliyyah para ulama dan shufiyyah serta melakukan hal-hal dan tradisi-tradisi baik, seperti membaca dan mengkaji al-qur’an dan tafsirnya, kutubussalaf, semisal Fathul Wahhab, Fathul Muin, Fathul Qorib, at-Tahdzib fi Adillati matni al-Goyah wa at-Taqrib, Safinatunnaja, Sulamuttaufiq, Ihya’ Ulumuddin, ar-Risalah al-Qusyairiyah, Jam’ul Jawami’, Minhajul Abidin, juga kitab-kitab kontemporer yang mempunyai konotasi dengan kitab-kitab al-Ays’ari dan al-Maturidi dan madzahibul arba’ah, semisal al-Fiqhu al-Manhaji, Assalafiyah, Fiqhussiroh, Kubrol Yaqiniyat, Dlowabitul Mashlahah karya Sa’id Romadlon al-Boethi, dan karya-karya Wahbah al-Zuhaili, Rowai’ul Bayan karya syaikh Ali as-Shobuni, Mafahim, Manhajussalaf Baina al-Nadzoriyah wa al-Tathbiq, Muhammad al-Insan al-Kamil, Syaroful Ummah al-Muhammadiyyah, Syari’atullah al-Kholidah, karya sayyid Muhammad al-Maliki, bahtsul masail, menjalin silaturrahmi antar keluarga, sholat jama’ah, tahlilan, ziarah kubur, ta’dhim kepada kitab-kitab salaf, kepada habaib, ulama, kiai, dengan selalu dijiwai hakikat dari Ahlussunnah wal Jamaah pada fase-fase sebelumnya.
Begitu juga tidak mendatangi paranormal, penyihir, mempercayai perbintangan atau nogo dino, tidak melakukan ritual sedekah laut, sedekah bumi, dan menghimbau masyarakat untuk tidak malas bekerja mencari nafkah yang halal (bukan yang haram seperti mengandalkan berpenghasilan dari bunga bank konvensional, menjadi pekerja seks komersial, koruptor, memeras pajak, membebani biaya rumah sakit kepada faqir miskin, memarkus pajak, memafia hukum, dan lain sebagainya).
Kalau sudah melakukan semua yang telah disebutkan diatas tapi masih mendukung keberadaan aliran-aliran sesat, seperti Ahmadiyyah, Syi’ah, JIL dan aliran-aliran sesat lainnya, ridlo dengan ideologi dan hukum-hukum nasional international atau undang-undang keorganisasian yang bertentangan dengan syari’at islam ,maka itu tidak termasuk Ahlussunnah wal-Jamaah.
Ketiga tingkatan tersebut sama-sama merupakan eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan al-Firqoh an-Najiyyah, walaupun mempunyai orientasi yang berbeda-beda tapi saling melengkapi.
الذين تمسكوا في العقيدة والشريعة والسلوك الإجتماعي بما دلت عليه نصوص الكتاب والسنة المشهورة وبما جرى عليه جمهور الصحابة والتابعين وأخذوا بما أثبتته الأدلة العقلية ما لم يتعارض مع القواعد الشرعية لإلزام الخصوم والرد عليهم أو لزيادة الطمأنينة لا لاستفادة العقائد منها.
Jadi Ahlussunnah wal Jamah zaman dahulu adalah kelompok yang istiqomah alal haq wal huda yang tidak ikut dalam penyimpangan pemikiran dari al-qur’an dan sunnah rasul e (tidak Khowarij, Syi’ah, Murjiah atau Mu’tazilah), sedangkan Ahlussunnah wal Jamaah sekarang kurang lebihnya adalah kelompok yang bukan Wahhaby ekstrim, bukan liberal, plural, Syi’ah dan bukan kelompok abangan/ sekuler. Yang oleh mbah Hasyim Asy’ari dinamakan Ibahiyyun, dengan memasukkan Mutashawwifah yang punya akidah menghalalkan sesuatu yang haram dengan alasan sudah manunggal dengan Tuhan untuk masa sekarang ini patut diqiyaskan adalah Liberalisme yang termasuk prinsipnya adalah tidak mewajibkan sholat, zakat serta memperbolehkan pelacuran, riba dan lain sebagainya.
Kalau ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dalam fase terakhir ini yang merupakan Ahlussunnah paling lemah dibandingkan dengan Ahlussunnah pada fase-fase sebelumnya mulai ditinggalkan oleh warga NU, maka lambat laun NU tidak menutup kemungkinan akan pindah ideologi, dari islam menuju Syi’ah, Wahhabi ekstrim, islam Liberal, sekuler, plural yang ujung-ujungnya adalah kekufuran.
Kondisi umat Islam pada akhir zaman telah disinggung oleh Nabi e:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ (رواه أحمد)
Dulu kami pernah disodori pertanyaan dari beberapa kaum muda NU tentang Apakah perlunya adanya pemikiran ulang terhadap akidah Ahlussunnah yang beraliran (madzhab) Asy’ari dan Maturidi untuk membangunkan umat Islam dari tidurnya?.
Kami sangat gundah dengan teks pertanyaan ini, jangan-jangan yang dimaksud dengan tidurnya umat Islam adalah dalam urusan yang bernuansa duniawi, materialistik.
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (الروم:7)
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ. (رواه مسلم)
Karena persoalan dunia adalah naluri setiap manusia secara individu dan kolektif. Bahkan kemajuannya merupakan tuntutan zaman modern seperti sekarang ini. Yang kami inginkan bangkitnya umat Islam untuk menegakkan agama Islam itu sendiri.
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُونَ (المنافقون: 8).
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ (فاطر:100).
Jadi, kami tidak memandang perlu adanya kaji ulang terhadap ajaran Asy’ariyyah tersebut bahkan kami menilai hal ini dapat merusak tatanan akidah yang sudah mapan dan beresiko terkuranginya kepercayaan kepada Allah dan pindah kepada kepercayaan terhadap benda (materi).
Sebetulnya Umat Islam wajib kembali kepada al-Qur’an dan Hadits dalam masalah-masalah akidah dan amaliyah yang ada dalil nashnya, baik yang qoth’i atau yang dhonni, baik yang eksplisit dan yang implisit. Kita Ahlussunnah ada yang beraliran (madzhab) Asy’ariy dan ada yang mengikuti aliran Maturidi cuma sebatas dalam melawan teologi Mu’tazilah.
Jadi, kita umat Islam harus menggali akidah dari al-Qur’an dan hadits disamping memperhatikan keterangan-keterangan ulama yang ahli dalam bidang akidah (Asya’iroh, Maturidiyyah dan Ahli Hadits). Sedangkan akidah Asy’ari dalam urusan qodlo’ dan qodar yang menetapkan alkasb, ikhtiar manusia dan menafikan al-Thob’i wal ‘Illat bahkan al-Quwwah al-Muda-ah merupakan akidah yang sangat positif untuk mendorong dan menumbuhkan motifasi hidup serta berfikir dalam hal-hal yang perlu dipikirkan menurut agama. Karena ajaran agama itu mengajak umat Islam untuk tidak mengandalkan dalam usaha-usaha, rencana-rencana, cita-cita mereka kecuali kepada Allah sang Khaliq yang akhirnya memunculkan sifat-sifat tawakkal, dimana tawakkal dalam persepsi ulama muhaqqiqin tidak bertolak belakang dengan amal dan kerja usaha. (التوكل لا ينافي الاكتساب).
Ajaran-Ajaran Ahlussunnah wal jamaah
Di antara ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah:
1. Mengimani dan mengamalkan semua yang datang dari Rasulullah e. Baik yang tercantum di al-Qur’an ataupun di Hadits sebagai bukti dari sikap ‘ubudiyyah pada Allah SWT.
2. Tidak mencaci maki para Shahabat Nabi, tetapi menghormati dan memintakan ampunan untuk mereka.
3. Bersedia untuk taqlid pada Ijtihad para Ulama Madzahib dalam berbagai masa’il diniyah fiqhiyyah, disamping mempelajari dalil-dalilnya.
4. Mengimani ayat-ayat mutasyabihat tanpa berusaha untuk mena’wil yang sampai pada batas mentasybihan maupun penta’thilan (menafikan sifat-sifat Allah).
5. Meyakini bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah al-Qadim, tidak makhluk dan tidak mengalami perubahan.
6. Tidak beranggapan bahwa Imamah adalah rukum Iman, namun sebagai kewajiban/dlarurah ‘aammah demi kemashlahatan ummat untuk menjalankan syari’at Islam.
7. Mengakui kekhilafan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali).
8. Mencintai ahlul bait Rasulullah e dengan tanpa lewat jalur Syi’ah (dibatasi pada 12 imam dan mengkafir-kafirkan shahabat).
9. Mempercayai bahwa besok di Akhirat orang mu’min dapat melihat Allah SWT sebagaimana dalam firman-firmanNya.
10.Tidak mengingkari pada bolehnya tawassul dan adanya karomah Auliya’.
11. Tidak membenarkan ajaran taqiyyah, yakni melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nurani hanya untuk menipu ummat Islam.
12. Percaya bahwa sebaik kurun/ periode adalah masa Rasulullah e setelah itu adalah Shahabatnya, setelahnya adalah Tabi’in…Tabi’it Tabi’in … dan seterusnya.
Dan masih banyak beberapa ajaran Ahlussunnah yang tercantum dalam kitab-kitab salaf. Untuk itu, bagi kalangan pesantren (khususnya) dan warga nahdliyyin (umumnya), kami mohon untuk mengkaji kitab Sulam Taufiq, ‘Aqidatul Awwam, Kifayatul Awam, al-Jawahirul Kalamiyyah, Jauharotul Tauhid, al-Hushunul Hamidiyyah, al-Akidah at Thohawiyyah, an-Nasha’ihud Diniyyah, Riyadlus Sholihin, Ibnu Abi Jamroh, Adzkaarun Nawawi, Tafsirul Jalalain, dan lain sebagainya. Dan sebagai permohonan, kami persilahkan para tokoh masyarakat untuk menelaah kitab Syawahidul Haq dan kitab al-Asaaliib al-Badi’ah karya Syekh Yusuf an-Nabhani, Ad-durrul Fariid Syarah Jauharotut Tauhid dan juga kitab-kitab hadits tafsir yang kesemuanya menutur jelas akan fadloilus Shohabah. Rodliyallahu ‘anhum ajma’in.
قال الإمام السيد الحبيب عبد اللـه بن علوي الحداد رضي اللـه عنه ونفعنا به في خاتمة كتابه العظيم "النصائح الدينية": (خاتمة الكتاب): في عقيدة وجيزة جامعة نافعة إن شاء اللـه تعالى على سبيل الفرقة الناجية وهم أهل السنة والجماعة والسواد الأعظم من المسلمين. الحمد للـه وحده وصلى اللـه على سيدنا محمد وآلـه وصحبه وسلم. (وبعد) فإنا نعلم ونعتقد ونؤمن ونوقن ونشهد أن لا إلـه إلا اللـه وحده لا شريك لـه إلـه عظيم ملك كبير لا رب سواه ولا معبود إلا إياه قديم أزلي دائم أبدي لا ابتداء لأوليته ولا انتهاء لآخريته أحد صمد لم يلد ولم يولد ولم يكن لـه كفوا أحد لا شبيه لـه ولا نظير وليس كمثلـه شيء وهو السميع البصير - إلى أن قال – وأن يؤمن بشفاعة الأنبياء ثم الصديقين والشهداء والعلماء والصالحين والمؤمنين وأن الشفاعة العظمى مخصوصة بمحمد صلى اللـه عليه وسلم وأن يؤمن بإخراج من دخل النار من أهل التوحيد حتى لا يخلد فيها من في قلبه مثقال ذرة من إيمان وأن أهل الكفر والشرك مخلدون في النار أبد الأبدين ولا يخفف عنهم العذاب ولا هم ينظرون وأن المؤمنين مخلدون في الجنة أبدا سرمدا لا يمسهم فيها نصب وما هم منها بمخرجين وأن المؤمنين يرون ربهم في الجنة بأبصارهم على ما يليق بجلالـه وقدس كمالـه وأن يعتقد فضل أصحاب رسول اللـه صلى اللـه عليه وسلم وترتيبهم وأنهم عدول خيار أمناء لا يجوز سبهم ولا القدح في أحد منهم وأن الخليفة الحق بعد رسول اللـه صلى اللـه عليه وسلم أبو بكر الصديق ثم عمر الفاروق ثم عثمان الشهيد ثم علي المرتضى رضي اللـه عنهم وعن أصحاب رسول اللـه صلى اللـه عليه وسلم أجميعن وعن التابعين لـهم بإحسان إلى يوم الدين وعنا معهم برحمتك اللـهم يا أرحم الراحمين.
وقال في رسالة المعاونة: وهي بمحمد اللـه عقيدتنا وعقيدة إخواننا من السادة الحسينين المعروفين بآل أبي علوي وعقيدة أسلافنا من لدن رسول اللـه e إلى يومنا هذا.
Budaya Ahlussunnah wal Jamaah
Ciri-ciri spesifik yang menonjol dan dipertahankan Ahlussunnah wal-Jama’ah adalah banyak sekali. Sehingga ciri-ciri tersebut menjadi tanda khusus yang membedakan Ahlussunnah dan lainnyaa. Ciri-ciri dan budaya yang merupakan ciri khas Ahlussunnah diantaranya:
1. Meramaikan bulan suci Romadlon dengan pengkajian kitab-kitab Hadits, Tafsir maupun lainnya serta bertadarus al-Qur’an dan sholat Tarawih.
2. Membudayakan halal bi halal sebagai ajang silaturrahim antar kerabat, saudara, sesama muslim, selama tidak terjadi kemaksiatan, seperti ikhtilath bainal rijal wan nisa’, salam-salaman antara laki-laki dan perempuan yang tidak mahram, nyanyi-nyanyian, dll.
3. Menjalankan qunut subuh meskipun masih terdapat khilafiyyah antara para Ulama dalam masalah tersebut.
4. Menempatkan putra-putri sunniyyin di pondok-pondok pesantren maupun madrasah diniyyah untuk mengkaji dan menghidupkan ilmu agama.
5. Adanya beberapa thoriqoh demi taqorrub ilalloh, namun dengan syarat tidak terjadi ikhtilath antara lelaki dan perempuan atau fanatik berlebihan.
6. Memperhatikan jama’ah sholat fardlu di Masjid dan surau-surau pada awwal waktu, dan harus ikhlas serta khusyu’ dalam menjalankanya.
7. Ziarah kubur Auliya’ untuk bertawassul dengan tanpa adanya hal-hal munkar (iktilath bainarrijal wannisa’), Tahlilan, Berjanzenan dan manaqiban, namun dengan syarat tidak berlebihan dalam I’tiqodnya pada syaikh Abdul Qodir, seperti membaca dengan serentak “Syaikh Abdul Qodir Waliyulloh” setelah membaca dua kalimat Syahadat. Dan amalan-amalan di atas tidaklah budaya Syi’ah, sebab ziarahnya orang syi’ah tidak memakai bacaan ayat-ayat al-Qur’an, juga tidak membaca tahlil tasbih tahmid, biasanya cuma memberi kata-kata pujaan berlebihan pada Imam-imam mereka.
8. Menyantuni anak yatim, faqir miskin maupun para janda yang punya anak banyak, serta melindungi mereka dari penindasan.
9. Bagi alumni pesantren hendaknya sering sowan kepada gurunya untuk konsultasi dengan memohon petunjuk di dalam menjalankan da’wahnya. Demikian pula bagi para kiainya hendaknya mengunjungi/ mengecek mereka; apakah benar-benar sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
10.Takbiran pada malam hari raya ddengan tanpa diikuti penabuhan beduk. Sebab mengiringi dzikrulloh dengan tabuhan adalah bid’ah. Apalagi aalatul malaahi.
11. Mempermudah urusan Haji dan Umroh sehingga tidak menimbulkan keresahan dikalangan kaum Muslimin.
12. Mengadakan bahtsul masa’il dengan dihadiri tokoh yang benar-benar ahli dalam bidang agama. Mengamalkan ru’yatul hilal untuk mengetahui awwal Romadlon dan Syawwal.
13. Mendirikan paguyuban keluarga demi mempererat persaudaraan.
14.Menghafalkan al-Qur’an dengan memperhatikan tajwidnya, dan lain sebagainya.
قال الإمام الغزالي في الإحياء: الثاني: المبتدع الذي يدعو إلى بدعته. فإن كانت البدعة بحيث يكفر بها فأمره أشد من الذمي لأنه لا يقر بجزية ولا يسامح بعقد ذمة وإن كان ممن لا يكفر به فأمره بينه وبين اللـه أخف من أمر الكافر لا محالة, ولكن الأمر في الإنكار عليه أشد منه على الكفر لأن شر الكافر غير متعد, فإن المسلمين اعتقدوا كفره فلا يلتفتون إلى قولـه إذ لا يدعي لنفسه الإسلام واعتقاد الحق. أما المبتدع الذي يدعوا إلى البدعة ويزعم أن ما يدعو إليه حق فهو سبب لغواية الخلق فشره متعد, فالاستحباب في إظهار بغضه ومعاداته والانقطاع عنه وتحقيره والتشنيع عليه ببدعته وتنفير الناس عنه أشد - إلى أن قال – قال صلى اللـه عليه وسلم: (من انتهر صاحب بدعة ملأ اللـه قلبه أمنا وإبمانا, ومن أهان صاحب بدعة أمنه اللـه يوم الفزع الأكبر, ومن ألان لـه وأكرمه أو لقيه ببشر فقد ا ستخف بما أنزل اللـه على محمد صلى اللـه عليه وسلم). (رواه أبو نعيم في الحلية والـهروي في ذم الكلام من حديث ابن عمر). الثالث: المبتدع العامي الذي لا يقدر على الدعوة ولا يخاف الاقتداء به فأمره أهون فالاولى أن لايقابل بالتغليظ والإهانة بل يتلطف به في النصح. (إحياء علوم الدين: جـ:2/ صـ:184-183).
قال الشيخ هاشم أشعري رحمه اللـه في القانون الأساسي لجمعية نهضة العلماء: وإذا تعين الاعتماد على أقاويل السلف فلا بد من أن تكون أقاويلـهم التي يعتمد عليها مروية بالإسناد الصحيح أو مدونة في كتب مشهورة وأن تكون مخدومة بأن يبين الراجح من محتملاتها ويخصص عمومها في بعض المواضع ويقيد مطلقها في بعض المواضع ويجمع المختلف فيها ويبين علل أحكامها وإلا لم يصح الاعتماد عليها. وليس مذهب في هذه الأزمنة المتأخرة بهذه الصفة إلا هذه المذاهب الأربعة. اللـهم إلا مذهب الإمامية والزيدية وهم أهل البدعة لا يجوز الاعتماد على أقاويلـهم. (صـ: 55-57/ طـ: منارا قدس).
Adapaun bentuk-bentuk tradisi masyarakat yang tidak mencerminkan budaya Ahlussunnah, agar dihindari oleh warga Ahlussunnah. Di antarnya:
1. Mengagung-agungkan berbagai kesenian yang munkar, seperti seni musik, seni rupa, wayang, kethoprak, ludruk, seni tari, dsb.
2. Mencurahkan segala daya dan upaya untuk mengkaji pengetahuan ilmu umum sampai menelantarkan pendidikan agama yang merupakan bekal untuk meraih kesejahteraan dunia akhirat.
3. Semaraknya Musabaqoh Tilawatil Qur’an dengan menekankan model irama yang menghilangkan ketajwidan al-Qur’an dan at-Tadabbur. Dan celaka lagi musabaqoh tersebut dijadikan sebagai sarana untuk ikhtilath bainar rijaal wan nisaa’/ ajang menampilkan alunan suara wanita.
4. Ditinggalkannya pelatihan diri dan perlombaan yang mengarah pada persiapan membela agama dan negara, seperti latihan naik kuda, memanah (munadlolah) dan lain-lain.
5. Terlalu menghabiskan waktu untuk memperhatikan perlombaan yang sifatnya hanya gerak badan saja dan hura-hura, sampai mengesampingkan urusan sholat, seperti sepak bola dan lain-lain.[6]
Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nahdlatul Ulama sebagai 'benteng ulama' memiliki tantangan yang cukup berat di masa depan, terutama terkait persoalan-persoalan kemasyarakatan dan ideologi. Saat ini begitu banyak masyarakat yang menganggur, sehingga tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram, dan itu perlu uluran tangan semua pihak, termasuk Ansor.
Tantangan kedua, adalah persoalan ideologi. Sekarang ini faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) mulai digerus. "Karena itu, Ansor sebagai benteng ulama, juga bertanggung jawab atas lestarinya faham Aswaja,banyak hal yang bisa dikerjakan oleh Ansor untuk masyarakat. masyarakat sekarang butuh hasil kerja, bukan sekedar retorika. Kalau hasil kerjanya bagus, maka otomatis masyarakat akan respek.
Gerakan Pemuda Ansor sebagai badan otonom NU harus kembali ke pesantren sebagai aset bangsa yang besar dan potensial, serta menangani persoalan kemanusiaan yang mendesak seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Sebagai warga mayoritas, sangat mungkin yang mengalami problem kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan adalah warga NU.
Selama ini NU memang telah terlibat aktif untuk membangkitkan ekonomi umat, menyejahterakan masyarakat, dan mencerdaskan bangsa lewat pesantren. Namun, untuk ukuran organisasi sebesar NU yang jumlah warganya diperkirakan 80-an juta, peran NU dalam memberdayakan masyarakat luas dan memperbaiki kehidupan bangsa masih belum optimal.
Di era kapitalisme mutakhir di mana penguasa (pejabat) dan pengusaha (pemodal) bersekongkol untuk memperkaya diri dengan segala cara, maka problem kemiskinan, penindasan, dan ketidakadilan yang menimpa rakyat kebanyakan justru semakin meningkat dan meluas. Ini merupakan lahan jihad dan perjuangan yang nyata bagi NU sebagai ormas keagamaan terbesar di dunia.
Secara organisasional, selama ini (hampir) semua ormas keagamaan-termasuk NU sebagai ormas terbesar-belum tampak responsnya terhadap persoalan penindasan dan ketidakadilan atau secara lebih luas bisa disebut sebagai ketimpangan sosial-politik.
NU sebagai ormas Islam terbesar memang pernah berikrar untuk melawan korupsi di negeri ini. Sayang, ikrar ini tak dilanjutkan dengan tindakan yang konkret. Dengan kembali ke khittah, agenda kemanusiaan NU ke depan memang semakin banyak dan luas, khususnya problem-problem yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Biarlah politik praktis menjadi lahan parpol (bukan ormas) serta para politikus yang bermental borjuis dan menjadikan rakyat sebagai kuda tunggangan.
Sebagai organisasi Islam terbesar di negeri ini, NU perlu memformulasi mekanisme rekrutmen dan pemberdayaan kader potensial. Ketatnya kompetisi antar organisasi mengharuskan NU untuk menyegarkan kembali mekanisme pengembangan kader agar siap memajukan jam’iyyah. Kader potensial NU yang melimpah sebagai intelektual, cendekiawan, peneliti, aktifis, politisi, budayawan dan praktisi di sejumlah profesi perlu dirangkul untuk bersama mengembangkan organisasi. NU sudah saatnya “menjemput bola”, tidak sekedar menunggu datangnya kader mumpuni.
Sebagai akhir makalah ini, kami sampaikan himbauan untuk segenap masyarakat muslim secara individu maupun organisasi, khususnya GP Ansor sebagai penyelenggara acara ini, kiai-kiai pesantren, kiai-kiai kampung, kota, pemerintah sipil atau militer, NU ataupun lainnya, tua muda agar mempertahankan Akidah dan ajaran-ajaran Ahlussunnah wal jamaah dan melestarikannya serta meningkatkan kualitas keilmuan dan pengamalannya. Dan menggalang persatuan dan kesatuan Ahlussunnah yang merupakan mayoritas masyarakat Indonesia, demi kejayaan kita bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara Indonesia menuju tatanan kehidupan yang diridhoi Allah ta’ala, damai sejahtera di dunia dan akhirat bersama Rasulullah e dan para Shahabatnya, Ahlul Bait dan para pewarisnya, Ulama, Syuhada’ pendahulu kita yang telah ikut andil besar dalam mewujudkan kemerdekaan negara kita, dengan semangat juang tinggi mencapai cita-cita luhur “Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur” Allahumma Amin wal Hamdu lillahi Robbil ‘alamin.
Sarang, 19 R. Akhir 1432 H
24 Maret 2011 M
Kewajiban Menjaga Aqidah Warga NU
Oleh: H. Luthfi Bashori
Bismillahir rahmanir rahim
Cuplikan terjemah taushiyah pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari:
Ketika melihatnya dari sudut sosial masyarakat. Kita dapati kehidupan spiritual religius dalam masyarakat dalam masyarakat menjadi lemah, semakin rendah dan sedikit pengaruhnya. Karena di dalam masyarakat hampir kita tidak menjumpai orang yang memperhatikan urusan syari’at agama, apakah itu masalah halal atau haram. Kemungkaran (yang melanggar syari’at) telah dilakukan secara terang-terangan.
Setiap hari mata kita menyaksikan berbaurnya lelaki dan perempuan (termasuk di sekolah-sekolah islam) dengan pembauran yang menggelisahkan, dan telinga kita mendengarkan fenomena pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan “apakah ini halal”, lantas didiamkannya, “ataukah ini haram” yang menyebabkan kemurkaan Allah dan kehinaan di dunia. Selain itu masih ada yang lebih celaka dan lebih pahit dari pada yang tersebut di atas, yaitu tersebarnya ajaran-ajaran kufur dan pemikiran sesat di kalangan anak-anak muda muslim baik di desa maupun di kota.
Termasuk dari kerusakan zaman adalah bahwa ada sekelompok orang yang mengaku berasal dari komunitas muslim, bahkan mengaku sepagai pembesar-pembesar islam, namun mereka tidak mau menundukkan kepala terhadap perintah-perintah Allah, mereka tidak mau menjauhi larangan-larangan-Nya (artinya mereka meninggalkan syari’at islam), bahkan dahi-dahi mereka tidak pernah menempel di masjid. Dari sinilah adanya indikasi bahwa jika keagamaan di Negara kita menjadi sangat lemah bahkan hampir mati. (muktamar NU 24 Mei 1948)
Sesuai dengan kekhawatiran pendiri NU, Syaikhuna KH. Hasyim Asy’ari di atas, maka sangat tepat jika kita mengkaji pendapat Muhammad al-Bahi, seorang pemikir Mesir, yang membahas tentang maraknya fenomena sekularisme di kalangan umat islam dewasa ini. Muhammad al-Bahi membaginya menjadi dua, yaitu: sekularisme radikal dan moderat.
Disebut sekularisme radikal, karena menganggap agama sebagai penghalang kemajuan pembangunan yang harus dimusuhi dan dimusnahkan. Al-Bahi mengatakan pula bahwa komunisme dapat dikategorikan sebagai sekularisme radikal. Sedangkan sekularisme moderat, menganggap bahwa urusan agama adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama. (MDF, al-Mu’tashim, edisi 10,th III April 1999)
Karena bernegara adalah cermin kehidupan bermasyarakat, maka penganut paham ini berupaya memasarkan pemahaman bahwa agama tidak mampu memberikan kontribusi sedikit pun terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk menguatkan pendapatnya, tak jarang mereka mengatakan “jangan membawa nama agama dalam berpolitik” atau “agama itu adalah urusan pribadi, bukan urusan pemerintah”, mereka juga berargumentasi bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendirikan pemerintahan islam.
Semua yang dikatakan itu, pada hakikatnya bertolak-belakang dengan sejarah maupun kaidah-kaidah islam. Yang jelas, paham ini telah mendiskreditkan islam, dengan satu pemahaman, bahwa islam tidak mampu menjawab tantangan zaman, atau tidak relevan diterapkan di segala zaman. Padahal, islam sebagai agama universal sangatlah luas cakupannya. Islam mampu memecahkan problematika ummat, baik dalam urusan individu maupun bermasyarakat, juga mampu memberikan kontribusi yang berarti terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai satu ilustrasi bahwa syari’at islam telah mengatur kehidupan pribadi pemeluknya, adalah adanya kaidah-kaidah yang mengajarkan bagaimana cara hidup yang baik sejak bangun tidur di waktu fajar hingga menjelang tidur di waktu malam hari. Bahkan cara tidur yang baik pun diatur oleh islam. Shalat sunnah fajar yang didahului dengan berwudlu, tentunya mempunyai makna yang besar dalam usaha membenia seseorang menjadi muslim yang baik. Belum lagi waktu makan pagi yang harus bersih dari makanan yang najis dan haram, serta dimulai dengan bacaan bismillah adalah tuntunan prilaku yang mengajarkan kedisiplinan. Demikian dustur (undang-undang syari’at) islam dalam mengatur kehidupan pribadi seorang muslim yang taat demi kebaikan semata.
Adapun dustur islam yang mengatur kehidupan bermasyarakat, telah jelas bagi mereka yang mengkaji islam secara mendalam. Tidak dapat dipungkiri, islam telah mengatur cara bertetangga yang baik, cara menghormati tamu, cara jual beli yang tidak saling merugikan, cara bagaimana orang tua menyayangi anak-anak, serta tingkah laku anak muda dalam menghormati yang lebih tua dan sebagainya. Demikian juga dalam mengatur kehidupan bernegara, maka sejarah tidak bisa mengingkari bahwa Rasulullah SAW maupun para shahabat yang menggantikan kedudukan beliau, telah melaksanakan pemberlakuan hukum islam di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat yang majemuk, sejak hijrah beliau ke kota Madinah.
Tentunya peraturan yang demikian bagus dan rapi itu tidaklah bisa dilakasanakan oleh sembarang orang. Namun yang berhak menjalankannya adalah pihak pemerintah, sesuai dengan aturan yang ditentukan islam. Rasulullah SAW adalah pemimpin tertinggi negara pada saat itu, untuk itulah segala kebijaksaan yang bersifat kenegaraaan terfokus kepada pribadi beliau. Meskipun demikian beliau masih mengirim gubernur-gubernur di beberapa daerah, dengan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan daerah binaannya.
Bahkan beberapa kewenangan telah dimandatkan oleh beliau kepada para gubernur. Di antaranya ialah diperkenankannya mengambil keputusan secara ijtihad, jika mereka tidak atau belum menemukan aturan dalam al-Qur’an dan hadits, sebagaimana yang terjadi pada shahabat Mu’adz bin Jabal.
Pada saat shahabat Mu’adz bin Jabal berangkat menuju kota Yaman untuk melaksanakan tugas kenegaraan, Rasulullah bertanya:
“Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dikemukakan kepadamu?”
“Aku hukumi dengan kitab Allah” jawab Mu’adz
“Bagaimana jika tidak engkau temui dalam kitab Allah?” sambung Rasulullah.
“Dengan sunnah Rasulullah” ujar Mu’adz.
“Jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah lantas bagaimana?” Tanya Rasulullah lebih lanjut.
“aku akan menggunakan ijtihad akal pikiranku, dan aku tidak akan meninggalkannya” jawab Mu’adz dengan tegas.
Rasululullah lalu menepuk dadanya seraya berkata, “Alhamdulillah, Allah telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai apa yang diridloi oleh Allah dan Rasul-Nya” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
NU adalah salah satu ormas islam yang salah satu tujuan berdirinya adalah untuk ikut menyebarluaskan risalah Nabi Muhammad SAW lewat sendi-sendi kemasyarakatan yang variatif. Terlebih lagi, NU menjadi organisasi yang menjadi wadah bagi kumpulan warga Ahlussunnah wal Jama’ah, hendaklah selalu meningkatkan dan menyiarkan serta menerapkan keislaman di tengah warganya dan masyarakat pada umumnya. Memang itulah tujuan dari para pendiri NU yang sesungguhnya, dengan niat selalu ikhlas beribadah kepada Allah SWT, serta mengharap ridlo-Nya. Sebab tanpa tujuan yang dilandasi keikhlasan beribadah kepada Allah, serta ketulusan untuk menyiarkan agama islam, maka apalah arti sebuah perjuangan di mata Sang Rabbul Izzati, Allah SWT.
Tentunya umat islam sangat paham terhadap fenomena yang akhir-akhir ini berkembang, bahwa ada sebagian warga NU dengan penuh kesadaran berusaha memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, walaupun dalam tingkatan moderat. Artinya, ada upaya-upaya menggiring umat menuju saru pemahaman bahwa beragama hanyalah urusan pribadi semata. Di antara dampak yang kini terasa adalah timbulnya rasa kebangsaan yang lebih tinggi di kalangan warga NU, melebihi kewajiban dalam meningkatkan ghirah keislaman. Ukhuwwah islamiyah yang semestinya selalu dinomorsatukan, justru ditinggalkan. Sedangkan ukhuwwah wathoniyah maupun basyariyah yang semestinya berada diurutan kedua dan ketiga, seringkali justru dijadikan sebagai acuan utama dalam masyarakat.
Kini banyak warga NU yang telah mengabaikan nilai-nilai moral kesopanan ajaran ulama salaf dan hukum fiqih di dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Bahkan yang patut disayangkan dari dampak semua itu, ternyata banyak pula warga NU yang keabsahan shalatnya pun masih perlu dipertanyakan, karena ketidak mengertian terhadap hukum fiqih, bahkan ada pula yang secara sengaja meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Rasanya sudah banyak warga NU yang mulai meninggalkan ajaran para salaf Ahlussunnah wal Jama’ah, yang semestinya menjadi pedoman pokok bagi kehidupan kalangan warga NU itu sendiri.
Sebagai contoh konkrit, para ulama NU di masa lampau akan selalu mengedepankan pendapat jumhur (mayoritas) ulama di dalam memutuskan suatu hukum, namun kini sedikit demi sedikit warga NU untuk meninggalkan tradisi para sesepuhnya. Qoul mu’tamad (pendapat terkuat) dalam empat madzhab yang selama ini diyakini kebenarannya oleh warga NU, kini banyak diabaikan. Keyakinan untuk berpegang teguh terhadap qoul mu’tamad, mulai tergeser oleh derasnya sekularisasi dalam tubuh NU, termasuk pada tingkat elit NU sekalipun.
Karena itu sebagian warga NU mulai berani menghukumi sebuah keputusan public, dengan dasar hukum yang bukan lagi bersumber kepada al-Qur’an, hadits maupun pendapat ulama salaf yang tertera di dalam fiqih empat madzhab, tetapi lebih disandarkan kepada wawasan kebangsaan dan fanatisme atau mengedepankan pendapat fiqih syadz (lemah) demi lancarnya program yang dikendaki.
Untuk menyelamatkan warga NU dan akidah warganya, maka hendaklah setiap warga NU yang konsisten, berusaha mengembalikan misi organisasi, sesuai dengan tujuan para sesepuh saat merintis berdirinya NU, yaitu merujuk Qonun Asasi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, yang sangat identik dengan pelaksanaan dan penerapan syari’at islam secara murni.
Perlunya Mewaspadai Perbuatan Penyebab Kemurtadan
Suatu perbuatan yang dzahirnya tampak islami, belum tentu sesuai dengan al-Qur’an dan hadits. Akibatnya, seringkali terjadi, tanpa disadari pelakunya telah melanggar aturan agama, bahkan mungkin melampaui batas akidah islam yang akan menentukan status seseorang, apakah dia masih layak dianggap muslim atau sama sekali sudah keluar dari islam.
Hal ini bisa terjadi, adakalanya karena ketidak mengertian terhadap ajaran agama secara benar dan mendalam, atau ada unsur sengaja menentang islam. Mengenai hal ini, Allah berfirman yang artinya: “Dan barang siapa yang murtad (keluar dari islam) di antara kalian dari agamanya lantas dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya,” (TQS. Al-Baqoroh: 217). Beberapa contoh perbuatan yang dapat menyebabkan kemurtadan di antaranya.
1. Murtad Karena Ridlo Terhadap Kekufuran
Kaitan sikap rela kekafiran telah disebutkan dalam kaidah fiqih: setuju terhadap kekafiran hukumnya kafir. Seperti seorang muslim setuju apalagi mendukung perbuatan ritual Yahudi, Nasrani serta ritual agama non islam lainya dan ikut membantu menyiarkan agama mereka. Perbuatan semacam ini menyebabkan orang tadi murtad. Demikian juga hukumnya orang yang membantu menyiarkan kekafiran yang keluar dari aliran sesat.
Al-Imam al-Qodli ‘Iyadl al-Yahshubi menerangkan: “Demikian juga kita (kaum muslimin) menganggap murtad orang yang tidak menghukumi kafir terhadap penganut agama atau aliran-aliran selain yang dianut oleh kaum muslimin atau mendukung penganut agama selain islam atau meragukan kesalahan mereka atau membenarkan keyakinan mereka, meskipun orang tersebut menampakkan keislamannya.” (al-Syifa fi Huquq al-Mushthafa)
Jadi, jika ada orang yang tidak mengkafirkan penganut agama selain islam maka orang tersebut dihukumi murtad. Kejadian semacam ini sangat banyak ditemukan di kalangan orang islam sendiri yang biasanya berdalih untuk memperjuangkan hak asasi manusia, saling menghargai antar sesama umat beragama dan lainnya.
Dalam kaitan ini, islam memperbolehkan umatnya untuk memperjuaangkan hak asasi manusia sebatas tidak bertentangan dengan ajaran islam, seperti memperjuangkan hak kebebasan berdagang, hak mempertahankan hak milik, dan hak lainnya yang bersifat duniawi. Namun memperjuangkan hak kebebasan untuk berbuat kekafiran dan kemusyrikan di muka bumi jelas dilarang oleh islam.
2. Murtad Karena Persekutuan (Kerjasama)
Dalam memahami perbuatan murtad yang disebabkan karena adanya hubungan persekutuan atau kerjasama,perlu kiranya ummat islam memperhatikan pendapat beberapa ulama seperti:
- Al-Imam al-Qodli Iyadl al-Yahsuby (wafat thn. 544 H) menerangkan bahwa, termasuk perbuatan yang menyebabkan kemurtadan adalah: “berjalan ke gereja bersama ummat Nashrani dengan memakai ikat pinggang (khas mereka) di hari-hari raya mereka” (as-Syifa’ bi Ta’rifi Haggi al Musthafa hal. 292, Cet. Darul Kutub Ilmiyyah, Baerut).
- Penjelasan di atas dilengkapi oleh keterangan seorang ulama dari Halab, Syaikh Muhammad al-Hijaz: “Diantara macam-macam kemurtadan adalah berjalan ke gereja bersama penganut nasrani dan berkumpul bersama mereka dalam perayaan-perayaan keagamaana yang diadakan di gereja dan ikut meramaikan syi’ar-syi’ar kekafiran lainnya”. (shautul minbar, hal 266, cet. Darul Mishr).
- Senada dengan syaikh Muhammad al-Hijaz adalah Imam Abu al-Qosim Hibatullah bin al-Husain bin Mansur al-Thobari mengatakan: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin menghadiri hari raya atau ritual mereka (orang kafir baik ahlu kitab atau yang lainnya), karena mereka itu berada dalam kemungkaran dan kerusakan. Apabila orang yan baik (muslim) berkumpul dengan ahli kemungkaran (orang kafir) tanpa mengingkari perbuatan mereka, sama halnya meridloi kemungkaran mereka dan mendukungya, maka kita mengkhawatirkan turunnya adzab Allah kepada mereka sehingga adzab Allah pun menjadi musibah bagi semua orang. Kita berlindung dari kemurkaan-Nya. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, hal. 157, Ibnu al-Jauzi)
- Abu al-Hasan al-Amidi mengatakan bahwa umat islam tidak diperbolehkan menyaksikan perayaan ritual orang Nasrani dan Yahudi. Hal ini sebagai nash Imam Ahmad. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, hal. 157, Ibnu al-Jauzi)
- Selain dilarang menghadiri perayaan ritual non muslim, umat Islam juga diperintahkan untuk menjauhi kegiatan ritual non muslim, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan oleh seorang ulama hadits terkemuka, Imam Bukhori (termaktub diluar kitab Shohih Bukhori), bahwa Sayyidina Umar bin al-Khatthab RA berkata: “Jauhilah (orang-orang kafir) pada saat ritual mereka”. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, hal. 157, Ibnu al-Jauzi)
- Selain itu termaktub pula dalam kitab-kitab pengikut Imam Abu Hanifah: “Barang siapa memberi hadiah semangka kepada orang-orang kafir pada saat hari raya perayaan ritual mereka dengan maksud menghormati perayaan tersebut, maka orang tersebut telah murtad.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, hal. 157, Ibnu al-Jauzi)
Demikian pula dengan kehadiran umat Islam pada acara yang diadakan di gereja atau di tempat-tempat perkumpulan yang diadakan oleh kaum Nasrani, yang mana dalam hal ini terdapat unsur imaratul kanais (menyemarakkan kegiatan gereja). Inilah diantara perbuatan yang dapat membahayakan akidah umat Islam.
Dalam konteks ini Allah berfirman yang artinya: “kabarkanlah kepada orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih. Yaitu orang yang menjadikan orang kafir sebagai penolong/ teman akrab dengan meninggalkan orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya seluruh kekuatan itu adalah milik Allah.” (TQS. Al-Baqoroh, 138-139)
3. Murtad Karena Perkataan
Murtad yang disebabkan karena perkataan sangatlah banyak. Tentunya yang dimaksud perkataan disini ialah perkataan yang bernada menghina dan melecehkan agama Islam dan umat Islam (seperti ucapan seorang yang jelas bertentangan dengan ayat al-Qur’an dan hadits, ucapan yang bernada menghina Rasulullah atau ucapan yang mendiskredtkan al-Qur’an serta hadits mutawatir, seperti mengatakan isi al-Qur’an sudah tidak relevan untuk saat ini, untuk itu perlu direvisi dan direduksi. Atau mengatakan Nabi Muhammad itu manusia biasa, jadi ada kalanya benar juga ada kalanya salah, jadi boleh saja kita berselisih pendapat dengan beliau).
Contoh lain ucapan seorang muslim yang mengatakan bahwa orang Nasrani itu bukan kafir karena agama Nasrani juga termasuk agama samawi yang mengakui adanya Tuhan. Ucapan ini jelas bertentangan dengan firman Allah yang artinya: sungguh kafirlah orang yang mengatakan: Bahwa Allah itu salah satu dari yang tiga.” (TQS. al-Maidah: 73)
Al-Imam al-Qodli Iyadl menukil: al-Imam al-Ghozali mengatakan sebagaimana keterangan terdahulu dalam kitab al-Tafriqoh, perkataan tersebut di atas adalah kafir menurut ijma’ ulama bagi orang yang tidak menganggap penganut Nasrani dan Yahudi itu kafir.” (al-Syifa fi Huquq al-Mushthafa)
Mudah-mudahan warga NU dapat menjaga amanat dan warisan dari para sesepuh, berupa kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang sesuai dengan pemahaman para ulama salaf.
[1]. Al-Hafidh Muhammad Murtadlo al-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin.
[2]. Abu Hamid al-Ghazali, al-Risalah al-Ladduniyah.
[3]. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Syari’atullah al-Kholidah
[4]. Tafsir Ibnu Katsir dan Syarh Akidah at-Thohawiyyah
[5]. Muhammad Idrus Ramli, Madzhab al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah wal Jamaah,..?
[6]. H. Muhammad Najih, Ahlussunnah wal Jamaah sebuah Identifikasi, Refleksi terhadap Perkembangan Aliran-Aliran Keagamaan dalam Pandangan pesantren.
assalamu'alaikum, kang Aan? sy mo mnt izin copy paste document ini ya?
BalasHapus